SIFAT-SIFAT TERCELA
MAKALAH
Disusun
guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs. Soeparyo, M.Ag.
Disusun
Oleh :
Hidayatur
Rokhmah (1503056070)
Alicia
Indah Ardiani (1503056081)
Linda
Nur Chabibah (1503036090)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
WALISONGO SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam keseluruhan pembelajaran
islam, akhlak menempati kedudukan yang istimewa, hal ini berdasarkan kaidah
bahwa Rasulluah S.A.W menempatkan penyempurnaan akhlak yang mulia sebagai misi
pokok risalah islam. Dan dalam penciptaannya, Allah telah menciptakan sesuatu
secara berpasang-pasangan begitu pula dengan akhlak, terdapat akhlak terpuji
dan akhlak tercela.
Untuk mencapai
keridhaan dari Allah, manusia diharapkan untuk menghindari akhlak tercela,
adapun diantara diantara akhlak tercela (akhlak mazmumah) adalah hubbud-dunnya,
ittibaul-hawa, tamak, takabur, riya, ujub,sum’ah d.l.l
Dengan
mengetahui akhlak mazmumah diharapkan manusia dapat menjauhinya dan
meningkatkan kualitas hidup lebih baik lagi serta mengantarkan seorang mukmin
mendapatkan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat secara individual dan social.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Hub Al-Dunya
2.
Apa Pengertian Itba’al-Hawa
3.
Apa Pengertian Thama’
4.
Apa Pengertian Takabbur
5.
Apa Pengertian Riya’
6.
Apa Pengertian Ujub
7.
Apa Pengertian Sum’ah
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Apa Pengertian Hub Al-Dunya
Cinta dunia
(hub ad-dunya) dianggap al-Gazali bukan hanya sifat buruk yang besar, tetapi
lebih dari itu, cinta dunialah yang menimbulkan semua keburukan yang lain.[1]
Al-Gazali membahas tentang masalah cinta dunia ini pada semua karyanya tentang
sifat buruk. Namun dalam daftar yang ia susun tentang sifat-sifat terpuji dan
sifat-sifat tercela, masalah cinta dunia ini tidak tercantum pada awal bagian
awal kimiya’, dunia dibicarakan hanya sebagai bagian pengantar etikanya,[2]
tapi waktu membahas pangkal sifat-sifat buruk ia mengemukakan cinta dunia
sebagai sifat buruk utama. Al- Gazali menunjang konsepsi ini dengan sebuah
hadist, yang menyebut cinta dunia adalah sumber segala dosa. Al- makki juga
mengutip hadist ini untuk menekankan kejahatan dunia, tapi ia memperbincangkan
dunia secara singkat sekali dalam hubungan dengan kezumudan sufi dan
pandangannya ini sedikit banyak mempengaruhi Al-Gazali. Miskaways dan al-Kindi juga
berbicara tentang cinta dunia dan pendapat mereka juga berpengaruh juga sedikit
pada Al-Gazhali.
Cinta dunia
diartikan Al-Gazhali mencintai dunia yang tercela (ad-dunya al madzmummah),
yang dijelaskannya dengan membedakan dunia yang ada bagi seorang manusia dan
dunia itu sendiri. Macam yang pertama terdiri dari segala kegiatan
duniawi yang menemani manusia setelah meninggal, yaitu ilmu dan amal, dengan
syarat ini dimaksudkan peruntukan akhirat. Macam yang kedua meliputi apa
yang memberi kesenangan dalam hidup ini tapi menyebabkan kesengsaraan di dunia
yang akan datang. Ini terdiri dari dosa-dosa, kenikmatan (tana’um) segala yang
diperbolehkan ,melebihi keperluan (haja’), ini tergolong pada dunia yang
tercela. Yang disebut terdahulu menyangkut semua orang dan yang kedua khusus
bagi golongan sufi. Macam yang ketiga
meliputi semua yang memberi kesenangan, tapi merupakan bantuan bagi ilmu
dan amal, contohnya hubungan seksual yang syah dengan niat mendapatkan bantuan
beramal dari keturunan dan makanan, pakaian serta perumahan sebanyak yang
diperlukan bagi kesehatan yang baik, yang penting untuk amal dan ilmu. Ini
tidak termasuk dunia tercela, kecuali kalau dilakukan karena kenikmatan dan
kesenangan perasaan hati.[3]
Jadi segala yang tidak perlu bagi akhirat merupakan dunia tercela bagi para
pencari Tuhan, yang dinyatakan sebagai hawa nafsu (hawa), yang objeknya disebut
satu persatu oleh Al-Gazhali dan juga Al-Makki dengan mengutip ayat-ayat
Al-Quran[4].
Menggunakan sesuatu yang diperbolehkan syariah melebihi yang diperlukan adalah
nikamat yang tidak diperlukan bagi akhirat dan oleh karena itu dihindari oleh
seorang sufi. Orang sholaeh dapat menikmati ini, hanya saja mereka harus
berhati-hati jangan sampai melakukan dosa apapun untuk mendapatkannya[5]. Al-Ghazali
memang menyatakan, bahwa kalau semua orang membatasi diri hanya pada esensial
saja dan seluruhnya berusaha mengejar akhirat, melupakan amal dan urusan dunia,
tata susunan dunia ini akan lumpuh dan tak mungkinlah bagi “yang sedikit” perlu
agar kebanyakan orang menjauhi jalan itu dan asyik dengan urusan duniawi. Ini
merupakan kehendak Allah yang telah ditentukan lebih dulu[6].
Pandangan ini juga ditemukan pada Al-Makki, tetapi mengutarakannya secara
singkat sekali[7].
Dalam hal
membatasi diri mereka hanya pada yang perlu atau esensial, “golongan yang
sedikit” itu saling berbeda, dan perbedaan ini diterangkan Al-Ghazali dengan
bantuan doktrin menengah (wasth). Katanya, segala yang berkelimpahan yang harus
dijauhi “ yang sedikit ” meruapakan batas kenikmatan yang esensial belaka (darurat),
yakni pakaian, makanan dan perumahan yang memadai saja dan beberapa hal lain
yang merupakan sarana untuk itu,tentu diinginkan semua orang dan menjadi batas
yang satu lagi. Diantara kedua batas inilah tingkat keperluan (hajah) yang
patut bagi “yang sedikit” saja. Tingkat ini punya dua ekstrem, satu diantaranya
mendekati batas kenikmatan dan meskipun ekstrem ini tidak salah (karena semua
tingkat keperluan tidak merupakan dunia tercela sama sekali), para sufi harus
menghindarinya agar jangan sampai mereka masuk ketingkat kenikmatan. Ekstrem
yang satu lagi mendekati esensial belaka
dan ekstrem ini tidak merugikan. Dianatara kedua ekstrem ini terdapat banyak
pertengahan (wasa’ith) yang terpuji. Tambah dekat seseorang berkisar kearah
ekstrem yang dekat ke batas esensial belaka, tambah tinggi derajatnya. Para
nabi dan aulia melampaui ekstrem ini kebatas esensial belaka. Perincian tentang
yang pertengahan hanya dapat diketahui dari kehidupan para sahabat, karena
mereka berada pada keadaaan menengah itu. Mereka tidak melupakan dunia sama
sekali, tapi mengambilnya hanya sekedar yang mereka perlukan bagi agama[8].
Alasan
mengapa “yang sedikit” harus membatasi diri pada yang perlu atau esensial saja,
iyalah karena dunia ini diciptakan agar manusia bisa mempersiapkan segalanya
bagi kesejahteraan dalam kehidupannya yang abadi, dan ia bisa melakukan itu
jika tubuhnya sehat. Untuk ini ia harus makan seperlunya untuk kekuatan dan
butuh pakaian dan perumahan terhadap hawa dingin, panas dan pencurian dan harus
melakukan pertukaran dan perdagangan secukup yang diperlukan untuk menjamin hidup
saja. Dengan cara begini ia bebas dari pikiran cemas mengenai jasmani dan dapat
beribadah kepada Allah dengan segala ketaaatan sepanjang hidupnya. Menikmati
yang berkelimpahan membuat perasaan jadi kasar, orang kurang ajar, tidak
memperdulikan agama dan berbuat banyak dosa. Hubungan manusia dan urusan duniwi
terbina melalui jiwa dan jasmaninya. Dari segala cinta duniawi, timbul dalam
jiwa berbagai kekejian seperti riya’, dengki dan kesombongan. Melalui
jasmaninya seseorang melakukan berbagai amal dan urusan, keterlibatan dengan
salah satu diantaranya menjerumus ke yang lain lagi akibatnya orang itu lupa
akan tempat kembalinya dan tujuan sebenarnya. Meskipun ia tidak melupakan hal
ini, ia akan gagal mempersiapkan kehidupan yang akan datangdan mengingat Allah
dan bertafakur kepada-Nya, karena pikirannya selalu penuh dengan masalah lain.
Waktu meninggal, ketika ia diceraikan dari dunia yang dicintainya, ia mengalami
kesedihan yang sebanding dengan kehebatan cintanya[9].
Banyak pandangan Al-Gazhali ini bisa ditelusuri dalam karya-karya pendahulunya.
Dalam munqidz ia mengemukakan, perlu memutuskan ikatan jiwa dengan dunia, guna
penghayatan kehidupan yang shaleh menjadi jelas baginya, setelah ia mempelajari
tasawuf[10].
Pandangan tentang yang perlu dan kelimpahan serta beberapa kejahatan kelimpahan ini yang dibahas diatas,
juga disebut oleh Al-Makki[11].
Namun ia tidak membicarakan tingginya derajat yang esensial belaka. Al-Kindi
mengutarakan bagaimana ikatan dengan dunia ini menyebabkan orang lupa akan
dunia yang akan datang, lupa tujuan yang benar. Satu bagian dari karyanya
diambil Al-Gazhali dengan sedikit modifikasi[12]. Miskawaiyh
menekankan bagian kekayaan, pengaruh dan benda duniawi yang sedang, tapi ia pun
tidak membedakan antara tingakat yang perlu dengan yang hanya esensial.
Pandangannya tentang maksud sikap yang sedang dipersamakannya dengan perlu dan
mencukupi dan alasan menghindari yang berkelebihan, serupa dengan pandangan
Al-Ghazali, bedanya hanya bahwa dalam hal yang pertama pandangan itu mengacu
pada kehidupan manusia yang sekarang,[13]
sedangkan yang terakhir berhubungan lebih banyak dengan kehidupan yang
kemudian. Jadi keterangan Al-Ghazali mengenai keburukan cinta dunia dipengaruhi
oleh kaum sufi maupun para filosof.
Karena
keburukan cinta dunia ini disebabkan karena ketidaktauan akan tujuan manusia
yang sebenarnya dan maksud Allah menciptakannya, maka obatnya adalah para ilmu
tentang cinta dunia. Menyadari kejahatan sifat buruk ini dan sifat dunia yang
menyesatkan adalah sebagian dari obat itu, dan hal ini dibahas Al-Ghazali
dengan rinci sekali[14] .
Disebabkan diantara banyak aspek cinta dunia yang terpenting adalah cinta
kekayaan,[15]
yang menyebabkan banyak kejahatan besar, maka Al-Ghazali membicarakannya lebih
dulu.
2.
Apa Pengertian Itba’al-Hawa
Yang disebut itba
al-hawa menurut ahmad rifai adalah menuruti hawa nafsu, sedangkan menurut
istilah adalah orang yang hatinya selalu mengikuti perbuatan buruk yang telah
diharamkan syariat.
Seperti yang
kita tahu bahwa hawa memiliki banyak pengertian, namun dalam pengertian ini
yang disebut hawa adalah kemauan untuk selalu bersikap buruk yang dapat
merugikan orang lain maupun dirinya sendiri. Ketika kita mengikuti hawa nafsu
dan tidak mampu menahannya maka kita telah menuruti dirisendiri untuk berlaku
buruk, namun kita memerlukan cara untuk mengendalikan diri agar tidak terjebak
dalam niat ataupun perbuatan buruk, untuk menahan diri sendiri dari hawa tiap
orang memiliki cara tersendiri karena kadar kemauan seseorang untuk mengikuti
hawa nafsu berbeda-beda.
3.
Apa Pengertian Thama’
Allah S.W.T. kadang-kadang menguji hamba-NYA berupa kemiskinan,
kadang-kadang kekayaan. Ketika diuji berupa kemiskinan orang adakalanya
bersifat qanaah yakni menerima apa yang ada sambil terus berusaha, tapi
adakalanya bersifat tamak. Orang yang diberi kekayaanpun demikian, adakalanya
berfoya-foya untuk kesenangan duniawi, adakalanya pula bersifat pelit, ingin
menumpuk hartanya lebih banyak lagi.
Pada dirimanusia terdapat potensi untuk berlaku tamak,. Kebanyakan
manusia merasa kurang terhadap rezeki yang diperolehnya. Ketika mendapat rezeki
sedikit, menginginkan yang lebih, setelah mendapat banyak menginginkan yang
lebih dan lebih lagi. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 96 :
“Dan sungguh
kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di
dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. masing-masing mereka
ingin agar diberi umur seribu tahun, Padahal umur panjang itu sekali-kali tidak
akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha mengetahui apa yang mereka
kerjakan”.
Sifat tamak
ini juga akan membahayakan orang yang memiliki sifat tersebut, dan juga
berbahaya bagi orang lain. Seorang yang tamak hidupnya selalu diperbudak oleh
harta. Ia senantiasa berpikir, bagaimana agar hartanya terus bertambah. Untuk
menambah hartan yaitu, segala cara ia lakukan tanpa memperdulikan orang lain.
Ia tidak peduli orang lain rugi atau celaka, asalkan mendatangkan keuntungan
bagi dirinya.
Sebenarnya
sifat orang tamak itu menderita . kelihatannya senang karena banyak harta,
tetapi sesungguhnya ia menderita, karena diperbudak oleh hartanya sendiri.
Seorang yang tamak hidupnya penuh kegelisahan. Ia sangat mengkhawatirkan
hartanya akan berkurang atau dicuri orang. Untuk kebutuhan hidupnya sendiri ia
pun pelit menggunakan hartanya, apalagi untuk kepentingan orang lain[16].
4.
Apa Pengertian Takabbur
Sombong adalah
merasa diri lebih tinggi dari orang lain, baik keturunan, kekayaan, kepandaian,
kedudukan, kecantikan, ketampanan d.l.l. Sombong merupakan akhlak tercela.
Banyak ayat Al-Quran maupun hadist yang menjelaskan tentang betapa buruknya
sifat dan sikap sombong itu diantarannya :
Firman Allah
dalam surat An-Nahl ayat 23
“Tidak
diragukan lagi bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan
dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong”.
Sombong ada dua
macam yaitu sombong lahir (takabur dzahir) dan sombong batin (takabur batin). Sombong
lahir yaitu perbuatan-perbuatan kesombongan yang dilakukan oleh anggota badan
dan jelas terlihat . Sombong batin yaitu sifat kesombongan di dalam jiwa atau
hati yang tidak terlihat.
Orang yang sombong tidak memiliki perasaan untuk mencintai dan
menyayangi sesama saudaranya yang mukmin sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri. Orang yang sombong banyak memiliki sifat yang buruk misalnya
merendahkan orang lain, pemarah, pembohong, khianat, dan sebagainya. Orang yang
sombong tidak segan-segan menggunakan hal-hal yang buruk demi mempertahankan
kemuliaanya.
Orang yang
sombong senantiasa menolak kebenaran yang dianggapnya akan merugikan dirinya
sendiri, orang yang sombong sering lupa diri, siapa, darimana, dan hendak
kemana ia sebenarnya. Orang yang sombong telah merampas suatu sifat yang
sebenarnya tidak pantas disandangnya, karena sifat itu hanyalah milik Allah
S.W.T. Perilaku orang yang sombong ibarat seorang budak yang mengambil mahkota
raja, kemudian ia memakainya. Setelah itu ia duduk di singgasana raja
bertingkah seperti raja yang patut dihormati. Tentu saja sang raja sangat murka
terhadap budak yang kurang ajar itu dan menjatuhan hukuman yang sangat berat.
Banyak hal yang dapat
memungkinkan seseorang terjerumus ke dalam kesombongan antara lain : keturunan,
kekayaan, kepandaian, kedudukan, kecantikan / ketampanan, kekuatan tubuh d.l.l.
demikian banyak celah yang dapat menjadikan seseorang bersifat sombong. Oleh
sebab itu hendaklah kita memohon kepada Allah agar diberi petunjuk kea rah
jalan yang benar dan terhindar dari sifat sombong[17].
5.
Apa Pengertian Riya’
Riya’ atau sifat pamer adalah keburukan
besar,ia lebih berat dari cinta pengaruh, yang pada gilirannya lebih hebat
daripada cinta harta[18].
Dalam daftar sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat terceladibuktikan bahwa riya’
ini berasal dari ketamakan yang timbul, jika pembawaan nafsu melampaui batas.
Disini Al-Ghazali menjelaskannnya dalam berbagai segi pemikiran al-Muhasibi,
yang sufi. Ia melukiskan cirinya dengan membedakan dari cinta pengaruh, dalam
hal riya’ seseorang berusaha membina kedudukannya dalam pikiiran orang lain,
melalui ibadahnya, tapi pada cinta pengaruh ia berupaya dengan cara amalnya
yang bukan ibadah. Riya’ adalah nafsu menyenangkan manusia agar mendapatkan
sesuatu dengan cara amal ketaatan kepada Allah. Jadi ia terdiri tiga unsur :
perbuatan yang dinyatakan, untuk apa ia dinyatakan dan nafsu untuk menyatakan
suatu amal, yaitu Riya’. Ibadah kepada Allah biasanya dinyatakan kepada orang
lain lewat sikap, gaya berpakaian, bicara, tindakan dan sahabat serta tamu yang
shaleh. Pernyataan keshalehan dengan salah satu dari cara ini beragam macamnya,
yang dilukiskan Al-Ghazali serupa benar seperti yang dilakukan Al-Muhasibi.
Motif dasar dari pernyataan itu ialah menciptakan status dalam pikiran orang
lain dan motif ini dominan sekali pada manusia sebab memberikan kepuasan besar,
Nampaknya semacam kekuasaan dan kesempurnaan, meskipun dalam kenyataan bukan
demikian.
Alasan
mengapa riya’ merupakan suatu sifat buruk yang berat, terletak pada akibatnya :
Jika riya’ menjadi satu-satunya motif amal ibadah, maka ibadah itu bukan hanya
sia-sia, tapi juag dosa. Amal tidak berfaedah disebabkan ketidakadaan niat
beribadah kepada Allah. Berdosa disebabkan dua alasan, yang satu
berhubungan dengan manusia dan yang lainnya dengan Allah. Yang pertama,
bahwa seseorang yang riya’ menipu orang lain dengan amal ibadahnya karena ia
memberikan kesan palsu seakan-akan ia adalah orang yang taat beragama. Yang
kedua ialah menyenangkan manusia dengan cara beribadah kepada Allah,
berarti memperolok Allah, karena ini sama dengan menganggap mereka lebih mampu
member karunia daripada Allah dan lebih baik daripada Allah, sebagai objek yang
disembah. Rasul menyamakan riya’ sebagai polytheisme atau syirik kecil.
Al-Ghazali memberikan alasan bagi ucapan ini dan menyimpulkan, seperti yang
ditunjukan bukti yang terjadi dan yang menunjukan kias, bahwa orang yang riya’
terkena bencana murka Allah. Jika riya, bersama dengan mengapdi kepada Allah
merupakan motif suatu amal ibadah, maka ini adalah kombinasi yang menghapuskan
keikhlasan dan tidak aka nada imbalan baginya[19].
Riya’ banyak
ragamnya, beberapa diantaranya lebih buruk dibanding yang lain. Al-Ghazali
menjelaskannya dengan menunjuk pada tiga unsure pokoknya. Sehubungan dengan unsur
yang pertama, yakni nafsu dasar yang terlibat pada riya’, ia berkata bahwa jika
ia riya’ murni, maka itulah macam riya’ yang dimaksud, riyak yang paling jelek.
Jika nafsu berbuat riya’ bercampur dengan keinginanan mendapat imbalan dari
Allah. Apabila keraguan mendapat imbalan dari Tuhan itu jauh lebih lemah dari
nafsu riya’, maka perbuatan tersebut tidak bisa disebut amal, sehingga
sekalipun dilakukan, maka hal ini hamper dapat digolongkan sebagai riya’ yang
terburuk. Jika kedua keinginan tersebut sama kuatnya, amal itu tidak bermanfaat
dan juga tidak merugikan. Jika nafsu untuk riya’ memperkuat nafsu mendapat
imbalan, amal tersebut akan menghasilkan hukuman dan imabalan yang seimbang
dengan kuatnya keinginan yang bersangkutan[20].
Mengenai
unsure kedua, yaitu tujuan perbuatan atau amal, dimana terdapat riya’, maka ada
tiga tingkatan sifat buruk ini. Pertama, riya’ dalam keimanan terburuk. Mengaku
keesaan Allah pada lisan, tapi menolaknya dalam batin. Penolakan batin mengenai
surge, neraka, kehidupan yang akan datang dan pentingnya syariah, termasuk
dalam golongan ini. Yang kedua riya’ dalam hal ibadah pokok, umpama sholat,
shaum dan sebagainya walaupun iman kepada Allah. Ini juga berat, tapi kurang
daripadanya yang tingkat pertama. Yang ketiga ialah, riya’ dalam ibadah sunnah
yakni mengerjakan kalau ada orang, tapi mengabaiknannya kalau lagi sendirian. Ini
juga sangat buruk, tapi kurang buruk klao disbanding dengan tingkat yang kedua.
Riya’ mengenai berbagai bagian amal juga tiga tingkatnya. Pertama ialah riya’
pada bagian-bagian, yang tanpa ini suatu amal tidaklah sah, ini dibawah tingkat
yang baru sja disebut. Kurang berat dari ini ialah riya’ dalam bagian, yang
jika diabaikan tidak merusak amal tersebut, misalnya melamakan sujud jika
bersama orang lain dan menyingkatkannya jika sedang sendri. Yang paling kurang
berat ialah riya’ urusan agama diluar ibadah sunnah, seperti berada dishaf
pertama dalam shalat jamaah[21].
Ada tiga
derajat riya’ ini sehubungan dengan unsur yang ketiga, yaitu motif riya’. Yang
terburuk, kalau alasan itu ialah kesempatan melakukan dosa, berikutnya ialah
menyatakan kesalehan untuk menolak tuduhan berbuat salah. Derajat kedua ialah
memperagakan kesalehan untuk mendapatkan sesuatu yang halal, seperti kekayaan.
Ini dilarang, sebab dalam hal ini suatu objek duniawi diusahakan melalui amal
yang ditujukan kepada Allah, tapi ini kurang berat dosanya dibanding derajat
pertama, karena yang dicari adalah sesuatu yang halal. Yang ketiga adalah
melakukan amal ibadah bukan untuk mendapatkan sesuatu, tapi supaya tidak
dianggap kurang shaleh. Inilah semua tingakatan riya’ yang merugikan[22].
Beberapa
bentuk riya’ bersifat terbuka dan yang lainnya tersembunyi. Riya’ terbuka ialah
riya’ yang dengan sendirinya cukup membuat orang beramal, meskipun keinginan
akan imbalan dari Allah mungkin bercampur dengannya. Riya’ yang sedikit kurang
terbuka adalah riya’ kalau sendirian, tidak ada orang lain, terasa berat
mengerjakan suatu amal, atau terasa mudah mengerjakannya jika ada yang
melihatnya. Misalnya seseorang melakukan sholat tahajud secara teratur dengan
segala keikhlasan, tapi merasakannnya sebagai beban, jika ada tamu baru
dirasanya mudah.lebih tersembunyi dari ini riya’ yang tidak ada hubungannya
dengan amal, meskipun telah meringan-ringankan diri untuk mengamalkannya .
Tetapi mungkin masih ada riya’ , dalam pikirannya, dan tandanya ialah
kegembiraan jika hal itu ada yang mengetahui ketekunan ibadahnya. Riya’ yang
tersembunyi dalam pikiran, bagaikan api yang tersimpan dalam batu. Yang lebih
tersembunyi lagi ialah riya’ orang yang bersangkutan sendiri menolak riya’, dan
terus beramal tetapi begitu ada orang lain mengetahui sifatnya yang istimewa
ini, dia sangat gembira dan makin mempersering amal ibadahnya. Ini berarti
bahwa ia belum sepenuhnya puas, bahwa Allah mengetahui amal tersebut dan ia
tidak bebas dari riya’ yang amat tersembunyi. Riya’ ini adalah riya’ yang lebih
terselubung ketimbang rangkak seekor semut diatas batu hitam dimalam yang
pekat. Bebas dari itu hanya mungkin bagi orang yang paling saleh. Jadi ada
banyak macam riya’ yang terselubung. Bukti tentang adanya hal itu dalam pikiran
ialah kesadaran atas perbedaan pengetahuan manusia tentang amal dibandingkan
dengan yang diketahui hewan[23].
Namun tidak semua bentuk riya’ dapat merusak amal. Msalah perusakan amal ini
juga dibahas Al-Ghazali secara rinci.
Mencegah
sifat riya’, memerlukan pengekangan diri (myahadah) yang kuat bagi setiap
orang. Dengan suatu cara, sifat riya’ ini bisa dilenyapkan dari jiwa, dengan
cara yang lain, seseorang dapat melawan pikiran-pikiran yang melintas dalam
ingatannya, kalau ia sedang melakukan amal ibadah. Cara yang pertama ialah
lewat ilmu dan amal. Ilmu tentang penyebab riya’ dan bagaimana bisa
menghilangkannya lewat kesadaran akan kerugian yang ditimbulkannya bagi akhirat
dan dalam kehidupan yang sekarang. Penyebab pokok riya’ ialah cita pengaruh
yang dapat dianalisa menjadi tiga unsure, yakni cinta yang dipuji, takut dicela
dan tamak kekayaan. Al-Muhasibi juga memandang ketiga hal ini sebagai yang
merangsang riya’. Kedua tokoh ini sependapat, bahwa riya’ ini akan hapus jika
sesorang mengetahui kejelekan yang ditimbulkan riya’, yaitu rasa cemas untuk
menyenangkan orang lain, rusaknya jiwa, kehinaan pada hari kiamat dan akhirnya
penderitaan dineraka. Amal menyangkut menyembunyikan ibadah dari orang lain
dengan melakukannya didalam rumah dengan pintu tertutup. Setelah membiasakannya
beberapa lama, nafsu riya’ tidak akan timbul dalam pikiran dan akan muncul
ridha atau kerelaan bahwa Allah tahu amal ibadah itu. Menyendiri adalah cara
yang paling efektif untuk menghapus riya’. Lintasan pemikiran riya’ (khatharat
ar-riya’) yang timbul dalam pikiran seseorang yang sedang melakukan ibadah
ada tiga tingkat. Pertama, kalau ia berpikir barangkali ada orang yang tahu
perbuatannya itu. Ini disusul dengan timbulnya nafsu ingin dipuji. Tingkat
ketiga, pikirannya menerima nafsu itu, yang kini tambah kuat. Agar bisa menolak
pikiran yang pertama, ia harus menyadari bahwa sama saja apakah ada orang tahu
atau tidak amal ibadahnya dan cukuplah jika Allah mengetahuinya. Nafsu yang
kedua dapat dilawan dengan mengingat apa yang telah dipelajarinya mengenai
kerugian yang ditimbulkan riya’. Sebagai hasilnya, akan timbul dalam pikiran
kebencian terhadap riya’, jika ketidaksenangan ini cukup kuat, nafsu itu akan
dilawan dan akibatnya pikiran macam, ketiga tidaka akan muncul. Ilmu adalah
unsur dasar dalam hal ini, karena itu yang membuat kebencian terhadap riya’[24].
6.
Apa Pengertian Ujub
Al-Ghazali
melukiskan tabiat congkak (‘ujub) dengan menunjukan perbedaan dan persamaannya
dengan kesombongan. Menurut pendapatnya, congkak berbeda dengan sombong dalam
hal, bahwa kesombongan membutuhkan orang lain yang dianggap kurang berjasa,
congkak tidak memerlukan orang seperti itu. Congkak serupa dengan sombong,
karena sama-sama harus ada suatu kesempurnaan sunggguh atau diandaikan yang
membuat seseorang merasa congkak. Keyakinan memilki kesempurnaan ini pada
seseorang menciptakan dalam pikirannya salah satu dari tiga keadaan : takut
akan hilangnya atau rusaknya kesempurnaan itu, dengan kehendak Allah dan yang
menganugrahkannya, tidak ada ketakutan semacam itu, tapi mensyukurinya, karena
itu diberikan berkat taufik Allah dan yang terakhir tiada takut tapi gembira
karenanya, serta berfikir bahwa itu diperoleh melalui usaha sendiri. Hanya
keadaan terakhir inilah yang merupakan kecongkakan. Jadi rasa congkak
menyangkut penilaian tinggi terhadap suatu atribut dan keyakinan akan kelanjutan
serta lupa akan Pemberi yang sesungguhnya. Ia tidak berkaiatan dengan orang
lain, seperti pada kasus kesombongan[25].
Perbedaan antara sombong dan congkak juga dibahas oleh Al-Muhasibi.
Penilaian
tinggi tentang sedekah yang diberikan kepada orang lain dan selalu
mengingat-ingat sedekah itu juga tergolong kecongkakan. Mengharapkan pelayanan
atau terimakasih atas sedekah itu disebut keangkuhan (idlal). Jadi sifat
buruk ini merupakan tambahan bagi kecongkakan. Setiap kasusnya, adalah kasus
kecongkakan, tapi sebaliknya tidak, karena rasa congkak menganggap suatu
sedekah penting tanpa mengharapkan suatupun balasan, tapi dalam keangkuhan,
diinginkan pula balasannya. Keangkuhandalam hal ibadah terdiri dari keyakinan
seseorang, bahwa dengan cara amal uibadah itu mendapatkan status di sisi Allah
dan berhak akan perlakuan khusus dari-Nya dalam kehidupan ini. Ia merasa
peristiwa yang tak diinginkan akan sedikit kemungkinannya terjadi padanya
dibanding pada seseorang yang berdosa. Ia menyangka Allah akan lebih suka menerimanya
doanya daripada doa orang yang berdosa, sehingga ia terperanjat ketika do’anya
sendiri ditolak, seakan-akan dengan amalnya ia berbuat suatu kebaikan bagi
Allah. Pengertian keangkuhan semacam ini identik dengan pendapat Al-Muhasibi.
Keduanya sepaham, bahwa kecongkakan, selain menyebabkan sekalian sifat buruk
lantaran sombong, juga merupakan halangan bagi ilmu dan amal, dua sarana utama
menuju kebahagiaan. Rasa congkak membuat ilmu dan amalnya cukup bagi orang itu,
sehingga ia mengabaikan usaha meningkatkan keduanya[26].
Kecongkakan
disebabkan oleh tidak mengerti perihal ciri sebenarnya mengenai sifat
kesempurnaanlah yang membuat orang merasa congkak. Jadi obatnya ada pada
pengetahuan yang sebenarnya tentang sifat itu. Congkak dalam hal perbuatan baik
lebih biasa tinimbang yang berkenaan dengan sifat-sifat kesempurnaan yang lain,
seperti kecantikan atau keturunan yang ningrat, Karena yang disebut terdahulu
disangka dilakukan dengan usaha sendiri, sehingga Al-Ghazali membicarakan ciri
amal-amal baik secara rinci. Intisari pembahasannya ialah bahwa pada
kenyataannya sifat-sifat itu dikaruniakan berkat taufik Allah tanpa jasa atau
hak manusia atas semua itu sebelumnya. Renungan mengenai ini membuat manusia
menyadari kebodohan untuk merasa congkak dan tidak bersyukur kepada Allah. Ide
bahwa setiap kebaikan adalah karunia Allah dijelaskan Al-Ghazali dengan bantuan
doktrin pemenuhan diri (kasb). Ide ini juga ditegaskan al-Muhasibi, namun tidak
mengaitkannya dengan doktrin tersebut. Selain menghilangkan kecongkakan dengan
memahami cirri kesempurnaan dan “karunia”, orang dapat pula menghindarinya
dengan membuang sarana kecongkakan itu. Ada delapan macam sarana tersebut,
tujuh adalah sama dengan sarana kesombongan, dan yang kedelapan ialah “pendapat
yang salah”, yang nampaknya baik sekali bagi si congkak disebabkan
kebodohannya. Al-Ghazali menerangkan bagaimana tiap sarana itu seharusnya
disembuhkan dan penjelasannya serupa dengan keterangan Al-Muhasibi[27]
7.
Apa Pengertian Sum’ah
Secara bahasa
sum’ah adalah memperdengarkan. Sedangkan secara istilah adalah melakukan ibadah
dengan benar dan ikhlas karena Allah tetapi kemudian menuturkan kebaikannya
kepada orang lain agar orang lain berbuat baik kepada dirinya. Dalam pembahasan
ini kita ditekakan untuk selalu bersikap baik dan menjauhi perbuatan tercela
yang mana dapat membawa kita dalam kerusakan amaliah lahir maupun batin.
Pengertian
sumah dan riya hampir sama, mereka melakukan hal baik bukan karena menginginkan
ridho dari Allah tetapi lebih karena menginginkan pujian ataupun balasan
kebaikan dari orang lain. Jika sumah lebih menekankan kepada pemberitahuan
kepada orang lain dan riya lebih menekankan kepada perilaku tanpa
memberitahukan kepada orang lain tetapi pada dasarnya mereka sama-sama memiliki
niat bukan karena ridho dari Allah tetapi hanya menginginkan pujian ataupun
balasan kebaikan mereka dari orang lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Akhlak secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu aklak terpuji
(akhlak karimah) dan akhlak tercela (akhlak mazmumah). Akhlak terpuji
diantaranya qanaah, zuhud, sabar, istiqamah, d.l.l. Adapun diantara akhlak
tercela yaitu hunud-dunya, ittibaul hawa, tamak, takabur, riya, ujub, sum’ah
d.l.l.
Untuk mengantisipasi
ancaman dekadensi moral, maka setiap orang islam harus memiliki pemahaman dan
keteguhan untuk menjaga kebenaran dan kebaikan akhlak islamiyah, karena akhlak
akan membawa kemslahatanserta kemuliaan hidup di dunia dan akhirat.
B.
Saran
Demikian
makalah yang berjudul “ Sifat-Sifat
Tercela”, semoga dengan dibuatnya makalah ini bisa bermanfaat. Apabila ada
kesalahan ataupun kekurangan dalam pembuatan makalah, penulis memohon maaf.
[1] . Al- Ghazali, Kimiya’-i-Sa’adat, Tehran: 1319, hlm. 521.
[2]. Al- Ghazali,
Kimiya’-i-Sa’adat, Tehran:
1319, hlm. 4.
[3] . Al- Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Vol: III, Mesir, hlm. 190-192.
[4] . Al- Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Vol: III, Mesir, hlm. 194.
[5] . Al- Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Vol: III, Mesir, hlm. 191.
[6]. Al- Ghazali, Ihya’ ‘Ulum
ad-Din, Vol: II, Mesir, hlm. 97-98.
[7] . Al- Yasui, Al-Qishas Al- Mustaqim, Vol: I, Beirut, 1959, hlm.
516.
[8] . Al- Ghazali, Kimiya’-i-Sa’adat, Tehran: 1319,
hlm. 530.
[13] Ibnu ‘Adi, tahdzib Al-Akhlak, 1928, hlm. 183-185.
[14] Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 195-199.
[15] Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 202.
[16] Drs. Khumaidi, Mpd. Dkk, Modul Hikmah untuk Kelas X, Sragen,
Akik Pusaka, hlm. 57-58.
[17] Drs. Khumaidi, Mpd. Dkk, Modul Hikmah untuk Kelas X, Sragen,
Akik Pusaka, hlm. 55-57
[18]Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 238
[19] Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 259-260.
[20]Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 260
[21] Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 261.
[22]Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 262-263.
[23] Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 253-264.
[24]Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 268-270.
[25] Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 296.
[26] Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 318.
[27]Al-Ghazali, Ulum Ad-diin, Vol.III, Mesir, Hlm. 320-325.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar