Sabtu, 09 April 2016

MAKALAH PENGALAMAN BATIN

PENGALAMAN BATIN

Disusun Guna Memenuhi  Tugas
Mata Kuliah:Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs. Soeparyo, M.Ag







           








            Disusun oleh :
Shofiyya Maulina              (1503056073)
Dita Septian Ningrum      (1503056075)
Rizqi Kurina Rohman      (1503056098)

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
 FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN  KEGURUAN
 UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO SEMARANG 2015

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di era modern ini pastinya orang awam tidak begitu mengetahui pengalaman-pengalaman batin seorang sufi yang secara tidak langsung kita mengetahui  bagian-bagian kecilnya saja. Seperti contoh seorang tokoh mahabbah yang bernama Rabiyatul Adawiyah yang rela tidak menikah karena saking cintanya kepada yang menciptakan-Nya, walaupun disekelilingnya terdapat banyak laki-laki yang ingin meminangnya namun banyak pula yang ditolaknya. Dan yang lainnya masih banyak lagi dan akan dibahas kelompok kami di bawah ini.
B.     Rumusan Masalah
Masalah – masalah dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut :
1.         Bagaimanakah pengalaman batin Khauf?
2.         Bagaimanakah pengalaman batin Mahabbah?
3.         Bagaimanakah pengalaman batin Ma’rifat?
4.         Bagaimanakah pengalaman batin Al-fana’ dan Al-baqa’?












BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengalaman Batin Seorang Sufi dalam Berakhlak Khauf
Khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah untuk menggiring hamba-hambanya menuju ilmu dan amal, supaya dengan keduanya mereka dapat dekat dengan Allah. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti yang akan menimpa diri dimasa yang akan datang.
Khauf menurut ahli sufi berarti suatu sikap mental merasa takut pada Allah karena  khawatir kurang sempurna pengabdian. Sikap mental khauf merangsang sesorang untuk melakukan hal-hal baik dan mendorong untuk menjauhi perbuatan jahat dan maksiat. Sebenarnya perasaan khauf  seseorang sangat bergantung pada tebal tipisnya iman. Dan perasaan khauf timbul karena pengenalandan kecintaan kepada Allah sudah mendalam shingga ia merasa khawatir kalau-kalau Allah melupakannya atau takut kepada siksa Allah.
Di Al-Qur’an diterangkan dalam surat As-Sajadah ayat 16,






Artinya : “ Mereka merenggangkan diri dari tempat tidur (sedikit sangat tidur, karena mengerjakan sembahyang tahajud dan amal-amal sholih) mereka senantiasa berdo’a kepada Allah dengan perasaan takut (akan kemurkaanNya) dan mereka selalu pula mendermakan sebagian dari apa yang kami beri kepada mereka “. (QS. As-Sajadah:16).[1]

B.       Pengalaman Batin Seorang Sufi dalam Berakhlak Ma’rifat
·                Pengrtian makrifat
Ma’rifat secara bahasa berasal dari bahasa arab arafa, ya’rifu, arafan, irfan dan ma’rifah yang berarti mengetahui yang sangat jelas’. Sedang ma’rifat dalam istilah tasawuf adalah  pengetahuan yang melalui pengalaman langsung tanpa perantara. Pengetahuan langsung di sini adalah pengalaman yang langsung dirasakan oleh seorang shufi mengenai TUHAN melalui hatinya dalam bentuk kasyf atau ilham. Apabila orang awam mengetahui Tuhan melalui infromsi dan orang filosof melalui akalnya, maka para sufi mengetahui Tuhan melalui hatinya.
Pengetahuan orang awam bersifat pengalaman, dan pengalaman orang sufi bersifat pengalaman langsung.
Itulah sebabnnya Dzun Nun al-Misri membagi tiga kelompok orang dalam mengenai Tuhan :
a)    Kelompok awam dimana mereka mengenal Tuhan melalui ucapan kalimah syahadah .
b)   Kelompok para filisof dan teolog dimana mereka mengenal Tuhan melalui pembuktian akal. Kelmpok ini tidak puas mengakui adanya Tuhan hanya menerima begitu saja. Akan tetapi dengan akalnya mereka juga ingin membuktikan adanya Tuhan. Adanya alam merupakan bukti yang mereka tetapkan untuk membuktikan adanya Tuhan.
c)    Kelompok shufi damana mereka mengenal Tuhan melalui hati sanubari.[2]

