Sabtu, 09 April 2016

SIFAT-SIFAT TERCELA

MAKALAH
Disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah                : Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu        : Drs. Soeparyo, M.Ag.
Disusun Oleh :
Hidayatur Rokhmah             (1503056070)
Alicia Indah Ardiani                        (1503056081)
Linda Nur Chabibah             (1503036090)

 


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
 UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
 2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Dalam keseluruhan pembelajaran islam, akhlak menempati kedudukan yang istimewa, hal ini berdasarkan kaidah bahwa Rasulluah S.A.W menempatkan penyempurnaan akhlak yang mulia sebagai misi pokok risalah islam. Dan dalam penciptaannya, Allah telah menciptakan sesuatu secara berpasang-pasangan begitu pula dengan akhlak, terdapat akhlak terpuji dan akhlak tercela.
            Untuk mencapai keridhaan dari Allah, manusia diharapkan untuk menghindari akhlak tercela, adapun diantara diantara akhlak tercela (akhlak mazmumah) adalah hubbud-dunnya, ittibaul-hawa, tamak, takabur, riya, ujub,sum’ah d.l.l
            Dengan mengetahui akhlak mazmumah diharapkan manusia dapat menjauhinya dan meningkatkan kualitas hidup lebih baik lagi serta mengantarkan seorang mukmin mendapatkan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat secara individual dan social.
B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian Hub Al-Dunya
2.      Apa Pengertian Itba’al-Hawa
3.      Apa Pengertian Thama’
4.      Apa Pengertian Takabbur
5.      Apa Pengertian Riya’
6.      Apa Pengertian Ujub
7.      Apa Pengertian Sum’ah


BAB II
PEMBAHASAN
1.      Apa Pengertian Hub Al-Dunya
                 Cinta dunia (hub ad-dunya) dianggap al-Gazali bukan hanya sifat buruk yang besar, tetapi lebih dari itu, cinta dunialah yang menimbulkan semua keburukan yang lain.[1] Al-Gazali membahas tentang masalah cinta dunia ini pada semua karyanya tentang sifat buruk. Namun dalam daftar yang ia susun tentang sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat tercela, masalah cinta dunia ini tidak tercantum pada awal bagian awal kimiya’, dunia dibicarakan hanya sebagai bagian pengantar etikanya,[2] tapi waktu membahas pangkal sifat-sifat buruk ia mengemukakan cinta dunia sebagai sifat buruk utama. Al- Gazali menunjang konsepsi ini dengan sebuah hadist, yang menyebut cinta dunia adalah sumber segala dosa. Al- makki juga mengutip hadist ini untuk menekankan kejahatan dunia, tapi ia memperbincangkan dunia secara singkat sekali dalam hubungan dengan kezumudan sufi dan pandangannya ini sedikit banyak mempengaruhi Al-Gazali. Miskaways dan al-Kindi juga berbicara tentang cinta dunia dan pendapat mereka juga berpengaruh juga sedikit pada Al-Gazhali.
                 Cinta dunia diartikan Al-Gazhali mencintai dunia yang tercela (ad-dunya al madzmummah), yang dijelaskannya dengan membedakan dunia yang ada bagi seorang manusia dan dunia itu sendiri. Macam yang pertama terdiri dari segala kegiatan duniawi yang menemani manusia setelah meninggal, yaitu ilmu dan amal, dengan syarat ini dimaksudkan peruntukan akhirat. Macam yang kedua meliputi apa yang memberi kesenangan dalam hidup ini tapi menyebabkan kesengsaraan di dunia yang akan datang. Ini terdiri dari dosa-dosa, kenikmatan (tana’um) segala yang diperbolehkan ,melebihi keperluan (haja’), ini tergolong pada dunia yang tercela. Yang disebut terdahulu menyangkut semua orang dan yang kedua khusus bagi golongan sufi.  Macam yang ketiga meliputi semua yang memberi kesenangan, tapi merupakan bantuan bagi ilmu dan amal, contohnya hubungan seksual yang syah dengan niat mendapatkan bantuan beramal dari keturunan dan makanan, pakaian serta perumahan sebanyak yang diperlukan bagi kesehatan yang baik, yang penting untuk amal dan ilmu. Ini tidak termasuk dunia tercela, kecuali kalau dilakukan karena kenikmatan dan kesenangan perasaan hati.[3] Jadi segala yang tidak perlu bagi akhirat merupakan dunia tercela bagi para pencari Tuhan, yang dinyatakan sebagai hawa nafsu (hawa), yang objeknya disebut satu persatu oleh Al-Gazhali dan juga Al-Makki dengan mengutip ayat-ayat Al-Quran[4]. Menggunakan sesuatu yang diperbolehkan syariah melebihi yang diperlukan adalah nikamat yang tidak diperlukan bagi akhirat dan oleh karena itu dihindari oleh seorang sufi. Orang sholaeh dapat menikmati ini, hanya saja mereka harus berhati-hati jangan sampai melakukan dosa apapun untuk mendapatkannya[5]. Al-Ghazali memang menyatakan, bahwa kalau semua orang membatasi diri hanya pada esensial saja dan seluruhnya berusaha mengejar akhirat, melupakan amal dan urusan dunia, tata susunan dunia ini akan lumpuh dan tak mungkinlah bagi “yang sedikit” perlu agar kebanyakan orang menjauhi jalan itu dan asyik dengan urusan duniawi. Ini merupakan kehendak Allah yang telah ditentukan lebih dulu[6]. Pandangan ini juga ditemukan pada Al-Makki, tetapi mengutarakannya secara singkat sekali[7].
                 Dalam hal membatasi diri mereka hanya pada yang perlu atau esensial, “golongan yang sedikit” itu saling berbeda, dan perbedaan ini diterangkan Al-Ghazali dengan bantuan doktrin menengah (wasth). Katanya, segala yang berkelimpahan yang harus dijauhi “ yang sedikit ” meruapakan batas kenikmatan yang esensial belaka (darurat), yakni pakaian, makanan dan perumahan yang memadai saja dan beberapa hal lain yang merupakan sarana untuk itu,tentu diinginkan semua orang dan menjadi batas yang satu lagi. Diantara kedua batas inilah tingkat keperluan (hajah) yang patut bagi “yang sedikit” saja. Tingkat ini punya dua ekstrem, satu diantaranya mendekati batas kenikmatan dan meskipun ekstrem ini tidak salah (karena semua tingkat keperluan tidak merupakan dunia tercela sama sekali), para sufi harus menghindarinya agar jangan sampai mereka masuk ketingkat kenikmatan. Ekstrem yang  satu lagi mendekati esensial belaka dan ekstrem ini tidak merugikan. Dianatara kedua ekstrem ini terdapat banyak pertengahan (wasa’ith) yang terpuji. Tambah dekat seseorang berkisar kearah ekstrem yang dekat ke batas esensial belaka, tambah tinggi derajatnya. Para nabi dan aulia melampaui ekstrem ini kebatas esensial belaka. Perincian tentang yang pertengahan hanya dapat diketahui dari kehidupan para sahabat, karena mereka berada pada keadaaan menengah itu. Mereka tidak melupakan dunia sama sekali, tapi mengambilnya hanya sekedar yang mereka perlukan bagi agama[8].
                 Alasan mengapa “yang sedikit” harus membatasi diri pada yang perlu atau esensial saja, iyalah karena dunia ini diciptakan agar manusia bisa mempersiapkan segalanya bagi kesejahteraan dalam kehidupannya yang abadi, dan ia bisa melakukan itu jika tubuhnya sehat. Untuk ini ia harus makan seperlunya untuk kekuatan dan butuh pakaian dan perumahan terhadap hawa dingin, panas dan pencurian dan harus melakukan pertukaran dan perdagangan secukup yang diperlukan untuk menjamin hidup saja. Dengan cara begini ia bebas dari pikiran cemas mengenai jasmani dan dapat beribadah kepada Allah dengan segala ketaaatan sepanjang hidupnya. Menikmati yang berkelimpahan membuat perasaan jadi kasar, orang kurang ajar, tidak memperdulikan agama dan berbuat banyak dosa. Hubungan manusia dan urusan duniwi terbina melalui jiwa dan jasmaninya. Dari segala cinta duniawi, timbul dalam jiwa berbagai kekejian seperti riya’, dengki dan kesombongan. Melalui jasmaninya seseorang melakukan berbagai amal dan urusan, keterlibatan dengan salah satu diantaranya menjerumus ke yang lain lagi akibatnya orang itu lupa akan tempat kembalinya dan tujuan sebenarnya. Meskipun ia tidak melupakan hal ini, ia akan gagal mempersiapkan kehidupan yang akan datangdan mengingat Allah dan bertafakur kepada-Nya, karena pikirannya selalu penuh dengan masalah lain. Waktu meninggal, ketika ia diceraikan dari dunia yang dicintainya, ia mengalami kesedihan yang sebanding dengan kehebatan cintanya[9]. Banyak pandangan Al-Gazhali ini bisa ditelusuri dalam karya-karya pendahulunya. Dalam munqidz ia mengemukakan, perlu memutuskan ikatan jiwa dengan dunia, guna penghayatan kehidupan yang shaleh menjadi jelas baginya, setelah ia mempelajari tasawuf[10]. Pandangan tentang yang perlu dan kelimpahan serta beberapa  kejahatan kelimpahan ini yang dibahas diatas, juga disebut oleh Al-Makki[11]. Namun ia tidak membicarakan tingginya derajat yang esensial belaka. Al-Kindi mengutarakan bagaimana ikatan dengan dunia ini menyebabkan orang lupa akan dunia yang akan datang, lupa tujuan yang benar. Satu bagian dari karyanya diambil Al-Gazhali dengan sedikit modifikasi[12]. Miskawaiyh menekankan bagian kekayaan, pengaruh dan benda duniawi yang sedang, tapi ia pun tidak membedakan antara tingakat yang perlu dengan yang hanya esensial. Pandangannya tentang maksud sikap yang sedang dipersamakannya dengan perlu dan mencukupi dan alasan menghindari yang berkelebihan, serupa dengan pandangan Al-Ghazali, bedanya hanya bahwa dalam hal yang pertama pandangan itu mengacu pada kehidupan manusia yang sekarang,[13] sedangkan yang terakhir berhubungan lebih banyak dengan kehidupan yang kemudian. Jadi keterangan Al-Ghazali mengenai keburukan cinta dunia dipengaruhi oleh kaum sufi maupun para filosof.
                 Karena keburukan cinta dunia ini disebabkan karena ketidaktauan akan tujuan manusia yang sebenarnya dan maksud Allah menciptakannya, maka obatnya adalah para ilmu tentang cinta dunia. Menyadari kejahatan sifat buruk ini dan sifat dunia yang menyesatkan adalah sebagian dari obat itu, dan hal ini dibahas Al-Ghazali dengan rinci sekali[14] . Disebabkan diantara banyak aspek cinta dunia yang terpenting adalah cinta kekayaan,[15] yang menyebabkan banyak kejahatan besar, maka Al-Ghazali membicarakannya lebih dulu.

2.      Apa Pengertian Itba’al-Hawa
                 Yang disebut itba al-hawa menurut ahmad rifai adalah menuruti hawa nafsu, sedangkan menurut istilah adalah orang yang hatinya selalu mengikuti perbuatan buruk yang telah diharamkan syariat.
                 Seperti yang kita tahu bahwa hawa memiliki banyak pengertian, namun dalam pengertian ini yang disebut hawa adalah kemauan untuk selalu bersikap buruk yang dapat merugikan orang lain maupun dirinya sendiri. Ketika kita mengikuti hawa nafsu dan tidak mampu menahannya maka kita telah menuruti dirisendiri untuk berlaku buruk, namun kita memerlukan cara untuk mengendalikan diri agar tidak terjebak dalam niat ataupun perbuatan buruk, untuk menahan diri sendiri dari hawa tiap orang memiliki cara tersendiri karena kadar kemauan seseorang untuk mengikuti hawa nafsu berbeda-beda.
3.      Apa Pengertian Thama’
Allah S.W.T. kadang-kadang menguji hamba-NYA berupa kemiskinan, kadang-kadang kekayaan. Ketika diuji berupa kemiskinan orang adakalanya bersifat qanaah yakni menerima apa yang ada sambil terus berusaha, tapi adakalanya bersifat tamak. Orang yang diberi kekayaanpun demikian, adakalanya berfoya-foya untuk kesenangan duniawi, adakalanya pula bersifat pelit, ingin menumpuk hartanya lebih banyak lagi.
Pada dirimanusia terdapat potensi untuk berlaku tamak,. Kebanyakan manusia merasa kurang terhadap rezeki yang diperolehnya. Ketika mendapat rezeki sedikit, menginginkan yang lebih, setelah mendapat banyak menginginkan yang lebih dan lebih lagi. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 96 :
                 “Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, Padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”.
                 Sifat tamak ini juga akan membahayakan orang yang memiliki sifat tersebut, dan juga berbahaya bagi orang lain. Seorang yang tamak hidupnya selalu diperbudak oleh harta. Ia senantiasa berpikir, bagaimana agar hartanya terus bertambah. Untuk menambah hartan yaitu, segala cara ia lakukan tanpa memperdulikan orang lain. Ia tidak peduli orang lain rugi atau celaka, asalkan mendatangkan keuntungan bagi dirinya.
                 Sebenarnya sifat orang tamak itu menderita . kelihatannya senang karena banyak harta, tetapi sesungguhnya ia menderita, karena diperbudak oleh hartanya sendiri. Seorang yang tamak hidupnya penuh kegelisahan. Ia sangat mengkhawatirkan hartanya akan berkurang atau dicuri orang. Untuk kebutuhan hidupnya sendiri ia pun pelit menggunakan hartanya, apalagi untuk kepentingan orang lain[16].


4.      Apa Pengertian Takabbur
Sombong adalah merasa diri lebih tinggi dari orang lain, baik keturunan, kekayaan, kepandaian, kedudukan, kecantikan, ketampanan d.l.l. Sombong merupakan akhlak tercela. Banyak ayat Al-Quran maupun hadist yang menjelaskan tentang betapa buruknya sifat dan sikap sombong itu diantarannya :
Firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 23
“Tidak diragukan lagi bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong”.
Sombong ada dua macam yaitu sombong lahir (takabur dzahir) dan sombong batin (takabur batin). Sombong lahir yaitu perbuatan-perbuatan kesombongan yang dilakukan oleh anggota badan dan jelas terlihat . Sombong batin yaitu sifat kesombongan di dalam jiwa atau hati yang tidak terlihat.
Orang yang sombong tidak memiliki perasaan untuk mencintai dan menyayangi sesama saudaranya yang mukmin sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Orang yang sombong banyak memiliki sifat yang buruk misalnya merendahkan orang lain, pemarah, pembohong, khianat, dan sebagainya. Orang yang sombong tidak segan-segan menggunakan hal-hal yang buruk demi mempertahankan kemuliaanya.
Orang yang sombong senantiasa menolak kebenaran yang dianggapnya akan merugikan dirinya sendiri, orang yang sombong sering lupa diri, siapa, darimana, dan hendak kemana ia sebenarnya. Orang yang sombong telah merampas suatu sifat yang sebenarnya tidak pantas disandangnya, karena sifat itu hanyalah milik Allah S.W.T. Perilaku orang yang sombong ibarat seorang budak yang mengambil mahkota raja, kemudian ia memakainya. Setelah itu ia duduk di singgasana raja bertingkah seperti raja yang patut dihormati. Tentu saja sang raja sangat murka terhadap budak yang kurang ajar itu dan menjatuhan hukuman yang sangat berat.
                  Banyak hal yang dapat memungkinkan seseorang terjerumus ke dalam kesombongan antara lain : keturunan, kekayaan, kepandaian, kedudukan, kecantikan / ketampanan, kekuatan tubuh d.l.l. demikian banyak celah yang dapat menjadikan seseorang bersifat sombong. Oleh sebab itu hendaklah kita memohon kepada Allah agar diberi petunjuk kea rah jalan yang benar dan terhindar dari sifat sombong[17].

5.      Apa Pengertian Riya’
                 Riya’ atau sifat pamer adalah keburukan besar,ia lebih berat dari cinta pengaruh, yang pada gilirannya lebih hebat daripada cinta harta[18]. Dalam daftar sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat terceladibuktikan bahwa riya’ ini berasal dari ketamakan yang timbul, jika pembawaan nafsu melampaui batas. Disini Al-Ghazali menjelaskannnya dalam berbagai segi pemikiran al-Muhasibi, yang sufi. Ia melukiskan cirinya dengan membedakan dari cinta pengaruh, dalam hal riya’ seseorang berusaha membina kedudukannya dalam pikiiran orang lain, melalui ibadahnya, tapi pada cinta pengaruh ia berupaya dengan cara amalnya yang bukan ibadah. Riya’ adalah nafsu menyenangkan manusia agar mendapatkan sesuatu dengan cara amal ketaatan kepada Allah. Jadi ia terdiri tiga unsur : perbuatan yang dinyatakan, untuk apa ia dinyatakan dan nafsu untuk menyatakan suatu amal, yaitu Riya’. Ibadah kepada Allah biasanya dinyatakan kepada orang lain lewat sikap, gaya berpakaian, bicara, tindakan dan sahabat serta tamu yang shaleh. Pernyataan keshalehan dengan salah satu dari cara ini beragam macamnya, yang dilukiskan Al-Ghazali serupa benar seperti yang dilakukan Al-Muhasibi. Motif dasar dari pernyataan itu ialah menciptakan status dalam pikiran orang lain dan motif ini dominan sekali pada manusia sebab memberikan kepuasan besar, Nampaknya semacam kekuasaan dan kesempurnaan, meskipun dalam kenyataan bukan demikian.
                 Alasan mengapa riya’ merupakan suatu sifat buruk yang berat, terletak pada akibatnya : Jika riya’ menjadi satu-satunya motif amal ibadah, maka ibadah itu bukan hanya sia-sia, tapi juag dosa. Amal tidak berfaedah disebabkan ketidakadaan niat beribadah kepada Allah. Berdosa disebabkan dua alasan, yang satu berhubungan dengan manusia dan yang lainnya dengan Allah. Yang pertama, bahwa seseorang yang riya’ menipu orang lain dengan amal ibadahnya karena ia memberikan kesan palsu seakan-akan ia adalah orang yang taat beragama. Yang kedua ialah menyenangkan manusia dengan cara beribadah kepada Allah, berarti memperolok Allah, karena ini sama dengan menganggap mereka lebih mampu member karunia daripada Allah dan lebih baik daripada Allah, sebagai objek yang disembah. Rasul menyamakan riya’ sebagai polytheisme atau syirik kecil. Al-Ghazali memberikan alasan bagi ucapan ini dan menyimpulkan, seperti yang ditunjukan bukti yang terjadi dan yang menunjukan kias, bahwa orang yang riya’ terkena bencana murka Allah. Jika riya, bersama dengan mengapdi kepada Allah merupakan motif suatu amal ibadah, maka ini adalah kombinasi yang menghapuskan keikhlasan dan tidak aka nada imbalan baginya[19].
                 Riya’ banyak ragamnya, beberapa diantaranya lebih buruk dibanding yang lain. Al-Ghazali menjelaskannya dengan menunjuk pada tiga unsure pokoknya. Sehubungan dengan unsur yang pertama, yakni nafsu dasar yang terlibat pada riya’, ia berkata bahwa jika ia riya’ murni, maka itulah macam riya’ yang dimaksud, riyak yang paling jelek. Jika nafsu berbuat riya’ bercampur dengan keinginanan mendapat imbalan dari Allah. Apabila keraguan mendapat imbalan dari Tuhan itu jauh lebih lemah dari nafsu riya’, maka perbuatan tersebut tidak bisa disebut amal, sehingga sekalipun dilakukan, maka hal ini hamper dapat digolongkan sebagai riya’ yang terburuk. Jika kedua keinginan tersebut sama kuatnya, amal itu tidak bermanfaat dan juga tidak merugikan. Jika nafsu untuk riya’ memperkuat nafsu mendapat imbalan, amal tersebut akan menghasilkan hukuman dan imabalan yang seimbang dengan kuatnya keinginan yang bersangkutan[20].
                 Mengenai unsure kedua, yaitu tujuan perbuatan atau amal, dimana terdapat riya’, maka ada tiga tingkatan sifat buruk ini. Pertama, riya’ dalam keimanan terburuk. Mengaku keesaan Allah pada lisan, tapi menolaknya dalam batin. Penolakan batin mengenai surge, neraka, kehidupan yang akan datang dan pentingnya syariah, termasuk dalam golongan ini. Yang kedua riya’ dalam hal ibadah pokok, umpama sholat, shaum dan sebagainya walaupun iman kepada Allah. Ini juga berat, tapi kurang daripadanya yang tingkat pertama. Yang ketiga ialah, riya’ dalam ibadah sunnah yakni mengerjakan kalau ada orang, tapi mengabaiknannya kalau lagi sendirian. Ini juga sangat buruk, tapi kurang buruk klao disbanding dengan tingkat yang kedua. Riya’ mengenai berbagai bagian amal juga tiga tingkatnya. Pertama ialah riya’ pada bagian-bagian, yang tanpa ini suatu amal tidaklah sah, ini dibawah tingkat yang baru sja disebut. Kurang berat dari ini ialah riya’ dalam bagian, yang jika diabaikan tidak merusak amal tersebut, misalnya melamakan sujud jika bersama orang lain dan menyingkatkannya jika sedang sendri. Yang paling kurang berat ialah riya’ urusan agama diluar ibadah sunnah, seperti berada dishaf pertama dalam shalat jamaah[21].
                 Ada tiga derajat riya’ ini sehubungan dengan unsur yang ketiga, yaitu motif riya’. Yang terburuk, kalau alasan itu ialah kesempatan melakukan dosa, berikutnya ialah menyatakan kesalehan untuk menolak tuduhan berbuat salah. Derajat kedua ialah memperagakan kesalehan untuk mendapatkan sesuatu yang halal, seperti kekayaan. Ini dilarang, sebab dalam hal ini suatu objek duniawi diusahakan melalui amal yang ditujukan kepada Allah, tapi ini kurang berat dosanya dibanding derajat pertama, karena yang dicari adalah sesuatu yang halal. Yang ketiga adalah melakukan amal ibadah bukan untuk mendapatkan sesuatu, tapi supaya tidak dianggap kurang shaleh. Inilah semua tingakatan riya’ yang merugikan[22].
                 Beberapa bentuk riya’ bersifat terbuka dan yang lainnya tersembunyi. Riya’ terbuka ialah riya’ yang dengan sendirinya cukup membuat orang beramal, meskipun keinginan akan imbalan dari Allah mungkin bercampur dengannya. Riya’ yang sedikit kurang terbuka adalah riya’ kalau sendirian, tidak ada orang lain, terasa berat mengerjakan suatu amal, atau terasa mudah mengerjakannya jika ada yang melihatnya. Misalnya seseorang melakukan sholat tahajud secara teratur dengan segala keikhlasan, tapi merasakannnya sebagai beban, jika ada tamu baru dirasanya mudah.lebih tersembunyi dari ini riya’ yang tidak ada hubungannya dengan amal, meskipun telah meringan-ringankan diri untuk mengamalkannya . Tetapi mungkin masih ada riya’ , dalam pikirannya, dan tandanya ialah kegembiraan jika hal itu ada yang mengetahui ketekunan ibadahnya. Riya’ yang tersembunyi dalam pikiran, bagaikan api yang tersimpan dalam batu. Yang lebih tersembunyi lagi ialah riya’ orang yang bersangkutan sendiri menolak riya’, dan terus beramal tetapi begitu ada orang lain mengetahui sifatnya yang istimewa ini, dia sangat gembira dan makin mempersering amal ibadahnya. Ini berarti bahwa ia belum sepenuhnya puas, bahwa Allah mengetahui amal tersebut dan ia tidak bebas dari riya’ yang amat tersembunyi. Riya’ ini adalah riya’ yang lebih terselubung ketimbang rangkak seekor semut diatas batu hitam dimalam yang pekat. Bebas dari itu hanya mungkin bagi orang yang paling saleh. Jadi ada banyak macam riya’ yang terselubung. Bukti tentang adanya hal itu dalam pikiran ialah kesadaran atas perbedaan pengetahuan manusia tentang amal dibandingkan dengan yang diketahui hewan[23]. Namun tidak semua bentuk riya’ dapat merusak amal. Msalah perusakan amal ini juga dibahas Al-Ghazali secara rinci.
                 Mencegah sifat riya’, memerlukan pengekangan diri (myahadah) yang kuat bagi setiap orang. Dengan suatu cara, sifat riya’ ini bisa dilenyapkan dari jiwa, dengan cara yang lain, seseorang dapat melawan pikiran-pikiran yang melintas dalam ingatannya, kalau ia sedang melakukan amal ibadah. Cara yang pertama ialah lewat ilmu dan amal. Ilmu tentang penyebab riya’ dan bagaimana bisa menghilangkannya lewat kesadaran akan kerugian yang ditimbulkannya bagi akhirat dan dalam kehidupan yang sekarang. Penyebab pokok riya’ ialah cita pengaruh yang dapat dianalisa menjadi tiga unsure, yakni cinta yang dipuji, takut dicela dan tamak kekayaan. Al-Muhasibi juga memandang ketiga hal ini sebagai yang merangsang riya’. Kedua tokoh ini sependapat, bahwa riya’ ini akan hapus jika sesorang mengetahui kejelekan yang ditimbulkan riya’, yaitu rasa cemas untuk menyenangkan orang lain, rusaknya jiwa, kehinaan pada hari kiamat dan akhirnya penderitaan dineraka. Amal menyangkut menyembunyikan ibadah dari orang lain dengan melakukannya didalam rumah dengan pintu tertutup. Setelah membiasakannya beberapa lama, nafsu riya’ tidak akan timbul dalam pikiran dan akan muncul ridha atau kerelaan bahwa Allah tahu amal ibadah itu. Menyendiri adalah cara yang paling efektif untuk menghapus riya’. Lintasan pemikiran riya’ (khatharat ar-riya’) yang timbul dalam pikiran seseorang yang sedang melakukan ibadah ada tiga tingkat. Pertama, kalau ia berpikir barangkali ada orang yang tahu perbuatannya itu. Ini disusul dengan timbulnya nafsu ingin dipuji. Tingkat ketiga, pikirannya menerima nafsu itu, yang kini tambah kuat. Agar bisa menolak pikiran yang pertama, ia harus menyadari bahwa sama saja apakah ada orang tahu atau tidak amal ibadahnya dan cukuplah jika Allah mengetahuinya. Nafsu yang kedua dapat dilawan dengan mengingat apa yang telah dipelajarinya mengenai kerugian yang ditimbulkan riya’. Sebagai hasilnya, akan timbul dalam pikiran kebencian terhadap riya’, jika ketidaksenangan ini cukup kuat, nafsu itu akan dilawan dan akibatnya pikiran macam, ketiga tidaka akan muncul. Ilmu adalah unsur dasar dalam hal ini, karena itu yang membuat kebencian terhadap riya’[24].
6.      Apa Pengertian Ujub
                 Al-Ghazali melukiskan tabiat congkak (‘ujub) dengan menunjukan perbedaan dan persamaannya dengan kesombongan. Menurut pendapatnya, congkak berbeda dengan sombong dalam hal, bahwa kesombongan membutuhkan orang lain yang dianggap kurang berjasa, congkak tidak memerlukan orang seperti itu. Congkak serupa dengan sombong, karena sama-sama harus ada suatu kesempurnaan sunggguh atau diandaikan yang membuat seseorang merasa congkak. Keyakinan memilki kesempurnaan ini pada seseorang menciptakan dalam pikirannya salah satu dari tiga keadaan : takut akan hilangnya atau rusaknya kesempurnaan itu, dengan kehendak Allah dan yang menganugrahkannya, tidak ada ketakutan semacam itu, tapi mensyukurinya, karena itu diberikan berkat taufik Allah dan yang terakhir tiada takut tapi gembira karenanya, serta berfikir bahwa itu diperoleh melalui usaha sendiri. Hanya keadaan terakhir inilah yang merupakan kecongkakan. Jadi rasa congkak menyangkut penilaian tinggi terhadap suatu atribut dan keyakinan akan kelanjutan serta lupa akan Pemberi yang sesungguhnya. Ia tidak berkaiatan dengan orang lain, seperti pada kasus kesombongan[25]. Perbedaan antara sombong dan congkak juga dibahas oleh Al-Muhasibi.
                 Penilaian tinggi tentang sedekah yang diberikan kepada orang lain dan selalu mengingat-ingat sedekah itu juga tergolong kecongkakan. Mengharapkan pelayanan atau terimakasih atas sedekah itu disebut keangkuhan (idlal). Jadi sifat buruk ini merupakan tambahan bagi kecongkakan. Setiap kasusnya, adalah kasus kecongkakan, tapi sebaliknya tidak, karena rasa congkak menganggap suatu sedekah penting tanpa mengharapkan suatupun balasan, tapi dalam keangkuhan, diinginkan pula balasannya. Keangkuhandalam hal ibadah terdiri dari keyakinan seseorang, bahwa dengan cara amal uibadah itu mendapatkan status di sisi Allah dan berhak akan perlakuan khusus dari-Nya dalam kehidupan ini. Ia merasa peristiwa yang tak diinginkan akan sedikit kemungkinannya terjadi padanya dibanding pada seseorang yang berdosa. Ia menyangka Allah akan lebih suka menerimanya doanya daripada doa orang yang berdosa, sehingga ia terperanjat ketika do’anya sendiri ditolak, seakan-akan dengan amalnya ia berbuat suatu kebaikan bagi Allah. Pengertian keangkuhan semacam ini identik dengan pendapat Al-Muhasibi. Keduanya sepaham, bahwa kecongkakan, selain menyebabkan sekalian sifat buruk lantaran sombong, juga merupakan halangan bagi ilmu dan amal, dua sarana utama menuju kebahagiaan. Rasa congkak membuat ilmu dan amalnya cukup bagi orang itu, sehingga ia mengabaikan usaha meningkatkan keduanya[26].
                 Kecongkakan disebabkan oleh tidak mengerti perihal ciri sebenarnya mengenai sifat kesempurnaanlah yang membuat orang merasa congkak. Jadi obatnya ada pada pengetahuan yang sebenarnya tentang sifat itu. Congkak dalam hal perbuatan baik lebih biasa tinimbang yang berkenaan dengan sifat-sifat kesempurnaan yang lain, seperti kecantikan atau keturunan yang ningrat, Karena yang disebut terdahulu disangka dilakukan dengan usaha sendiri, sehingga Al-Ghazali membicarakan ciri amal-amal baik secara rinci. Intisari pembahasannya ialah bahwa pada kenyataannya sifat-sifat itu dikaruniakan berkat taufik Allah tanpa jasa atau hak manusia atas semua itu sebelumnya. Renungan mengenai ini membuat manusia menyadari kebodohan untuk merasa congkak dan tidak bersyukur kepada Allah. Ide bahwa setiap kebaikan adalah karunia Allah dijelaskan Al-Ghazali dengan bantuan doktrin pemenuhan diri (kasb). Ide ini juga ditegaskan al-Muhasibi, namun tidak mengaitkannya dengan doktrin tersebut. Selain menghilangkan kecongkakan dengan memahami cirri kesempurnaan dan “karunia”, orang dapat pula menghindarinya dengan membuang sarana kecongkakan itu. Ada delapan macam sarana tersebut, tujuh adalah sama dengan sarana kesombongan, dan yang kedelapan ialah “pendapat yang salah”, yang nampaknya baik sekali bagi si congkak disebabkan kebodohannya. Al-Ghazali menerangkan bagaimana tiap sarana itu seharusnya disembuhkan dan penjelasannya serupa dengan keterangan Al-Muhasibi[27]
7.      Apa Pengertian Sum’ah
                 Secara bahasa sum’ah adalah memperdengarkan. Sedangkan secara istilah adalah melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas karena Allah tetapi kemudian menuturkan kebaikannya kepada orang lain agar orang lain berbuat baik kepada dirinya. Dalam pembahasan ini kita ditekakan untuk selalu bersikap baik dan menjauhi perbuatan tercela yang mana dapat membawa kita dalam kerusakan amaliah lahir maupun batin.
                 Pengertian sumah dan riya hampir sama, mereka melakukan hal baik bukan karena menginginkan ridho dari Allah tetapi lebih karena menginginkan pujian ataupun balasan kebaikan dari orang lain. Jika sumah lebih menekankan kepada pemberitahuan kepada orang lain dan riya lebih menekankan kepada perilaku tanpa memberitahukan kepada orang lain tetapi pada dasarnya mereka sama-sama memiliki niat bukan karena ridho dari Allah tetapi hanya menginginkan pujian ataupun balasan kebaikan mereka dari orang lain.
BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
                       Akhlak secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu aklak terpuji (akhlak karimah) dan akhlak tercela (akhlak mazmumah). Akhlak terpuji diantaranya qanaah, zuhud, sabar, istiqamah, d.l.l. Adapun diantara akhlak tercela yaitu hunud-dunya, ittibaul hawa, tamak, takabur, riya, ujub, sum’ah d.l.l.
                       Untuk mengantisipasi ancaman dekadensi moral, maka setiap orang islam harus memiliki pemahaman dan keteguhan untuk menjaga kebenaran dan kebaikan akhlak islamiyah, karena akhlak akan membawa kemslahatanserta kemuliaan hidup di dunia dan akhirat.

B.     Saran
Demikian makalah yang berjudul “ Sifat-Sifat Tercela”, semoga dengan dibuatnya makalah ini bisa bermanfaat. Apabila ada kesalahan ataupun kekurangan dalam pembuatan makalah, penulis memohon maaf.




[1] . Al- Ghazali, Kimiya’-i-Sa’adat,  Tehran: 1319,  hlm. 521.
[2].  Al- Ghazali, Kimiya’-i-Sa’adat,  Tehran: 1319,  hlm. 4.

[3] . Al- Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din,  Vol: III, Mesir,  hlm. 190-192.
[4] . Al- Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din,  Vol: III, Mesir,  hlm. 194.
[5] . Al- Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din,  Vol: III, Mesir,  hlm. 191.
[6].  Al- Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din,  Vol: II, Mesir,  hlm. 97-98.
[7] . Al- Yasui, Al-Qishas Al- Mustaqim,  Vol: I, Beirut,  1959, hlm.  516.
[8] . Al- Ghazali, Kimiya’-i-Sa’adat,  Tehran: 1319,  hlm. 530.
          [9].  Al- Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din,  Vol: III, Mesir,  hlm. 199.
          [10]. Al-Ghazali, Al-Munqidz min adh-Dhalal, Mesir, hlm. 5-6.
       [11] Al-Yasu’I, Al-Qishash Al-Mustaqim, Vol. 1. Beirut, 1959, hlm. 541.
       [12] Al-Kindi, Risalah fil_hilla, Mesir, 1950, hlm.23.
[13] Ibnu ‘Adi, tahdzib Al-Akhlak, 1928, hlm. 183-185.
[14] Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 195-199.
[15] Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 202.
[16] Drs. Khumaidi, Mpd. Dkk, Modul Hikmah untuk Kelas X, Sragen, Akik Pusaka, hlm. 57-58.
[17] Drs. Khumaidi, Mpd. Dkk, Modul Hikmah untuk Kelas X, Sragen, Akik Pusaka, hlm. 55-57
[18]Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 238
[19] Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 259-260.
[20]Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 260
[21] Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 261.
[22]Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 262-263.
[23] Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 253-264.
[24]Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 268-270.
[25] Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 296.
[26] Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 318.
[27]Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 320-325. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar