PENGALAMAN BATIN
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs. Soeparyo, M.Ag
Disusun
oleh :
Shofiyya Maulina (1503056073)
Dita Septian Ningrum (1503056075)
Rizqi Kurina Rohman (1503056098)
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG 2015
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di era modern ini pastinya orang
awam tidak begitu mengetahui pengalaman-pengalaman batin seorang sufi yang
secara tidak langsung kita mengetahui
bagian-bagian kecilnya saja. Seperti contoh seorang tokoh mahabbah yang
bernama Rabiyatul Adawiyah yang rela tidak menikah karena saking cintanya
kepada yang menciptakan-Nya, walaupun disekelilingnya terdapat banyak laki-laki
yang ingin meminangnya namun banyak pula yang ditolaknya. Dan yang lainnya
masih banyak lagi dan akan dibahas kelompok kami di bawah ini.
B. Rumusan Masalah
Masalah –
masalah dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah pengalaman batin Khauf?
2.
Bagaimanakah pengalaman batin
Mahabbah?
3.
Bagaimanakah pengalaman batin
Ma’rifat?
4.
Bagaimanakah pengalaman batin
Al-fana’ dan Al-baqa’?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengalaman
Batin Seorang Sufi dalam Berakhlak Khauf
Khauf merupakan cambuk
yang digunakan Allah untuk menggiring hamba-hambanya menuju ilmu dan amal,
supaya dengan keduanya mereka dapat dekat dengan Allah. Khauf adalah kesakitan
hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti yang akan menimpa diri dimasa
yang akan datang.
Khauf menurut ahli sufi
berarti suatu sikap mental merasa takut pada Allah karena khawatir kurang sempurna pengabdian. Sikap
mental khauf merangsang sesorang untuk melakukan hal-hal baik dan mendorong
untuk menjauhi perbuatan jahat dan maksiat. Sebenarnya perasaan khauf seseorang sangat bergantung pada tebal
tipisnya iman. Dan perasaan khauf timbul karena pengenalandan kecintaan kepada Allah
sudah mendalam shingga ia merasa khawatir kalau-kalau Allah melupakannya atau
takut kepada siksa Allah.
Di Al-Qur’an
diterangkan dalam surat As-Sajadah ayat 16,
Artinya : “ Mereka
merenggangkan diri dari tempat tidur (sedikit sangat tidur, karena mengerjakan
sembahyang tahajud dan amal-amal sholih) mereka senantiasa berdo’a kepada Allah
dengan perasaan takut (akan kemurkaanNya) dan mereka selalu pula mendermakan
sebagian dari apa yang kami beri kepada mereka “. (QS. As-Sajadah:16).[1]
B. Pengalaman
Batin Seorang Sufi dalam Berakhlak Ma’rifat
·
Pengrtian
makrifat
Ma’rifat secara bahasa
berasal dari bahasa arab arafa, ya’rifu, arafan, irfan dan ma’rifah yang
berarti mengetahui yang sangat jelas’. Sedang ma’rifat dalam istilah tasawuf
adalah pengetahuan yang melalui
pengalaman langsung tanpa perantara. Pengetahuan langsung di sini adalah
pengalaman yang langsung dirasakan oleh seorang shufi mengenai TUHAN melalui
hatinya dalam bentuk kasyf atau ilham. Apabila orang awam mengetahui Tuhan
melalui infromsi dan orang filosof melalui akalnya, maka para sufi mengetahui
Tuhan melalui hatinya.
Pengetahuan orang awam
bersifat pengalaman, dan pengalaman orang sufi bersifat pengalaman langsung.
Itulah sebabnnya Dzun
Nun al-Misri membagi tiga kelompok orang dalam mengenai Tuhan :
a) Kelompok
awam dimana mereka mengenal Tuhan melalui ucapan kalimah syahadah .
b) Kelompok
para filisof dan teolog dimana mereka mengenal Tuhan melalui pembuktian akal.
Kelmpok ini tidak puas mengakui adanya Tuhan hanya menerima begitu saja. Akan
tetapi dengan akalnya mereka juga ingin membuktikan adanya Tuhan. Adanya alam
merupakan bukti yang mereka tetapkan untuk membuktikan adanya Tuhan.
c) Kelompok
shufi damana mereka mengenal Tuhan melalui hati sanubari.[2]
·
Cara
memperoleh ma’rifat
Apabila hati sebagai
sentral pengetahuan, maka cara memperoleh pengetahuan (ma’rifat) maka harus
terkonsentrasikan pada hati. Ada beberapa cara untuk memperoleh ma’rifat yaitu
:
Pertama, mujahadah
yakni kesungguhan niat dan kesungguhan usaha menuju pencapaian a’rifat. Kedua,
menghapus perbuatan-perbuatan tarcela. Ketiga, mengkosentrasikan diri pada ALAH
s.w.t dengan sepenuh hati.
