Sabtu, 09 April 2016

DIMENSI PENGALAMAN BERAGAMA


DIMENSI PENGALAMAN BERAGAMA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs. Soeparyo, M.Pd.


 



















Disusun oleh :
  1. Syifa’ul Furqonn                      (1503056082)
  2. Umi Kulsum                              (1503056083)
  3. Zulfatun Nuril Afifah                           (1503056097)




FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015/2016

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pembagian dimensi dalam pengalaman beragama bukan berarti agama Islam memisah-misahkan antara berbagai macam dimensi yang ada dalam agama itu sendiri akan tetapi pembagian ini lebih menyoroti pengalaman seseorang dalam melaksanakan agamanya.
Al-Quran secara umum bertujuan hendak menyadarkan manusia tentang adanya kesadaran batin manusia yang lebih tinggi untuk berhubungan dengan Allah. Kesadaran batin ini dalam sejarah filsafat agama telah menjadi objek telaah terus-menurus dalam suatu thema yang disebut pengalaman beragama, yaitu suatu pengalaman yang terjadi di ruang sebelah dalam batin psikologis di mana manusia dapat mengembangkan suatu pusat kekuatan sedemikian rupa sehingga kebebasannya dapat bertumbuh secara penuh berhubungan langsung dengan pusat semesta yang dalam bahasa teologis disebut Allah.
Setidaknya ada tiga dimensi pengalaman seseorang dalam beragama Islam.[1] Pertama, dimensi formalitas atau dimensi lahir, terkadang ada yang menyebut dimensi syari’at. Kedua, dimensi thariqat yaitu kesadaran menjadikan pengamalan ajaran agama sebagai jalan untuk mengarahkan jiwa dan moral. Ketiga, dimensi haqiqat yang berarti realitas, senyatanya, dan sebenarnya.  
Di dalam Ilmu tasawuf itu ada tahapan-tahapan yang di lalui diantaranya : syari’at, thariqat, haqiqat, dan ma’rifat. InsyaAllah penyusun akan menjelaskan kaitan tahapan-tahapan tersebut secara detail.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengetian dari Syariat?
2.      Apakah pengertian dari Thariqat?
3.      Apakah pengertian dari Hakekat?
4.      Apakah pengertian dari Ma’rifat?
5.      Bagaimana upaya mempraktekkan Syariat, Thariqat, Hakekat, dan Ma’rifat secara integral?


6.       
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Syari’at
Syari’at adalah kualitas amalan lahir – formal yang ditetapkan dalam ajaran agama melalui Al Qur’an dan Sunnah. Atau hukum suci yang diwahyukan, ajaran atau aturan yang diwahyukan.
Ath Thusi dalam Al Luma’ mengatakan bahwa syari’at adalah suatu ilmu yang mengandung dua pengertian, yaitu riwayah dan dirayah yang berisikan amalan-amalan lahir dan bathin. Syari’at jika diartikan sebagai ilmu riwayah adalah ilmu teoretis tentang segala macam hukum sebagaimana terurai dalam ilmu fiqih atau ilmu lahiriah. Sedangkan syari’at dalam arti dirayah adalah makna bathiniah dari ilmu lahiriah atau makna hakikat dari ilmu fiqih. Syari’at dalam konotasi dirayah ini kemudian dikenal dengan nama ilmu tasawuf.[2]   
Syari’at menampakkan hukum ilahi (haqiqat). Ia memberikan prinsip dan sarana bagi manusia untuk mengembangkan pengetahuan haqiqi dan memperoleh sifat-sifat akhlak mulia. Mereka yang mengenal Allah tidak pernah meningggalkan hukum sucinya. Adab mereka kepada Allah menjaga mereka agar tidak melepaskan neraca hukum dari tangan mereka.

B.     Thariqat
Thariqah secara bahasa berarti jalan atau metode. Sedangkan thariqah dalam istilah tasawuf diartikan sebagi suatu metode praktis untuk membimbing seorang pencari (salik, thalib, murid) dengan menelusuri jalan berfikir, merasa dan bertindak melalui tahapan-tahapan menuju pengalaman realitas ketuhanan (haqiqat).
Menurut istilah tasawuf, thariqat adalah perjalanan khusus bagi para sufi yang menempuh jalan menuju SWT. Perjalanan yang mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk beluknya. Thariqat artinya jalan, petunjuk, cara. Adapun yang dimaksud jalan di sini adalah suatu cara tindakan atau amaliah yang diamalkan menurut metode-metode tertentu yang telah ditetapkan oleh masing-masing perumus aliran tarekat yang tertentu pula. Atau dengan kata lain, tarekat adalah organisasi dengan dipimpin oleh Syaikh mursyid, untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan melalui dzikir-dzikir dan cara-cara lainyang telah ditentukanoleh tarekat tersebut.[3]
Istilah thariqat sering dikaitkan dengan organisasi tarekat, yaitu suatu kelompok (dalam lingkungan islam tradisional) yang melakukan amalan-amalan dzikir tertentu dan menyampaikan suatu sumpah yang formulanya telah ditentukan oleh pimpinan organisasi tarekat tersebut.[4]
Al-Palembani menguraikan syarat bagi setiap orang yang ingin mengikuti tarekat, yaitu :
1.      Bertaqwa kepada Allah SWT dengan sebenar-benar taqwa,
2.      Menyiapkan diri dengan senjata dzikir,
3.      Tunduk secara total kepada Syaikh seperti mayat dihadapan petugas yang memandikan,
4.      Bertekat bulat untuk tetap dalam tarekat hingga akhir hayatnya, dan
5.      Harus memiliki kawan tetap dalam menjalankan ibadah secara bersama-sama membaca wirid bersama, dan tolong-menolong demi kebaikan.[5]
Adapun tujuan thariqat menurut Anggaran Dasar Jam’iyah Ahli Thariqah adalah sebagai berikut :
1.      Mengusahakan berlakunya syari’at islam dzahir dan bathin dengan berhaluan Ahlu Sunnah wal Jamaah yang berpegang salah satu mazhab yang empat.
2.      Mempergiat dan meningkatkan amal shalih dzahir dan bathin menurut ajaranulama shalihin dengan bai’at shalihah.
3.      Mengadakan dan menyelenggarakan pengajian khususi atau tawajjuhan (mujalasatidz dzikri dan nasyrilulumin nafiah)[6]
Menurut Khalil A. Bamar bahwa tujuan thariqat adalah mencari jalan mendekatkan diri kepada Allah, agar bisa mencapai jalan tersebut maka penganutnya harus mempelajari kesalahan dan dosa-dosa yang diperbuatnya, kemudian melakukan perbaikan yang selanjutnya meminta ampunan kepada Allah.[7]

C.    Haqiqat
Haqiqat merupakan unsur ketiga setalah syari’at (hukum) yang merupakan kenyataan eksoteris, thariqat (jalan) sebagai tahapan esoterisme’ yang ketigahaqiqat, yakni kebenaran yang esensial.
Haqiqat adalah kemapuan seseorang dalam merasakan dan melihat kehadiran Allah di dalam syari’at itu. Dalam dunia sufi, haqiqat diartikan sebagai aspek bathin dari syari’at, sehingga haqiqat adalh aspek yang paling penting dalam setiap amal, inti dan rahasia dari syari’at yang merupakan tujuan perjalanan salik.[8]
Haqiqat membuka kesempatan, bagaimana salik mencapai maksudnya, yaitu mengenal Tuhan, ma’rifatullah dan musyahadah nur yang tajalli. Imam Ghazali menerangkan, bahwa tajalli itu yaitu terbukanya nur cahaya yang ghaib bagi hati seseorang, dan sangat mungkin bahwa yang dimaksudkan dengan tajalli di sini yaitu yang mutajalli, yaitu tidak lain daripada Allah. Pengertian ini sesuai dengan pendapat Qusyairi di kala ia menerangkan perbedaan antara syari’at dan hakekat, yaitu bahwa syari’at itu adalah kesungguhan dalam segala ubudiyah, sedangkan hakekat itu musyahadah rububiyah atau melihat rububiyah itu dengan hatinya.[9]
Syari’at dan haqiqat adalah ibarat wadah dan isi, yang lahir dan yang bathin, ibarat gelas dan air yang ada di dalam gelas. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Shalat dilihat dari sisi syari’at adalah perbuatan dan perkataan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam beserta rukun-rukunnya dan inti dari shalat adalah mengingat Allah. Seseorang tidak boleh hanya mengingat Allah tanpa melaksanakan shalat yang telah disyari’atkan dengan segala syarat dan rukunnya. Dan sebaliknya seseorang tidak boleh melaksanakan shalat dengan segala rukunnya akan tetapi hatinya kosong tidak nyambung (hudlur) dengan Allah.[10]
  
D.    Ma’rifat
Ma’rifat secara bahasa berasal dari bahasa Arab arafa, ya’rifu, arafah, Irfan dan Ma’rifah yang berarti pengetahuan yang sangat jelas. Ma’rifat berbeda denganal-ilm yang sama-sama berarti pengetahuan. Bila al-ilm berarti pengetahuan yang menggunakan perantara maka ma’rifat berarti pengetahuan yang melalui pengalaman langsung tanpa perantara.
Sedang ma’rifat dalam istilah tasawuf adalah pengetahuan yang mengenai Tuhan melalui pengalaman langsung. Pengalaman langsung di sini adalah pengetahuan yang langsung dirasakan oleh seorang shufi melalui hati dalam bentuk Kasyf atau Ilham. Apabila orang awam mengetahui Tuhan melalui informasi dan para filosof melalui akalnya, maka para shufi mengetahui Tuhan melalui hatinya.[11]
Itulah sebabnya Dzun Nun Al-Misri membagi tiga kelompok orang dalam mengenal Tuhan :
·         Kelompok awam dimana mereka mengenal tuhan melalui ucapan kalimat syahadat.
·         Kelompok para failosof dan teolog dimana mereka mengenal tuhan melalui pembuktian akal. Kelompok ini tidak puas mengakui adanya tuhan hanya menerima begitu saja. Akan tetapi dengan akalnya mereka juga ingin membuktikan adanya tuhan. Adanya alam merupakan dalil (bukti) yang mereka tetapkan untuk membuktikan adanya Tuhan.
Kelompok shufi dimana mereka mengenal Tuhan melalui hati sanubari.[12]
Menurut  Al-Ghazali, ma’rifat ada tiga tingkatan sesuai dengan dasar pengetahuan dan metode yang dipergunakan, yaitu sebagai berikut :
1.      Ma’rifat orang awam, yakni pengetahuan yang diperoleh melalui jalan meniru atau taqlid.
2.      Pengetahuan mutakalimin, yaitu pengetahuan yang didapat melalui pembuktian rasional. Kualitas peringkat pertama dan kedua inisama.
3.      Peringkatan yang tertinggi kualitasnya, yaitu pengetahuan para sufi, pengetahuan yang diperoleh melalui metode penyaksian langsung dengan radar pendeteksi, yaitu qalbu yang bening.[13]
Pembagian ilmu ma’rifat ada tiga,yaitu :
a)      ‘Ainul yaqin : Tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan kebenaran bahwa Allah lah yang menciptakanya.
b)      Ilmul yaqin : Tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta.
c)      Haqqul yaqin : Keyakinan yang didominaasi oleh hati nurani shufi tanpa melalui ciptaanNya, sehingga ucapan, tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah, maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati,tanpa harus diragukan keputusan akal.[14]
























BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari semua uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam ilmu tasawuf ada beberapa tahap yang dilalui untuk mencapai ma’rifatullah. Diantaranya, syari’at yang dalam arti bahasa adalah tata hukum. Sedangkan menurut Istilah Syariat adalah berpegang pada aturan-aturan atau hukum-hukum yang telah dibebankan kepada kita. Thariqat, Yaitu metode ataupun bentuk pengalaman dari hukum syari’at. Hakikat merupakan inti dari setiap tuntutan syari’at. Sedangkan ma’rifat merupakan kemantapan hati yang timbul berdasarkan bukti-bukti atau dalil-dalil  yang sesuai dengan kenyataan.

B.     Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Dalam penyusunan makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan sarannya selalu kami nantikan agar dapat memperbaiki dalam tugas-tugas pembuatan makalah selanjutnya.





















DAFTAR PUSTAKA

·         Nasirudin, Pendidikan Tasawuf. Semarang: RaSAIL Media Group, 2009
·         Nasution, Harun, Falsafah dan mistisisme dalam Islam, Jakarta ; Bulan Bintang, 1995
·         Totok Jumantoro, M.A, Drs.,  Samsul Munir Amin, M.Ag, Drs., Kamus Ilmu TASAWUF,Amzah, cetakan pertama, 2005
·         Mustafa Zahir, Dr., Kuci Memahami Ilmu Tasawwuf, Bina Mulia, 1979
·         Aceh Abubakar, Prof. Dr. H., Pengantar Ilmu Tarekat, Solo : Ramadhani ; 1996





[1] ) Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2009), cet. 1, hlm.73
[2]) Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu TASAWUF, Amzah, cet.1, hlm. 217
[3]) Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu TASAWUF, Amzah, cet.1, hlm. 239
[4]) Ibid., hlm.238
[5]) Ibid., hlm. 240
[6]) Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu TASAWUF, Amzah, cet.1, hlm. 244
[7]) Ibid., hlm. 244
[8]) Ibid., hlm. 70
[9]) Prof. Dr. H. Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo : Ramadhani, 1996, hlm.401
[10]) Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2009), cet. 1, hlm. 78
[11]) Ibid., hlm.101
[12]) Harun Nasution, Falsafah dan mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1995, hlm.76
[13]) Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu TASAWUF, Amzah, cet.1, hlm. 141
[14]) Dr. Mustafa Zahir, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf ,Bina Mulia,1979, hal. 178

Tidak ada komentar:

Posting Komentar