MAKALAH
TAUHID
RUBUBIYAH, ULUHIYAH, ASMA’ WA SHIFAT
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu
Tauhid
Dosen Pengampu
: Drs. H. Soeparyo, M. Ag
Disusun Oleh :
Ati
Nur Afifah 1503056069
Fizalul 150305607
Firdausia
Kholidah 1503056084
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
segala limpahan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Tauhid Rububiyah, Uluhiyah, Asma’ Wa Shifat” dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan informasi bagi para pembaca tentang
tauhid.
Sholawat dan salam tetap
tercurahkan kepada junjungan Nabi agung Muhammad SAW, serta keluarga, sahabat dan pengikutnya.
Penyusun
menyadari tanpa bantuan dari semua pihak, penulisan makalah ini mungkin tidak
dapat terlaksana. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Muhibbin, M. Ag selaku rektor UIN Wallisongo Semarang
yang telah memberi izin kepada penyusun untuk mengumpulkan data sebagai
penyusun makalah ini.
2. Bapak Drs. H. Soeparyo, M. Ag selaku dosen pengampu yang telah memberikan
pengarahan dan koreksi sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai waktu
yang telah ditentukan.
3. Teman-teman semuanya yang telah memberikan motivasinya serta semua pihak
yang telah membantu terselesainya penyusun makalah ini.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan
dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini, karena keterbatasan kemampuan yang
penyusun miliki. Oleh karena itu, penyusun mohon kritik dan sarannya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Semarang,
03 September 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pembahasan mengenai tauhid merupakan hal yang paling urgen
dalam agama Islam, dimana tauhid mengambil peranan penting dalam membentuk
pribadi-pribadi yang tangguh, selain juga sebagai inti atau akar daripada
‘Aqidah Islamiyah. Keimanan itu merupakan akidah dan pokkok yang di atasnya
berdiri syari’at Islam. Kemudian dari pokok itu keluarlah cabang-cabangnya.[1]
Tauhid ialah
mengesakan Allah dan mengakui keberadaannya serta kuat kepercayaannya bahwa
Allah itu hanya satu tidak ada yang lain. Tidak ada sekutu baginya, yang bisa
menandinginya bahkan mengalahkannya.
Manusia
berdasarkan fitrah dan akal sehat pasti mengakui bahwasanya Allah itu Maha esa.
Seorang muslim wajib mengimani akan keesaaan Allah ta’ala dan bahwasannya tidak ada tuhan yang
berhak disembah melainkan Allah ta’ala, adapun
kalimat tauhid itu sendiri yang dimaksud ialah La ilaha illah yang berarti tidak ada yang
berhak disembah selain Allah.
Ada tiga macam
tauhid dalam islam, yakni : Tauhid Rububiyah, Uluhiyah, Asma wa sifat. Ketiga
tauhid tersebut harus dimiliki oleh manusia sebagai hamba-Nya. Sebagai umat
muslim kita tidak boleh hanya memiliki salah satu dari ketiga tauhid tersebut,
karena ketiga tauhid tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Apabila kita hanya mempercayai salah satu diantaranya maka kita
tidak bisa disebut sebagai seorang yang syirik bahkan keluar dari islam.
Jadi tiga jenis
Tauhid di atas, wajib diketahui oleh setiap muslim (dan segala ubudiyah kita
kepada Allah wajib dengan ketiga tauhid itu semua) karena Tauhid adalah pondasi
keimanan seseorang kepada Allah ta’ala, sehingga
hendaklah kita senantiasa menjaga kemurnian tauhid kita di dalam beribadah
kepada Allah ta’ala dari apa saja yang
dapat merusak Tauhid kita.
B.
Rumusan Masalah
Sesuai dengan tema yang telah kami terima sebagai materi
makalah yaitu pembagian Ilmu Tauhid, maka rumusan masalah yang dikaji dalam
makalah penulis yaitu :
a. Apa
yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyah?
b. Apa
yang dimaksud dengan Tauhid Uluhiyah?