Ma’rifat dapat
diperoleh juga riyadloh (latihan) dan
mujahadah (usaha dengan sepenuhnya). Untuk itu ma’rifat tidak diperoleh denga
kemaksiatan maupun proses pengambilan kesimpulan dengan berbagai dalil.
Ma’rifat hanya diperoleh melalui amlan yanng nyata. Ibarat kata seseorang tidak
akan menyaksikan dan menyentuh mutiara yang ada di dasar lautan apabila
seseorang tidak tidak menyelam didalamnya. Demikian juga ia tidak akan
menyaksikan hal-hal yang bersifat ketuhanan tanpa mengamalkan suatu ilmu atau
syari’at. Semakin seseorang mengalami dan mengamalkan ia akan ditunjukkan oleh
Allah dengan berbagai ilmu yang sebelumnya tidak diketahui. Itulah sebabnya
semakin dalam amaliah dan ibadah seseorangsemakin bertambah pula keyakinan
seseoran dengan di bukukunnya pintu-pintu ilmu oleh Allah.
·
Tujuan
Ma’rifat
Ma’rifat dekat sekali
dengan iman dan keimanan. Oleh karena itu tingkat keimanan juga ditentukan oleh
tingkat ma’rifat seseorang. Dengan demikian tujuan dari ma’rifat (pengetahuan
yang sebenarnya) adalah memperoleh keyakinan atau keimanan.[3]
Berikut ini terdapat
perkataan dari ai-Syatibi :
a) Hati
akan menjadi terang benderangkalau diterangi iman dan keyakinan.
b) Semakin
kuat iman dan keyakinan, maka hati akan semakin terang benderang dan sebaliknya
kalau iman dan keyakinanya lemah maka cahaya hati akan redup.
c) Kalau
hati terang benderang maka kebenaran dappat disaksikan bahwa Allah yang amaha
besar dapat disaksikan.
d) Kalau
seseorang bisa menyaksikan allah maka akan mengenal asma dan sifat Allah.
e) Kalau
seseorang mengenal asma dan sifat Allah
maka akan semakin ta’dzim pada dzat Allah.
f) Kalau
seseorang semakin tta’dzim kepada Allah maka akan muncul kesempurnaan sebagai
hamba.
g) Kalau
seseorang muncul kaesempurnaan sebagai hamba maka akan semakin tenggelam
kedalam sifat menghambakan diri.
h) Kalau
seseorang semakin tenggelam dalam sikan penghambaan diri maka akan semakin
semakin semangat untuk melaksanakan hak-hak Allah.
Dengan ma’rifat
seseorang akan menyadari dengan sesadar sadarnya bahwa ia adalah seorang hamba
yang siap untuk diperintah dan melaksanakan keinginan tuannya (Allah : Tuhan
yang memiliki dirinya).[4]
C. Pengalaman
Batin Seorang Sufi dalam Berakhlak Mahabbah
Mahabbah adalah melihat
dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah karuniakan kepadanya dan dengan
hati nuraninya. Ia melihat kedekatan Allah denganya, segala perlindungannya,
penjagaan, dan perhatian yang dilimpahkan kepadanya.
Orang yang memiliki
kondisi spiritual mahabbah dibedakan menjadi tiiga tingkatan :
a)
Mahabbah
orang-orang awam. Mahabbah ini lahir karena kebaikan dan kasih sayang Allah SWT
kepada mereka.
b)
Mahabbah yang
muncul karena hati yang selalu melihat pada keagungan dan kebesaran Allah, ilmu
dan kekuasaan-Nya. Dia maha kaya yang tidak membutuhkan apapun. Yang kedua ini
adalah cintanya orang-orang jujur (ash-shadiqin) dan orang-orang yang sanggup
mengaktualisasakan kebenaran yang hakiki (al-muhaqqin).
c)
Mahabbah
orang-orang yang bersifat jujur (ash-shiddiqin) dan orang-orang arif
(al-arifin). Rasa cintanya muncul karena mereka melihat dan mengetahui cinta
Allah yang tanpa sebab dan alasan apapun. Demikian pula, mereka harus mencintai
Allah tanpa sebab dan alasan apapun.[5]
Seorang
Mahbbah terkemuka yang bernama lengkap adalah Umm Al-Khair Rabiah binti Ismail
Al-Adawiyah, lahir di Basrah pada tahun 714 M dan meninggal di tahun 801 M.
Lahir dalam keadaan yang sederhana dan dijual sebagai budak ketika masih
anak-anak, kemudian menetap di Basrah dimana ia meraih popularitas sebagai orang
suci.