·         Cara memperoleh ma’rifat
Apabila hati sebagai sentral pengetahuan, maka cara memperoleh pengetahuan (ma’rifat) maka harus terkonsentrasikan pada hati. Ada beberapa cara untuk memperoleh ma’rifat yaitu :
Pertama, mujahadah yakni kesungguhan niat dan kesungguhan usaha menuju pencapaian a’rifat. Kedua, menghapus perbuatan-perbuatan tarcela. Ketiga, mengkosentrasikan diri pada ALAH s.w.t dengan sepenuh hati.
Ma’rifat dapat diperoleh juga riyadloh (latihan) dan mujahadah (usaha dengan sepenuhnya). Untuk itu ma’rifat tidak diperoleh denga kemaksiatan maupun proses pengambilan kesimpulan dengan berbagai dalil. Ma’rifat hanya diperoleh melalui amlan yanng nyata. Ibarat kata seseorang tidak akan menyaksikan dan menyentuh mutiara yang ada di dasar lautan apabila seseorang tidak tidak menyelam didalamnya. Demikian juga ia tidak akan menyaksikan hal-hal yang bersifat ketuhanan tanpa mengamalkan suatu ilmu atau syari’at. Semakin seseorang mengalami dan mengamalkan ia akan ditunjukkan oleh Allah dengan berbagai ilmu yang sebelumnya tidak diketahui. Itulah sebabnya semakin dalam amaliah dan ibadah seseorangsemakin bertambah pula keyakinan seseoran dengan di bukukunnya pintu-pintu ilmu oleh Allah.
·         Tujuan Ma’rifat
Ma’rifat dekat sekali dengan iman dan keimanan. Oleh karena itu tingkat keimanan juga ditentukan oleh tingkat ma’rifat seseorang. Dengan demikian tujuan dari ma’rifat (pengetahuan yang sebenarnya) adalah memperoleh keyakinan atau keimanan.[3]
Berikut ini terdapat perkataan dari ai-Syatibi :
a)      Hati akan menjadi terang benderangkalau diterangi iman dan keyakinan.
b)      Semakin kuat iman dan keyakinan, maka hati akan semakin terang benderang dan sebaliknya kalau iman dan keyakinanya lemah maka cahaya hati akan redup.
c)      Kalau hati terang benderang maka kebenaran dappat disaksikan bahwa Allah yang amaha besar dapat disaksikan.
d)     Kalau seseorang bisa menyaksikan allah maka akan mengenal asma dan sifat Allah.
e)      Kalau seseorang mengenal asma dan sifat  Allah maka akan semakin ta’dzim pada dzat Allah.
f)       Kalau seseorang semakin tta’dzim kepada Allah maka akan muncul kesempurnaan sebagai hamba.
g)      Kalau seseorang muncul kaesempurnaan sebagai hamba maka akan semakin tenggelam kedalam sifat menghambakan diri.
h)      Kalau seseorang semakin tenggelam dalam sikan penghambaan diri maka akan semakin semakin semangat untuk melaksanakan hak-hak Allah. 

Dengan ma’rifat seseorang akan menyadari dengan sesadar sadarnya bahwa ia adalah seorang hamba yang siap untuk diperintah dan melaksanakan keinginan tuannya (Allah : Tuhan yang memiliki dirinya).[4]