c. Apa
yang dimaksud dengan Asma wa Shifat?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
a. Untuk
mengetahui pengertian Tauhid Rububiyah
b. Untuk
mengetahui pengertian Tauhid Uluhiyah
c. Untuk
mengetahui pengertian Tauhid Asma wa Shifat
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Tauhid
Rububiyah
Kata at-tauhid berasal dari kata wahhada,
yuwahhidu, tauhidan. Kata wahhada meliputi makna kesendirian sesuatu
dengan dzat, sifat atau af’alnya (perbuatannya), dan tidak
adanya sesuatu yang menyerupainya dan menyertainya dalam hal kesendiriannya.[2]
Secara bahasa
rububiyah berasal dari kata Rabb. Kata Rabb digunakan dengan
penggunaan yang haqiqi dan juga digunakan untuk yang lain secara majazi atau
idhafi, dan tidak untuk yang lain. Rububiyah adalah kata yang
dinisbatkan kepada salah satu nama Allah SWT, yaitu “Rabb”. Nama ini mempunyai
beberapa arti, antara lain: al-Murabbi (pemelihara), al-Nashir (penolong),
al-Malik (pemilik), al-Muslih (yang memperbaiki), al-Sayyid (tuan), dan al-Wali
(wali). Sedangkan menurut istilah tauhid rububiyah berarti “percaya bahwa hanya
Allah-lah satu-satunya pencipta, pemilik, pengendali alam raya yang dengan
takdirnya Ia menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan
sunnah-sunnah-Nya. Dan karena Allah adalah Rabb yang
hak bagi semesta alam, maka Dia sajalah yang khusus dengan ketuhanan tanpa yang
lain, wajib mengesakan-Nya dalam ketuhanan, dan tidak menerima adanya sekutu
bagi-Nya dalam ketuhanan, yaitu sifat ketuhanan tidak mungkin ada pada yang
lain dari makhluk-Nya.
Tauhid rububiyah adalah suatu kepercayaan bahwa yang
menciptakan alam dunia beserta isinya ini hanyalah Allah sendiri tanpa bantuan
siapapun. Dunia ini ada yang menjadikan yaitu Allah SWT. Allah maha kuat tiada
kekuatan yang menyamai af’al Allah. Maka timbullah kesadararan bagi
mahluk untuk mengagungkan Allah. Mahluk harus bertuhan hanya kepada Allah,
tidak kepada yang lain. Maka keyakinan inilah yang disebut dengan tauhid rububiyah.
Jadi tauhid rububiyah adalah tauhid yang berhubungan dengan ketuhanan.
Sebagaimana telah dikatahui bahwa iman kepada wujud Allah, ke-Esaan,
serta rububiyyah-Nya atas seluruh mahluknya merupakan perkara yang
memang hati telah tercipta dan jiwa telah terbentuk untuknya, juga telah
sepakat atasnya seluruh umat, sebab Allah sangat jelas dan sangat nyata
sehingga tidak memerlukan dalil untuk membuktikan wujudnya. Firman Allah SWT:
قا لت رسلهم افى ا لله شك فا طر ا
لسموات وا لارض
“Berkata
para rasul mereka: ‘Apakah ada keraguan-keraguan terhadap Allah, pencipta
langit dan bumi…?”. (QS.
Ibrahim: 10).
Allah pencipta alam beserta isinya, seperti firman Allah
dalam Al-Qur’an:
ذا لكم ا لله ربكم لا ا له الا هو خا
لق كل شيء فعبدوه وهو على كل شيء وكيل
“Yang
memiliki sifat-sifat demikian itu ialah Allah tuhan kamu, tidak ada tuhan
selain dia, pencipta segala sesuatu maka sembahlah dia, dialah pemelihara
segala sesuatu”. (QS.
Al-An’am: 102).
Jadi dapat disimpulkan bahwasanya kata rububiyah
meyakini bahwa Allah SWT sebagai tuhan satu-satunya yang menguasai dan mengurus
serta mengatur alam semesta. Tauhid rububiyah akan rusak apabila kita
mengakui bahwa yang mengurus alam ini ada dua tuhan ataupun lebih. Seperti
dipercayai oleh bangsa persi pada zaman dahulu. Adapun Al-Qur’an menetapkan ke-Esaan
Allah dalam menjadikan alam (tauhid rububiyah) dengan berbagai dalil dan
akal yang logis. Memang Al-Qur’an mengokohkan ke-Esaan Allah
sebagaimana Al-Qur’an mengokohkan adanya Allah.
2.
Tauhid
Uluhiyah
Kata Uluhiyah berasal dari kata alaha – ya’lahu – ilahan – uluhah yang bermakna menyembah dengan
disertai rasa cinta dan pengagungan. Sehingga ta’alluh diartikan sebagai
penyembahan yang disertai rasa kecintaan dan pengagungan. Tauhid uluhiyah
adalah keyakinan yang teguh bahwa hanya Allah yang berhak disembah disertai
dengan pelaksanaan pengabdian atau penyembahan kepadanya saja dan tidak
mengalihkannya kepada yang selainnya. Ungkapan yang paling detail tentang makna
ini adalah ucapan syahadat yaitu Laa Ilaaha Illallaah yang
maknanya tidak ada Tuhan yang
berhak disembah selain Allah.