Malam itu
ia lahir, tidak ada apapun dirumah ayahnya. Bahkan tidak memiliki setetes
minyak sekalipun untuk menyalakan lampu dan tidak ada kain lap untuk membungkus
bayi yang baru dilahirkan itu.
Ayah dan
ibunya meninggal ketika Rabiah masih kecil dan ketiga saudara perempuannya
meninggal karena wabah kelaparan di Basrah. Ketika Rabiah menginjak dewasa, Ia
ditangkap oleh seorang laki-laki jahat dan dijual seharga enam dirham. Si
pembeli menaruhnya ditempat kerja paksa.Kehidupan dalam belenggu perbudakan
telah mengisi lembar hidup Rabi’ah. Tuannya memperlakukannya dengan sangat
bengis dan tanpa perikemanusiaan. Sebagai seorang budak, Rabi’ah Al
Adawiyah melayani tuannya bahkan sampai menjalani kehidupan layaknya suami
istri. Tetapi Rabi’ah menjalaninya dengan sabar dan tabah. Shalat malam
tetap dilakukannya dengan rutin, lisannya tidak pernah berhenti berdzikir,
istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkannya. Suatu malam, Rabiah
berdo’a kepada Allah “ Ya Robbi, Engkau telah membuatku menjadi budak belian
seorang manusia sehingga aku terpaksa mengabdi kepadannya, seandainya aku bebas
pasti aku akan mempersembahkan seluruh hidupku untuk berdo’a kepadamu.”
Setelah
bebas Rabiyah pergi ke tempat-tempat sunyi untuk bermeditasi, ia sepenuhnya
mengabdikan diei hanya untuk berdo’a kepada sang khaliq. Ia pernah menerima
pinangan untuk sebuah perkawinan yang baik. Diantaranya dari gubernur Basrah
atau dari seorang suci mistis yang terkenal yaitu Hasan Basri. Tetapi Rabiyah
terlalu sibuk mengabdikan dirinya kepada Allah hingga sisa waktunya sangat
sedikit sekali untuk urusan duniawi. Karena itulah semua pinangan ditolaknya.
Rabiyah
seorang mistisme paling terkemuka yang mengajarkan kasih sayang terhadap Tuhan
tanpa pamrih. “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan untuk mendapatkan pahala apapun,
jangan takut pada neraka, jangan mendambakan surga, aku akan menjadi abdi yang
tidak baik jika pengabdianku untuk mendapatkan keuntungan materi, aku mentaati,
tanpa mengharapkan apapun itulah bukti pengabdianku kepada-Nya.
Ajaran-ajaran
yang dianutnya:
1. Ia memopulerkan konsep mahabbah dikalangan sufi.
2. Hidup zuhud dan rutin beribadah kepada Allah SWT.
3. Belum pernah menikah sepanjang hidupnya walaupun ia seorang yang cantik
dan menarik.
4. Kehidupannya sejak awal tidak pernah merugikan orang lain. Ia hidup tanpa
dinodai barang-barang yang sub’ah.
5. Beliau memanjatkan doa dengan syair-syair indah sebagai pembuktian rasa
cinta dan rindunya kepada Allah SWT.[6]
D.
Pengalaman Batin Seorang Sufi dalam
Berakhlak Al-Fana’ dan Al- Baqa’
Secara harfiah fana’ berarti
meninggal dan musnah. Sedangkan dari
segi bahasa Arab yakni faniya- yafna yangberarti musnah, lenyap, hilang, atau
hancur. Dalam
istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur.
Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W 378 H/ 988 M) mendefinisikannya
“hilangnya semua keinginan hawa nafsu seorang, tidak ada pamrih dari segala
perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaanya dapat membedakan
sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika
berbuat sesuatu”. Al fana’ juga berarti
memutuskan hubungan selain Allah, dan mengkhususkan untuk Allah dan bersatu
dengannya.
Adapun arti fana’ menurut
kalangan sufi
adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu
yang lazim digunakan pada diri. Pendapat lain, fana’ berarti bergantiannya
sifat –sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhana,dapat pula berarti
hilangnya sifat-sifat yang tercela.
Selain itu Mustafa Zuhri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana’
adalah lenyapnya indrawi atau kebasyariyahan, yakni sifat manusia yang suka
pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan,
sehingga tiada lagi melihat daripada alam wujud ini, maka dikatakan ia telah
fana’ dari alam cipta atau dari alam makhluk.