C.      Pengalaman Batin Seorang Sufi dalam Berakhlak Mahabbah
Mahabbah adalah melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah karuniakan kepadanya dan dengan hati nuraninya. Ia melihat kedekatan Allah denganya, segala perlindungannya, penjagaan, dan perhatian yang dilimpahkan kepadanya.
Orang yang memiliki kondisi spiritual mahabbah dibedakan menjadi tiiga tingkatan :
a)      Mahabbah orang-orang awam. Mahabbah ini lahir karena kebaikan dan kasih sayang Allah SWT kepada mereka.
b)      Mahabbah yang muncul karena hati yang selalu melihat pada keagungan dan kebesaran Allah, ilmu dan kekuasaan-Nya. Dia maha kaya yang tidak membutuhkan apapun. Yang kedua ini adalah cintanya orang-orang jujur (ash-shadiqin) dan orang-orang yang sanggup mengaktualisasakan kebenaran yang hakiki (al-muhaqqin).
c)      Mahabbah orang-orang yang bersifat jujur (ash-shiddiqin) dan orang-orang arif (al-arifin). Rasa cintanya muncul karena mereka melihat dan mengetahui cinta Allah yang tanpa sebab dan alasan apapun. Demikian pula, mereka harus mencintai Allah tanpa sebab dan alasan apapun.[5]
 Seorang Mahbbah terkemuka yang bernama lengkap adalah Umm Al-Khair Rabiah binti Ismail Al-Adawiyah, lahir di Basrah pada tahun 714 M dan meninggal di tahun 801 M. Lahir dalam keadaan yang sederhana dan dijual sebagai budak ketika masih anak-anak, kemudian menetap di Basrah dimana ia meraih popularitas sebagai orang suci.
Malam itu ia lahir, tidak ada apapun dirumah ayahnya. Bahkan tidak memiliki setetes minyak sekalipun untuk menyalakan lampu dan tidak ada kain lap untuk membungkus bayi yang baru dilahirkan itu.
Ayah dan ibunya meninggal ketika Rabiah masih kecil dan ketiga saudara perempuannya meninggal karena wabah kelaparan di Basrah. Ketika Rabiah menginjak dewasa, Ia ditangkap oleh seorang laki-laki jahat dan dijual seharga enam dirham. Si pembeli menaruhnya ditempat kerja paksa.Kehidupan dalam belenggu perbudakan telah mengisi lembar hidup Rabi’ah. Tuannya memperlakukannya dengan sangat bengis dan tanpa perikemanusiaan. Sebagai seorang budak, Rabi’ah Al Adawiyah melayani tuannya bahkan sampai menjalani kehidupan layaknya suami istri. Tetapi Rabi’ah menjalaninya dengan sabar dan tabah. Shalat malam tetap dilakukannya dengan rutin, lisannya tidak pernah berhenti berdzikir, istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkannya. Suatu malam, Rabiah berdo’a kepada Allah “ Ya Robbi, Engkau telah membuatku menjadi budak belian seorang manusia sehingga aku terpaksa mengabdi kepadannya, seandainya aku bebas pasti aku akan mempersembahkan seluruh hidupku untuk berdo’a kepadamu.”
Setelah bebas Rabiyah pergi ke tempat-tempat sunyi untuk bermeditasi, ia sepenuhnya mengabdikan diei hanya untuk berdo’a kepada sang khaliq. Ia pernah menerima pinangan untuk sebuah perkawinan yang baik. Diantaranya dari gubernur Basrah atau dari seorang suci mistis yang terkenal yaitu Hasan Basri. Tetapi Rabiyah terlalu sibuk mengabdikan dirinya kepada Allah hingga sisa waktunya sangat sedikit sekali untuk urusan duniawi. Karena itulah semua pinangan ditolaknya.
Rabiyah seorang mistisme paling terkemuka yang mengajarkan kasih sayang terhadap Tuhan tanpa pamrih. “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan untuk mendapatkan pahala apapun, jangan takut pada neraka, jangan mendambakan surga, aku akan menjadi abdi yang tidak baik jika pengabdianku untuk mendapatkan keuntungan materi, aku mentaati, tanpa mengharapkan apapun itulah bukti pengabdianku kepada-Nya.
Ajaran-ajaran yang dianutnya:
1.      Ia memopulerkan konsep mahabbah dikalangan sufi.
2.      Hidup zuhud dan rutin beribadah kepada Allah SWT.
3.      Belum pernah menikah sepanjang hidupnya walaupun ia seorang yang cantik dan menarik.
4.      Kehidupannya sejak awal tidak pernah merugikan orang lain. Ia hidup tanpa dinodai barang-barang yang sub’ah.
5.      Beliau memanjatkan doa dengan syair-syair indah sebagai pembuktian rasa cinta dan rindunya kepada Allah SWT.[6]

D.      Pengalaman Batin Seorang Sufi dalam Berakhlak Al-Fana’ dan Al-     Baqa’
Secara harfiah fana’ berarti meninggal dan  musnah. Sedangkan dari segi bahasa Arab yakni faniya- yafna yangberarti musnah, lenyap, hilang, atau hancur. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W 378 H/ 988 M) mendefinisikannya “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaanya dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu”. Al fana’ juga berarti memutuskan hubungan selain Allah, dan mengkhususkan untuk Allah dan bersatu dengannya.
Adapun arti fana’ menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Pendapat lain, fana’ berarti bergantiannya sifat –sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhana,dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang tercela.  Selain itu Mustafa Zuhri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana’ adalah lenyapnya indrawi atau kebasyariyahan, yakni sifat manusia yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat daripada alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana’ dari alam cipta atau dari alam makhluk.
Sedangkan Abdurrauf Singkel mengungkapkan tentang fana’ dan ini menurut istilah para sufi adalah berarti hilang dan lenyap, sedangkan lawan katanya adalah baqa’, dan lebih jelasnya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-jawahir, fana’ adalah kemampuan seorang hamba memandang bahwa Allah ta’ala berada pada segala sesuatu. Dalam menjelaskan pengertian fana’, Al-Qusyairi menulis, “Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya ada, demikian pula makhluk lain, tetapi tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan  makhluk lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad.”
Dengan demikian, fana’ bagi seseorang sufi adalah mengharapkan kematian, maksudnya adalah mematikan diri dari pengaruh dunia. Sehingga yang tersisa hidup di dalam dirinya hanyalah Tuhan Semesta. Jadi seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan, bila terlebih dahulu ia harus menghancurkan dirinya, selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri tersebut  senantiasa diiringi dengan baqa’, yang berarti to live and survive (hidup dan terus hidup).
Adapun baqa’, berasal dari kata baqiya. Artinya dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan bedasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Dalam kamus al-Kautsar, baqa’ berarti tetap, tinggal, kekal. Bisa juga berarti memafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan kepadanya. Dalam tasawuf, fana’dan baqa’ beriringan, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli tasawuf: “Apabila tampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal. Taswuf itu adalah fana’ dari dirinya dan baqa’ dengan Tuhannya, karena hati mereka bersama Allah”. Sebagai akibat dari fana’ adalah baqa’. Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana’) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.
Pengalaman ini dialami oleh Abu Yazid. Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya. “Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku di cap dengan keridhaan-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan”,  jawabku, “karena Engkau lebih utama daripada anugrah lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu. “Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan, ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (Nafsu) mu dan kemarilah.”[7]
Abu Yazid pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya:
“Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya maka aku pun hidup.”
Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’ karena keduanya merupakan paham yang berpasangan.ketika seorang Sufi sedang mengalami fana’ ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.







BAB IV
KESIMPULAN
Khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah untuk menggiring hamba-hambanya menuju ilmu dan amal, supaya dengan keduanya mereka dapat dekat dengan Allah. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti yang akan menimpa diri dimas yang akan datang.
Ma’rifat secara bahasa berasal dari bahasa arab arafa, ya’rifu, arafan, irfan dan ma’rifah yang berarti mengetahui yang sangat jelas’. Sedang ma’rifat dalam istilah tasawuf adalah  pengetahuan yang melalui pengalaman langsung tanpa perantara. Pengetahuan langsung di sini adalah pengalaman yang langsung dirasakan oleh seorang shufi mengenai TUHAN melalui hatinya dalam bentuk kasyf atau ilham. Apabila orang awam mengetahui Tuhan melalui infromsi dan orang filosof melalui akalnya, maka para sufi mengetahui Tuhan melalui hatinya.
Mahabbah adalah melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah karuniakan kepadanya dan dengan hati nuraninya. Ia melihat kedekatan Allah denganya, segala perlindungannya, penjagaan, dan perhatian yang dilimpahkan kepadanya.
Secara harfiah fana’ berarti meninggal dan  musnah. Sedangkan dari segi bahasa Arab yakni faniya- yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang, atau hancur. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur.













DAFTAR PUSTAKA
Nasution. Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar. 2013. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Nasirudin. 2010. Pendidikan Tasawuf . Semarang: RaSAIL Media Group
Nasrul HS. 2015. Akhlak Tasawuf . Yogyakarta: Aswaja Pressindo



[1]Nasrul HS, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015),   hlm 197
[2]Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2010 ), hlm 101-102 
[3] Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2010 ), hlm 105-106
[4] Ibid, hlm 108
[5]Nasrul HS, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015),   hlm 196-197

[6] Ahmad bangun nasuton dkk, Akhlak Tasawuf, ( jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm 204-205
[7] Ahmad Bangun Nasution dkk, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013) hlm 180-183

Tidak ada komentar:

Posting Komentar