Dengan kata lain tauhid uluhiyah adalah
mengiktikadkan bahwa Allah sendirilah yang berhak disembah dan berhak dituju
oleh semua hamba-Nya, atau dengan kata lain tauhid uluhiyah adalah
percaya sepenuhnya bahwa Allah berhak menerima semua peribadatan mahluk, dan
hanya Allah sajalah yang sebenarnya yang harus disembah.
Manusia bersujud kepada Allah. Allah tempat meminta, Allah
tempat mengadu nasibnya, manusia wajib mentaati perintah dan menjauhi
larangan-Nya. Semua yang bersifat kebaktian kepada Allah tanpa perantara (wasilah).
Allah melarang kita menyembah selainnya, seperti menyembah batu, menyembah
matahari dan lain sebagainya. Dan itu semua adalah perbuatan syirik yang
sangat besar dosanya dan sangat dibenci Allah, bahkan Allah tidak akan
mengampuni dosa musyrik itu.
Dengan kata lain yang dimaksud tauhid uluhiyah adalah
meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT. firman Allah SWT:
وا لهكم ا له واحد لاا له الاهوا
لرحمن ا لرحيم
“Dan
tuhanmu adalah tuhan yang maha esa, tidak ada tuhan selain dia, yang maha
pemurah lagi maha penyayang”.
(QS. Al-Baqoroh: 163).
Singkatnya, keyakinan tentang Allah. Allah sebagai tuhan
satu-satunya, baik dzat maupun sifatnya, dan perbuatan itulah
yang disebut tauhid uluhiyah. Uluhiyah kata nisbatnya dari kata Al-Illah
yang berarti tuhan yang wajib ada, yaitu Allah, sedangkan uluhiyah
berarti Allah sebagai satu-satunya tuhan.
Satu adalah Esa pada Dzat-Nya, berarti bahwa dzat
Allah SWT tidak tersusun dari bagian-bagian, hal itu disebabkan karena dzat
Allah SWT itu bukan benda fasik. Tidak seperti benda-benda fisik dan
benda-benda lainnya.
Kemudian dengan keyakinannya dia bermuamalah kepada Allah
dengan ihlas, beribadah dan menghambakan diri hanya kepadanya, serta berdo’a
dan berseru hanya kepadanya, ia juga mengimani bahwa Allah pengatur segala
urusan, pencipta segala mahluk, pemilik asmaul husna dan sifat-sifat
sempurna.
Jadi tauhid Uluhiyah ialah kita percaya bahwa Allah
lah satu-satunya tuhan yang wajib disembah dan tiada sekutu baginya. Untuk
membedakan antara tauhid Rububiyah dan Uluhiah secara singkatnya
adalah tauhid uluhiyah hanya dimiliki oleh orang-orang mu’min saja,
sedangkan tauhid rububiyah semua orang mempercayainya, sekalipun dia
adalah orang kafir.
Tauhid uluhiyah merupakan
konsekuensi tauhid rububiyah. Syaikh Abdurrazzaq bin
Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah menjelaskan, “Kemudian, sesungguhnya
keimanan seorang hamba kepada Allah sebagai Rabb memiliki konsekuensi
mengikhlaskan ibadah kepada-Nya serta kesempurnaan perendahan diri di
hadapan-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Aku adalah Rabb
kalian, maka sembahlah Aku.” (QS. al-Anbiya’: 92). Allah ta’ala juga
berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, sembahlah Rabb kalian.” (QS.
Al-Baqarah: 21)”.[3]
Iman
terhadap rububiyah Allah belum bisa memasukkan ke dalam Islam. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah,
melainkan mereka juga terjerumus dalam kemusyrikan.” (QS. Yusuf: 107).
Ikrimah
berkata, “Tidaklah kebanyakan mereka -orang-orang musyrik- beriman kepada Allah
kecuali dalam keadaan berbuat syirik. Apabila kamu tanyakan kepada mereka
siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Maka mereka akan menjawab, ‘Allah’.