Sedangkan Abdurrauf Singkel
mengungkapkan tentang fana’ dan ini menurut istilah para sufi adalah berarti
hilang dan lenyap, sedangkan lawan katanya adalah baqa’, dan lebih jelasnya
sebagaimana disebutkan dalam kitab al-jawahir, fana’ adalah kemampuan seorang
hamba memandang bahwa Allah ta’ala berada pada segala sesuatu. Dalam
menjelaskan pengertian fana’, Al-Qusyairi menulis, “Fananya seseorang dari
dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya ada, demikian pula
makhluk lain, tetapi tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi ke dalam diri
Tuhan dan terjadilah ittihad.”
Dengan demikian, fana’ bagi
seseorang sufi adalah mengharapkan kematian, maksudnya adalah mematikan diri
dari pengaruh dunia. Sehingga yang tersisa hidup di dalam dirinya hanyalah
Tuhan Semesta. Jadi seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan, bila terlebih
dahulu ia harus menghancurkan dirinya, selama ia masih sadar akan dirinya, ia
tidak akan bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri tersebut senantiasa diiringi dengan baqa’, yang
berarti to live and survive (hidup dan terus hidup).
Adapun baqa’, berasal dari
kata baqiya. Artinya dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan bedasarkan
istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Dalam
kamus al-Kautsar, baqa’ berarti tetap, tinggal, kekal. Bisa juga berarti
memafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan kepadanya.
Dalam tasawuf, fana’dan baqa’ beriringan, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli
tasawuf: “Apabila tampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah
yang kekal. Taswuf itu adalah fana’ dari dirinya dan baqa’ dengan Tuhannya,
karena hati mereka bersama Allah”. Sebagai akibat dari fana’ adalah
baqa’. Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam
diri manusia. Karena lenyapnya (fana’) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal
adalah sifat-sifat ilahiah.
Pengalaman ini dialami oleh Abu Yazid. Pencapaian Abu Yazid ke tahap
fana’ dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada
Allah, seperti tampak dalam ceritanya. “Setelah Allah menyaksikan kesucian
hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku di cap dengan
keridhaan-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan”,
jawabku, “karena Engkau lebih utama daripada anugrah lebih besar
daripada kemurahan, dan melalui Engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu.
“Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan,
ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu?” Tuhan menjawab,
“Tinggalkan diri (Nafsu) mu dan kemarilah.”[7]
Abu Yazid pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya:
“Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tahu
pada-Nya melalui diri-Nya maka aku pun hidup.”
Paham
baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’ karena keduanya merupakan paham
yang berpasangan.ketika seorang Sufi sedang mengalami fana’ ketika itu juga ia
sedang menjalani baqa’.
BAB IV
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Khauf merupakan cambuk
yang digunakan Allah untuk menggiring hamba-hambanya menuju ilmu dan amal,
supaya dengan keduanya mereka dapat dekat dengan Allah. Khauf adalah kesakitan
hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti yang akan menimpa diri dimas yang
akan datang.
Ma’rifat secara bahasa
berasal dari bahasa arab arafa, ya’rifu, arafan, irfan dan ma’rifah yang
berarti mengetahui yang sangat jelas’. Sedang ma’rifat dalam istilah tasawuf
adalah pengetahuan yang melalui
pengalaman langsung tanpa perantara. Pengetahuan langsung di sini adalah
pengalaman yang langsung dirasakan oleh seorang shufi mengenai TUHAN melalui
hatinya dalam bentuk kasyf atau ilham. Apabila orang awam mengetahui Tuhan
melalui infromsi dan orang filosof melalui akalnya, maka para sufi mengetahui
Tuhan melalui hatinya.
Mahabbah adalah melihat
dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah karuniakan kepadanya dan dengan
hati nuraninya. Ia melihat kedekatan Allah denganya, segala perlindungannya,
penjagaan, dan perhatian yang dilimpahkan kepadanya.
Secara harfiah fana’ berarti meninggal dan musnah. Sedangkan dari segi bahasa Arab yakni
faniya- yafna yang berarti
musnah, lenyap, hilang, atau hancur. Dalam istilah tasawuf, fana
adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution.
Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar. 2013. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
Nasirudin.
2010. Pendidikan Tasawuf . Semarang:
RaSAIL Media Group
Nasrul
HS. 2015. Akhlak Tasawuf . Yogyakarta:
Aswaja Pressindo
[1]Nasrul
HS, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2015), hlm 197
[2]Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSAIL
Media Group, 2010 ), hlm 101-102
[3]
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf,
(Semarang: RaSAIL Media Group, 2010 ), hlm 105-106
[4]
Ibid, hlm 108
[5]Nasrul
HS, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2015), hlm 196-197
[6]
Ahmad bangun nasuton dkk, Akhlak Tasawuf, ( jakarta: Raja Grafindo Persada,
2013), hlm 204-205
[7]
Ahmad Bangun Nasution dkk, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2013) hlm 180-183
Tidak ada komentar:
Posting Komentar