DIMENSI PENGALAMAN BERAGAMA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs. Soeparyo, M.Pd.
Disusun oleh :
- Syifa’ul
Furqonn (1503056082)
- Umi Kulsum (1503056083)
- Zulfatun Nuril
Afifah (1503056097)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembagian dimensi dalam pengalaman beragama bukan
berarti agama Islam memisah-misahkan antara berbagai macam dimensi yang ada
dalam agama itu sendiri akan tetapi pembagian ini lebih menyoroti pengalaman
seseorang dalam melaksanakan agamanya.
Al-Quran secara umum bertujuan hendak menyadarkan
manusia tentang adanya kesadaran batin manusia yang lebih tinggi untuk berhubungan
dengan Allah. Kesadaran batin ini dalam sejarah filsafat agama telah menjadi
objek telaah terus-menurus dalam suatu thema yang disebut pengalaman beragama,
yaitu suatu pengalaman yang terjadi di ruang sebelah dalam batin psikologis di
mana manusia dapat mengembangkan suatu pusat kekuatan sedemikian rupa sehingga
kebebasannya dapat bertumbuh secara penuh berhubungan langsung dengan pusat
semesta yang dalam bahasa teologis disebut Allah.
Setidaknya
ada tiga dimensi pengalaman seseorang dalam beragama Islam.[1]
Pertama, dimensi formalitas atau dimensi lahir, terkadang ada yang menyebut
dimensi syari’at. Kedua, dimensi thariqat yaitu kesadaran menjadikan pengamalan
ajaran agama sebagai jalan untuk mengarahkan jiwa dan moral. Ketiga, dimensi
haqiqat yang berarti realitas, senyatanya, dan sebenarnya.
Di dalam
Ilmu tasawuf itu ada tahapan-tahapan yang di lalui diantaranya : syari’at,
thariqat, haqiqat, dan ma’rifat. InsyaAllah penyusun akan menjelaskan kaitan
tahapan-tahapan tersebut secara detail.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah pengetian dari
Syariat?
2.
Apakah pengertian dari Thariqat?
3.
Apakah pengertian dari Hakekat?
4.
Apakah pengertian dari
Ma’rifat?
5.
Bagaimana upaya
mempraktekkan Syariat, Thariqat, Hakekat, dan Ma’rifat secara integral?
6.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Syari’at
Syari’at
adalah kualitas amalan lahir – formal yang ditetapkan dalam ajaran agama
melalui Al Qur’an dan Sunnah. Atau hukum suci yang diwahyukan, ajaran atau
aturan yang diwahyukan.
Ath
Thusi dalam Al Luma’ mengatakan bahwa syari’at adalah suatu
ilmu yang mengandung dua pengertian, yaitu riwayah dan dirayah yang berisikan
amalan-amalan lahir dan bathin. Syari’at jika diartikan
sebagai ilmu riwayah adalah ilmu teoretis tentang segala macam
hukum sebagaimana terurai dalam ilmu fiqih atau ilmu lahiriah. Sedangkan
syari’at dalam arti dirayah adalah makna bathiniah dari ilmu lahiriah atau
makna hakikat dari ilmu fiqih. Syari’at dalam konotasi dirayah ini kemudian
dikenal dengan nama ilmu tasawuf.[2]
Syari’at
menampakkan hukum ilahi (haqiqat). Ia memberikan prinsip dan sarana bagi
manusia untuk mengembangkan pengetahuan haqiqi dan memperoleh sifat-sifat
akhlak mulia. Mereka yang mengenal Allah tidak pernah meningggalkan hukum
sucinya. Adab mereka kepada Allah menjaga mereka agar tidak melepaskan neraca
hukum dari tangan mereka.
B. Thariqat
Thariqah
secara bahasa berarti jalan atau metode. Sedangkan thariqah dalam istilah
tasawuf diartikan sebagi suatu metode praktis untuk membimbing seorang pencari
(salik, thalib, murid) dengan menelusuri jalan berfikir, merasa dan bertindak
melalui tahapan-tahapan menuju pengalaman realitas ketuhanan (haqiqat).
Menurut
istilah tasawuf, thariqat adalah perjalanan khusus bagi para sufi yang menempuh
jalan menuju SWT. Perjalanan yang mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan
seluk beluknya. Thariqat artinya jalan, petunjuk, cara. Adapun
yang dimaksud jalan di sini adalah suatu cara tindakan atau amaliah yang
diamalkan menurut metode-metode tertentu yang telah ditetapkan oleh
masing-masing perumus aliran tarekat yang tertentu pula. Atau dengan kata lain,
tarekat adalah organisasi dengan dipimpin oleh Syaikh mursyid, untuk
mendekatkan diri kepada Allah, dengan melalui dzikir-dzikir dan
cara-cara lainyang telah ditentukanoleh tarekat tersebut.[3]
Istilah thariqat sering
dikaitkan dengan organisasi tarekat, yaitu suatu kelompok (dalam lingkungan
islam tradisional) yang melakukan amalan-amalan dzikir tertentu dan menyampaikan suatu sumpah yang formulanya
telah ditentukan oleh pimpinan organisasi tarekat tersebut.[4]
Al-Palembani
menguraikan syarat bagi setiap orang yang ingin mengikuti tarekat, yaitu :
1.
Bertaqwa
kepada Allah SWT dengan sebenar-benar taqwa,
2.
Menyiapkan
diri dengan senjata dzikir,
3.
Tunduk
secara total kepada Syaikh seperti mayat dihadapan petugas
yang memandikan,
4.
Bertekat
bulat untuk tetap dalam tarekat hingga akhir hayatnya, dan
5.
Harus
memiliki kawan tetap dalam menjalankan ibadah secara bersama-sama membaca wirid
bersama, dan tolong-menolong demi kebaikan.[5]
Adapun
tujuan thariqat menurut Anggaran Dasar Jam’iyah Ahli Thariqah
adalah sebagai berikut :
1.
Mengusahakan
berlakunya syari’at islam dzahir dan bathin dengan berhaluan Ahlu Sunnah wal
Jamaah yang berpegang salah satu mazhab yang empat.
2.
Mempergiat
dan meningkatkan amal shalih dzahir dan bathin menurut ajaranulama
shalihin dengan bai’at shalihah.
3.
Mengadakan
dan menyelenggarakan pengajian khususi atau tawajjuhan
(mujalasatidz dzikri dan nasyrilulumin nafiah)[6]
Menurut
Khalil A. Bamar bahwa tujuan thariqat adalah mencari jalan
mendekatkan diri kepada Allah, agar bisa mencapai jalan tersebut maka
penganutnya harus mempelajari kesalahan dan dosa-dosa yang diperbuatnya,
kemudian melakukan perbaikan yang selanjutnya meminta ampunan kepada Allah.[7]
C. Haqiqat
Haqiqat
merupakan unsur ketiga setalah syari’at (hukum) yang merupakan
kenyataan eksoteris, thariqat (jalan) sebagai tahapan
esoterisme’ yang ketigahaqiqat, yakni kebenaran yang esensial.
Haqiqat
adalah kemapuan seseorang dalam merasakan dan melihat kehadiran Allah di dalam
syari’at itu. Dalam dunia sufi, haqiqat diartikan sebagai
aspek bathin dari syari’at, sehingga haqiqat adalh aspek yang paling penting
dalam setiap amal, inti dan rahasia dari syari’at yang merupakan tujuan
perjalanan salik.[8]
Haqiqat
membuka kesempatan, bagaimana salik mencapai maksudnya, yaitu mengenal Tuhan,
ma’rifatullah dan musyahadah nur yang tajalli. Imam Ghazali menerangkan, bahwa
tajalli itu yaitu terbukanya nur cahaya yang ghaib bagi hati seseorang, dan
sangat mungkin bahwa yang dimaksudkan dengan tajalli di sini yaitu yang
mutajalli, yaitu tidak lain daripada Allah. Pengertian ini sesuai dengan
pendapat Qusyairi di kala ia menerangkan perbedaan antara syari’at dan hakekat,
yaitu bahwa syari’at itu adalah kesungguhan dalam segala ubudiyah, sedangkan
hakekat itu musyahadah rububiyah atau melihat rububiyah itu dengan hatinya.[9]
Syari’at
dan haqiqat adalah ibarat wadah dan isi, yang lahir dan yang bathin, ibarat
gelas dan air yang ada di dalam gelas. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Shalat
dilihat dari sisi syari’at adalah perbuatan dan perkataan yang diawali dengan
takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam beserta rukun-rukunnya dan inti dari
shalat adalah mengingat Allah. Seseorang tidak boleh hanya mengingat Allah
tanpa melaksanakan shalat yang telah disyari’atkan dengan segala syarat dan
rukunnya. Dan sebaliknya seseorang tidak boleh melaksanakan shalat dengan
segala rukunnya akan tetapi hatinya kosong tidak nyambung (hudlur) dengan
Allah.[10]
D. Ma’rifat
Ma’rifat
secara bahasa berasal dari bahasa Arab arafa, ya’rifu, arafah, Irfan
dan Ma’rifah yang berarti pengetahuan yang sangat jelas. Ma’rifat
berbeda denganal-ilm yang sama-sama berarti pengetahuan. Bila al-ilm berarti
pengetahuan yang menggunakan perantara maka ma’rifat berarti
pengetahuan yang melalui pengalaman langsung tanpa perantara.
Sedang
ma’rifat dalam istilah tasawuf adalah pengetahuan yang mengenai Tuhan melalui
pengalaman langsung. Pengalaman langsung di sini adalah pengetahuan yang
langsung dirasakan oleh seorang shufi melalui hati dalam bentuk Kasyf atau Ilham. Apabila
orang awam mengetahui Tuhan melalui informasi dan para filosof melalui akalnya,
maka para shufi mengetahui Tuhan melalui hatinya.[11]
Itulah
sebabnya Dzun Nun Al-Misri membagi tiga kelompok orang dalam mengenal Tuhan :
·
Kelompok
awam dimana mereka mengenal tuhan melalui ucapan kalimat syahadat.
·
Kelompok
para failosof dan teolog dimana mereka mengenal tuhan melalui pembuktian akal.
Kelompok ini tidak puas mengakui adanya tuhan hanya menerima begitu saja. Akan
tetapi dengan akalnya mereka juga ingin membuktikan adanya tuhan. Adanya alam
merupakan dalil (bukti) yang mereka tetapkan untuk membuktikan adanya Tuhan.
Kelompok
shufi dimana mereka mengenal Tuhan melalui hati sanubari.[12]
Menurut
Al-Ghazali, ma’rifat ada tiga tingkatan sesuai dengan dasar
pengetahuan dan metode yang dipergunakan, yaitu sebagai berikut :
1.
Ma’rifat orang awam, yakni pengetahuan yang
diperoleh melalui jalan meniru atau taqlid.
2.
Pengetahuan mutakalimin, yaitu
pengetahuan yang didapat melalui pembuktian rasional. Kualitas peringkat
pertama dan kedua inisama.
3.
Peringkatan
yang tertinggi kualitasnya, yaitu pengetahuan para sufi, pengetahuan yang
diperoleh melalui metode penyaksian langsung dengan radar pendeteksi,
yaitu qalbu yang bening.[13]
Pembagian
ilmu ma’rifat ada tiga,yaitu :
a)
‘Ainul
yaqin : Tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera terhadap
alam semesta, sehingga menimbulkan kebenaran bahwa Allah lah yang menciptakanya.
b)
Ilmul
yaqin : Tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pemikiran ketika melihat
kebesaran Allah pada alam semesta.
c)
Haqqul
yaqin : Keyakinan yang didominaasi oleh hati nurani shufi tanpa melalui
ciptaanNya, sehingga ucapan, tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada
Allah, maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati,tanpa harus diragukan
keputusan akal.[14]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
semua uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam ilmu tasawuf ada beberapa
tahap yang dilalui untuk mencapai ma’rifatullah. Diantaranya, syari’at yang
dalam arti bahasa adalah tata hukum. Sedangkan menurut Istilah Syariat adalah
berpegang pada aturan-aturan atau hukum-hukum yang telah dibebankan kepada
kita. Thariqat, Yaitu metode ataupun bentuk pengalaman dari hukum syari’at. Hakikat
merupakan inti dari setiap tuntutan syari’at. Sedangkan ma’rifat merupakan
kemantapan hati yang timbul berdasarkan bukti-bukti atau dalil-dalil yang
sesuai dengan kenyataan.
B. Penutup
Demikianlah
makalah yang dapat kami susun. Dalam penyusunan makalah ini masih banyak sekali
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan sarannya
selalu kami nantikan agar dapat memperbaiki dalam tugas-tugas pembuatan makalah
selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Nasirudin, Pendidikan
Tasawuf. Semarang: RaSAIL Media Group, 2009
·
Nasution,
Harun, Falsafah dan mistisisme dalam Islam, Jakarta ; Bulan
Bintang, 1995
·
Totok
Jumantoro, M.A, Drs., Samsul Munir Amin, M.Ag, Drs., Kamus Ilmu
TASAWUF,Amzah, cetakan pertama, 2005
·
Mustafa
Zahir, Dr., Kuci Memahami Ilmu Tasawwuf, Bina Mulia, 1979
·
Aceh
Abubakar, Prof. Dr. H., Pengantar Ilmu Tarekat, Solo :
Ramadhani ; 1996
[2]) Drs. Totok Jumantoro, M.A.,
Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu TASAWUF, Amzah, cet.1,
hlm. 217
[3]) Drs. Totok Jumantoro, M.A.,
Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu TASAWUF, Amzah,
cet.1, hlm. 239
[6]) Drs. Totok Jumantoro, M.A.,
Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu TASAWUF, Amzah,
cet.1, hlm. 244
[13]) Drs. Totok Jumantoro, M.A.,
Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu TASAWUF, Amzah,
cet.1, hlm. 141
Tidak ada komentar:
Posting Komentar