Itulah keimanan mereka, namun di saat yang sama mereka juga beribadah kepada
selain-Nya.” [4]
Ini
artinya, menganggap bahwa keyakinan Allah sebagai satu-satunya pencipta dan
pemelihara alam semesta sebagai intisari tauhid adalah jelas sebuah kekeliruan.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bukanlah yang dimaksud dengan
tauhid itu sekedar tauhid rububiyah yaitu keyakinan bahwa Allah semata yang
menciptakan alam sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang dari kalangan
ahli kalam dan tasawuf. Bahkan, mereka menyangka apabila mereka telah
menetapkan kebenaran hal ini dengan dalil maka mereka merasa telah mengukuhkan
hakikat tauhid. Mereka beranggapan apabila telah menyaksikan dan mencapai
tingkatan ini artinya mereka berhasil menggapai puncak tauhid. Padahal
sesungguhnya apabila ada seseorang yang mengakui sifat-sifat yang menjadi
keagungan Allah ta’ala, menyucikan-Nya dari segala sesuatu yang mencemari
kedudukan-Nya, dan meyakini Allah satu-satunya pencipta segala sesuatu,
tidaklah dia menjadi seorang muwahid sampai dia mengucapkan syahadat laa ilaha
illallah; tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, mengakui Allah
semata yang berhak diibadahi, menjalankan ibadah kepada Allah dan tidak
mempersekutukan-Nya”.[5]
Syaikh
Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan, “Sebagaimana pula wajib diketahui
bahwa pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja tidaklah mencukupi dan tidak
bermanfaat kecuali apabila disertai pengakuan terhadap tauhid uluhiyah
(mengesakan Allah dalam beribadah) dan benar-benar merealisasikannya dengan
ucapan, amalan, dan keyakinan…” [6]
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
memaparkan, “Mengapa para nabi tidak berkonsentrasi pada penetapan tauhid
rububiyah dan dakwah kepadanya? Sebab tauhid rububiyah adalah sesuatu yang
telah mereka akui. Mereka tidaklah mengingkarinya, dan tidak ada seorang pun
yang berani mengingkari tauhid rububiyah selamanya, kecuali karena kesombongan
semata. Karena pada hakikatnya tidak ada seorang pun yang meyakini -selamanya-
bahwa alam semesta menciptakan dirinya sendiri. Bahkan, kaum Majusi Tsanuwiyah
sekalipun; yang berkeyakinan bahwa alam semesta ini memiliki dua pencipta.
Meskipun demikian, mereka tetap meyakini bahwa salah satu diantara keduanya
lebih sempurna. Mereka meyakini bahwa tuhan cahaya menciptakan kebaikan,
sedangkan tuhan kegelapan menciptakan keburukan. Sementara mereka mengatakan
bahwa tuhan cahaya adalah tuhan yang baik dan bermanfaat. Adapun tuhan
kegelapan adalah tuhan yang buruk…” “…Intinya, tidak akan anda temukan
selamanya seorang pun yang berkata bahwa alam semesta ini diciptakan tanpa
adanya Sang pencipta, kecuali orang yang sombong. Sedangkan orang yang sombong
semacam ini adalah termasuk golongan orang musyrik. Adapun masalah [tauhid]
uluhiyah, maka itulah permasalahan yang menjadi sumber pertikaian dan
pertentangan antara para rasul dengan umat mereka.” [7]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
berkata, “Diantara perkara yang mengherankan adalah kebanyakan para penulis
dalam bidang ilmu tauhid dari kalangan belakangan (muta’akhirin) lebih
memfokuskan pembahasan mengenai tauhid rububiyah. Seolah-olah mereka sedang
berbicara dengan kaum yang mengingkari keberadaan Rabb [Allah] -walaupun
mungkin ada orang yang mengingkari Rabb [Sang Pencipta dan Penguasa alam
semesta]- akan tetapi bukankah betapa banyak umat Islam yang terjerumus ke
dalam syirik ibadah!!” [8]
Tatkala para ulama salaf sangat memperhatikan
masalah tauhid ibadah, sesungguhnya mereka melakukan itu semata-mata untuk
mengikuti bagaimana Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
memulai dakwahnya. Karena tauhid rububiyah adalah perkara yang fitrah ada pada
manusia, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang telah tercabut fitrah
darinya dan terbutakan mata hatinya… Adapun salafiyun -dengan manhaj mereka
ini- berbeda dengan kaum Mutakallimin dari kalangan Asya’irah dan selainnya
yang melalaikan masalah tauhid ini dan tidak mencurahkan segenap upaya mereka
untuk mengokohkan dan mengajarkan hal itu kepada umat manusia. Bahkan, puncak
perjuangan mereka hanyalah berdalil untuk menetapkan keberadaan al-Khaliq,
padahal ini semuanya telah terpatri di dalam fitrah manusia yang suci.
Sebagaimana sudah kami isyaratkan baru saja. Oleh sebab itu untuk menetapkan
hal itu tidaklah memerlukan upaya yang rumit. Apalagi sampai menjadikan segala
upaya hanya untuk mencapai tujuan itu. Yang demikian itu terjadi kepada mereka
disebabkan mereka menganggap bahwa hakikat ilahiyah adalah kemampuan untuk
mencipta. Oleh sebab itu mereka berjuang untuk memberikan penjelasan kepada
manusia bahwa Allah sebagai satu-satunya pencipta. Kelalaian inilah yang pada
akhirnya menjerumuskan mereka ke dalam berbagai kotoran bid’ah dalam
ibadah dan sebagian praktek kemusyrikan, akibat mengesampingkan tauhid ibadah.[9]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri
dari tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah
ucapan laa ilaha illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan
dari jalan, dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Karena tauhid uluhiyah adalah cabang keimanan yang
tertinggi maka mendakwahkannya merupakan dakwah yang paling utama. Syaikh Abdul
Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu para da’i yang
menyerukan tauhid adalah da’i-da’i yang paling utama dan paling mulia. Sebab
dakwah kepada tauhid merupakan dakwah kepada derajat keimanan yang tertinggi.” [10]
3. Asma wa Shifat
Iman kepada asma-asma Allah dan sifat-sifat
Allah yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis yaitu mengimani semua asma-asma
dan sifat-sifat Allah secara utuh tanpa menyamakannya dengan sifat dan
nama manusia. Allah berfirman:
يعلم ما بين ايد يهم وما خلفهم
ولايحيطون به علما
“Dia
mengetahui apa yang ada dihadapan mereka dan apa yang ada dibelakang mereka
sedang ilmu-ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya”. (QS. Thaha: 110).
Manhaj Ahlussunah Waljamaah dalam bab asma dan sifat-sifat
Allah adalah mensifatkan Allah dengan sifat-sifat yang telah
ditetapkannya untuk dirinya atau yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW.[11]
Tanpa tahrif atau ta’wil yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya.
Ta’thil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah. Takyif yaitu
menerangkan keadaan yang ada padanya sifat. Tamtsil sama dengan Tasybih, yaitu
mempersamakan atau menyerupakan Sifat Allah Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya.
Hal itu sejalan dengan apa yang telah digariskan Allah melalui firmannya:
ليس كمثله شيء وهوا لسميع ا لبصير
“Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengannya dan dia maha pendengar lagi maha penyayang. (QS. Asy-Syura: 11)
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Hurairah
r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Allah
memiliki sembilan puluh sembilan nama, barang siapa yang menghitungnya
(membacanya) maka ia akan masuk surga.
Terdapat kesepakatan diantara para ulama salaf bahwa
wajib mengimani semua nama-nama Allah. Misalnya Al-Qadir (yang maha
kuasa) mengandung makna bahwa kita harus percaya bahwa Allah maha kuasa untuk
melakukan segala hal, dan bahwa kekuasaan-Nya adalah sempurna dan segala hal
yang ada di alam berasal dari kekuasaan-Nya.
Dalam teologi islam terdapat pertentangan mengenai
masalah apakah tuhan mempunyai sifat atau tidak. Sifat, dalam arti sesuatu yang
mempunyai wujud tersendiri. Sebagian aliran mengatakan ada dan sebagian lain
mengatakan tidak. Disinggung Muhammad Abduh dalam risalah ia menyebut sifat-sifat
tuhan. Mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi tuhan
ataukah lain dari esensi tuhan. Ia jelaskan bahwa hal itu terletak
diluar kemampuan manusia untuk mengetahuinya. Tetapi sungguhpun demikian ia
kelihatannya lebih cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi
tuhan walaupun ia tidak tegas mengatakan demikian.
Al-Qur’an menawarkan terhadap orang-orang kafir dan penolak
dalil dimana pikiran-pikiran rasional tidak mempunyai pilihan selain untuk
menegaskan dan dimana tidak ada pikiran logis yang dapat menolaknya. Allah maha
mulia berfirman:
“Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatu (sebab)pun ataukah mereka telah menciptakan
(diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan seluruh langit dan bumi
itu? Namun mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). (QS. Ath-Thur:
35-36).
Al-Qur’an mengatakan kepada mereka, “Kamu ada dan kamu tidak
dapat mengingkari hal ini, langit dan bumi ada diluar keraguan apapun”, ini
semata-mata merupakan persoalan yang masuk akal terhadap pikiran yang rasional
bahwa hal-hal yang ada pasti memiliki sebab-sebab keberadaannya. Hukum ini
menyatakan bahwa suatu hal mungkin tidak dapat terjadi dengan sendirinya, dan
sesuatu itu tidak dapat dengan sendirinya tanpa hal lain yang menyebabkannya.
Karena sesuatu itu tidak memiliki kekuatan dalam dirinya sendiri untuk eksis
dengan sendirinya. Dan sesuatu itu tidak dapat dengan sendirinya menyebabkan
sesuatu yang lain untuk eksis. Karena sesuatu itu tidak dapat memberikan suatu
lainnya apa yang ia sendiri tidak miliki.
Kaum muslimin pada abad hijriyah kalau bertemu dengan
ayat-ayat yang membicarakan sifat-sifat tuhan, seperti tempat
yang berisi tangan tempat bagi tuhan, tidak mau membicarakan isinya juga tidak
mau menukilkan isinya meskipun ia berpendirian seharusnya tidak diartikan
menurut lahirnya, karna tuhan maha suci dan tidak bisa disamakan dengan mahluk.
Dengan kata lain tidak ada persamaan antara alam lahir dengan alam ghaib,
karena itu persoalan sifat tidak pernah menjadi pembicaraan pada masa sahabat
dan tabi’in. akan tetapi pada masa sesudah mereka timbullah persoalan sifat dan
menjadi pembicaraan golongan-golongan islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
1. Kata at-tauhid berasal dari
kata wahhada-yuwahhidu-tauhidan. Kata wahhada memiliki makna
kesendirian sesuatu dengan dzat, sifat atau af’alnya dan
tidak adanya sesuatu yang menyerupainya dan menyertainya dalam hal
kesendiriannya.
2. Tauhid rububiyah ialah suatu kepercayaan bahwa yang
menciptakan alam dunia beserta isinya ini hanyalah Allah sendiri tanpa bantuan
siapapun
3. Tauhid uluhiyah adalah mengiktikadkan bahwa Allah
sendirilah yang berhak disembah dan berhak dituju oleh semua hambanya
4.
Iman
kepada asma-asma Allah dan sifat-sifat Allah yang telah
disebutkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis yaitu mengimani semua asma-asma
dan sifat-sifat Allah secara utuh tanpa menyamakannya dengan sifat dan
nama manusia.
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat. Semoga
apa yang kami diskusikan dapat menambah rasa syukur kita kepada Allah dan
menambah pengetahuan kami. Adapun dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
yang masih perlu kami sempurnakan. Untuk itu kritik dan saran sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan kami ucapan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Aqil, Muhammad bin A.W. 2009. Manhaj
‘Aqiqah Imam Asy-Syafi’I, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I.
Al-Asyqar,
Umar. 2008. Belajar Tentang Allah, Jatiwaringin: Sahara intisains.
Al Jazairi, Abu Bakar. 2002. Akidah
Mukmin, Jakarta : Pustaka Al Kautsar
Hanafi.
1980. Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Zakaria, A.
2008. Pokok-pokok Ilmu Tauhid. Garut:
IBN AZKA.
https://abu0mushlih.wordpress.com/2013/10/05/kaitan-tauhid-rububiyah-dan-tauhid-uluhiyah
diakses pada tanggal
http://hd578w9wer.blogspot.co.id/2013/01/makalah-tafsir-tuhid-rububiyahuluhiyah
di akses pada tanggal
[2] ).
Muhammad bin A.W. Al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqiqah Imam Asy-Syafi’I,
Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2009, hal. 279.
[3] ). Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 97
[4] ). Fath al-Bari
[13/556]
[5]) . Fath al-Majid,
hal. 15-16
[6]). Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal. 24-25
[7]). Syarh al-Qawa’id al-Hisan, hal. 21
[8]). Al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid
[1/8]
[9] ). Al-Manhaj as-Salafi, Ta’rifuhu, Tarikhuhu,
Majalatuhu, Qawa’iduhu wa Khasha’ishuhu, hal. 134 oleh Dr. Mafrah bin
Sulaiman al-Qusi, cet. Darul Fadhilah, 1422 H
[10]). Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar,
hal. 16
[11]). Muhammad
bin A.W. Al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqiqah Imam Asy-Syafi’I, Jakarta: Pustaka
Imam Asy-Syafi’I, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar