Sabtu, 09 April 2016

MEMAHAMI DAN MENGEMBANGKAN POTENSI ROHANIAH MANUSIA (NAFS, AL-QOLBU, AL-AQLU, AL-RUH)

MAKALAH
 MEMAHAMI DAN MENGEMBANGKAN POTENSI ROHANIAH MANUSIA (NAFS, AL-QOLBU, AL-AQLU, AL-RUH)
Dipresentasikan dalam Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
yang di ampu oleh:

Drs. Soeparyo, M.Sc


Oleh:
1.     Farouq Abdul Baqi      (1503056093)
2.     Elly Fatmasari              (1503056088)
3.     Nurul Khasanah           (1503056087)

PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tasawuf adalah disiplin ilmu yang menekankan dan mengutamakan penghayatan akan Tuhan dalam suatu hubungan langsung dengan-Nya (Ma’rifat). Kebenaran yang diperoleh dalam tasawuf bukanlah kebenaran secara rasional, empiris melainkan kebenaran intuitif mistis. Intuisi tersebut masuk kedalam qolbu, dan sulit di ekspresikan dan diterangkan kepada manusia dengan kata-kata biasa.
Manusia merupakan makhluk sempurna yang ALLAH SWT ciptakan. Kesempurnaan ini tidak lepas dari nilai potensial yang di miliki manusia. Nilai potensial ini terbagi menjadi dua aspek, yakni aspek jasmani dan aspek rohani. Aspek jasmani mengarah kepada bentuk fisik (lahir). Adapun aspek rohani lebih menekankan kepribadian.
Segala amal dan usaha di dalam hidup kita adalah dorongan dari fikiran dan batin kita. Di dalam batinlah terletak pertimbangan di antara buruk dan baik, cantik, dan jelek. Apakah kebatinan itu? Apakah kerohanian itu? Inilah yang senantiasa menjadi pertanyaan dan penyelidikan dari ahli fikih sejak dunia berkembang, sampai kepada masa kita kini, dan sampai esok kemudian hari, selama fikiran masih ada pada manusia. Dan soal yang paling penting, dan ibunya segala soal itu ialah soal tentang yang ada.[1]
Dalam makalah ini materi yang akan dibahas adalah tentang potensi ruhaniah yang dimiliki oleh manusia. Potensi ruhaniah yang dimiliki oleh manusia meliputi: nafs, qalbu, akal, dan ruh.



B.     Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan penjelasan dari Al-qalb, Al-aql, Al-ruh, dan An-nafs?
2. Bagaimana cara memahami potensi ruhaniah manusia?
3. Bagaimana cara mengembangkan potensi ruhaniah manusia?


























BAB II
PEMBAHASAN

A. Potensi Rohani Manusia
     Adapun macam-macam potensi rohani manusia diantaranya sebagai berikut:
1. Al-Qalb
Menurut Abu Hamid Al-ghazali, Qalb mempunyai dua pengertian. Pengertian pertama adalah  hati jasmani (al-Qalb al-Jasmani) atau dagimg sanubari (al-Lahm al-sanubari), daging khusus yang berbentuk jantung pisang yang terletak di dalam rongga dada sebelah kiri dan berisi darah hitam kental.[2] Qalb dalam arti ini erat hubungannya dengan ilmu kedokteran, dan tidak banyak menyangkut maksud-maksud agama dan kemanusiaan, karena hewan dan orang mati pun mempunyai qalb seperti ini. Sedangkan qalb dalam arti kedua adalah sebagai luthf rabbani ruhiy (bersifat spiritual). Al-Qalb merupakan alat untuk mengetahui hakikat sesuatu.
Dengan hati, seorang dapat melihat sesuatu sesuai dengan kenyataannya (hakikatnya). Ada beberapa orang yang dibukakan hatinya oleh Allah dengan beraneka ragam pengetahuan tantang hakikat sesuatu. Diantaranya adalah:[3]
a. Pengetahuan tentang ketercelaan dunia, kedahsyatan tipuan dunia beserta kesementaraanya. Seseorang dapat menyaksikan dunia bagaimana kondisidan sifat yang sebenarnya. Namun dalam kenyataan, banyak manusia melihat dunia hanya dari sisi lahiriahnya saja, mereka tidak mampu mengetahui kondisi dan sifat dunia yang sebenarnya, sebagaimana firman Allah,
30:7

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (Qs. Al-Rum: 7)

b. Pengetahuan tentang rekadaya dan jenis gangguan setan.
   c. Pengetahuan tentang tingkatan ahl al-taqwa, derajat ahl al-ilm, kemulian akhlak, kabaikan pergaulan dengan sesama mkahluk, kesabarab kerena tersakiti orang lain, kedermawanan harta, perhatian dengan orang lain dengan menglahkan diri sendiri, rasa takut pada neraka, perlawanan terhadap setan, perlawanan terhadap hawa nafsu, senantiasa mengikuti rasul dan para sahabat dan berpegang teguh pada al-sunnah (tradisi nabi). Dalam kenyataan, banyak orang mukmin yang tidak suka mengikuti sunnah. Yang sunnah dinilai bid’ah dan yang sesungguhnya bid’ah malah dinilai sunnah. Yang sudah dicela yang bid’ah malah dipuja-puja. Hal ini disebabkan seseorang telah tertutup sebagian hatinya untuk melihat sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
d. Pengetahuan tentang kebesaran nikmat-nikmat Allah, keleluasaan pemberianNya, kebesaran kesabaranNya dan ampunNya dan keluasan Rahmatnya.
e. Penyaksian terhadap af’al rububiyah (perbuatan-perbuatan Allah) seperti menyaksikan bukti kekuasaan Allah dalam segala hal dan keindahan ciptaanNya.
f. Pengetahuan tentang betapa keaguangan Allah dan betapa kehinaan kekuasaan makhluk dihadapan kekuasaan Allah. Karena pengetahuanya, seorang benar-benar mengagungkan Allah bukan mengagung-agungkan makhluk.
g. Kesadaran akan taufiq (pertolongan)Allah untuk beribadah, manisnya ma’rifat dan mahabbah serta kesadaraan akan penjagaan Allah dari kesatuan dan kekufuran.
h. Menyaksikan keesaan Allah, sehingga, ia tidak melihat selain Allah, ia meqidaman, kesempurnaan dan kekekalan Allah serta kebaruan dan kesirnan makhluk.
Sedangkan menurut Abu Abdillah ibn Ali Al-Hakim al-Tirmidzi[4], al-qalb mempunyai empat lapisan sebagai berikut:
a. Al-shadr
Al-shadr merupakan lapisan al-qalb yang paling luar. Ia merupakan tempat cahaya islam sekaligus sebagai tempat menyimpan ilmu yang bersumber dari pendengaran maupun pemberiataan. Ilmu ini bisa bertahan di dalam al-shadr setelah di hafalkan dan membutuhkan kesungguhan. Ilmu yang telah masuk ke dalam al-shadr juga bisa terlupakan. Ciri jenis ilmu ini adalah bisa diungkapkan, dibaca, diriwayatkan, dan dijelaskan melalui lisan.
Sifat al-shadr adalah lapang dan sempit. Sesuai dengan kadar kebodohan dan kemarahan, al-shadr menjadi sempit, jika al-shadr terpenuhi dengan kebenaran maka sempit dengan kebatilan. Terkait dengan cahaya islam, Allah berfirman:

6:125

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia melampangkan dadanya untuk (memeluk agama) islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seoalh-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang yang tidak beriman (QS: al-An’am: 125)

b. Al-Qalb
Al-qalb merupakan lapisan kedua yang terletak di dalam al-shadr. Al-qalb ini sebagai tempat cahaya iman.
49:14
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: “Kami telah tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu...” (Qs. Al-hujurat:14)
Keadaaan al-qalb bisa khusu’,taqwa, mahabbah, ridla, yakin, khauf, sabar,qana’ah, tenang, bergetar dan sebagainya. Di antara sifatnya adalah a’ma (buta).
c. Al-fuad
Al-fuad merupakan lapisan al-qalb ketiga yang terletak di dalam al-qalb. Ia tempat cahaya ma’rifat.
53:11
“Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya” (Qs. Al-Najm: 11)
d. Al-Lub
Al-Lub merupakan lapisan yang paling dalam dari al-qalb. Al-Lub sndiri berarti intisari dari sesuatu. Ia merupak tempat cahaya tauhid. Cahaya ini merupakan cahaya yang paling sempurna. Tauhid merupakan rahasia hidayah Allah pada hambanya.

14:52
“ (Al-Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengnya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil perjalanan”  (Qs. Ibrahim: 52)

2. Al-Aql
Ada beberapa pengertian tentang aql. Pertama, aql adalah potensi yang siap menerima pengetahuan teoritis. Kedua, aql adalah pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemuhalan sesuatu yang mustahil yang muncul pada anak usia tamyis, seperti pengetahuan bahwa dua itu lebih banyak dari pada satu dan kemustahilan seseorang dalam waktu yang bersamaan berada di dua tempat. Ketiga, aql adalah pengetahuan yang di peroleh melalui pengalaman empirik dalam berbagai kondisi. Keempat, aql adalah potensi untuk mengetahui akibat esuatu dan memukul syahwat yang mendorong pada kelezatan sesaat. Dengan demikian orang yang berakal adalah orang yang didalam melakukan atau tidak melakukan perbuatan didasarkan pada akibat yang akan muncul, bukan didasarkan pada syahwat yang mendatangkan kelezatan sesaat.
Aql yang pertama merupakan asal dan kedua merupakan cabang dari yang pertama, sedangkan aql yang ketiga dan yang keempat merupakan usaha.
Orang yang menggunakan akalnya akan mencegah dirinya agar tidak terjerumus kedalam kenikmatan sesaat yang membawa penderitaaan yang lebih lama. Orang yang berakal akan memilih kenikmatan yang lama disbanding kenikmatan sementara. Kenikmatan dunia adalah kenikmatan sementara. Bagi orang yang berakal, dunia tidak boleh menghalangi kebahagiaan akhirat yang lebih lama durasinya.
Di dalam al-Qur’an, kata aql dalam bentuk kata benda tidak ditemukan yang ditemukan dalam al-Qur’an adalah kata kerjanya yaitu ya’qilun, ta’qilun dan seterusnya. Aqala (fi’il madli, kata kerja lampau) berarti menahan atau mengikat. Dengan demikian al-‘Aqlu (isim fa’il) berarti orang yang menahan atau mengikat nafsunya sehingga nafsunya terkendali karena diikat atau ditahan. Sedangkan orang yang tidak mempunyai aql tidak mengikat nafsunya sehingga nafsunya liar tak terkendali. Itulah sebabnya orang berakal kadang disebut dengan uli al-nuha (yang mempunyai daya cegah) dan terkadang disebut dengan dzi hijr (yang mempunyai kesabaran). Hanya orang sabar saja yang mau mengendalikan nafsunya.

3. Al-Ruh
Ar ruh secara bahasa memiliki beberapa kemungkinan makna, diantaranya:النفخ (tiupan), النفس(jiwa),الذى يعيش به الانسان (sesuatu yang menghidupkan), النفس(nafas), wahyu, nubuwah, Jibril, dan Isa AS.[5] Dalam kamus berbahasa Inggris ditemukan makna ruh sebagai berikut: breath of life, soul, spirit, gun barrel.[6] Kata Ruh berdekatan maknanya dalam istilah Barat dengan spirit, atau aspek jiwa yang bersifat non individual, yakni intellectatau nous11. Al Qur’an menggunakan istilah ruh untuk beberapa makna, diantaranya: 1) malaikat (Jibril) sebagaimana dipahami dalam ayat:يوم  يقوم الروح والمل ئكة صفا  (hari ketika para malaikat dan Jibril berbaris di hadapan Allah), 2) wahyu, seperti pada ayat:وكذلك اوحينا اليك روحامن امرنا  (demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu dari urusan Kami), dan sebagainya. Dari keterangan di atas, maka Ruh secara bahasa dapat dimaknai sebagai sesuatu yang menimbulkan gejala-gejala hidup. Al Qur’an, kenabian, Jibril, dan nabi Isa pun disebut dengan ruh karena kesemuanya menyebabkan kehidupan budaya. Dengan demikian ruh memiliki dua konotasi :
1) ruh biologis, pembangkit gejala hidup organis biologis (fisika-kimia), dan
2) ruh budaya, pembangkit kehidupan sosial budaya.
Sedangkan menurut terminologi Adalah hakikat dari manusia yang dengannya manusia dapat hidup dan mengetahui segala sesuatu yang bersifat spiritual. Ia adalah zat murni yang tinggi, hidup, dan hakekatnya berbeda dengan tubuh.[7] Ruh adalah daya yang terdapat dalam qolbu untuk mengetahui eksistensi Tuhan. Semua manusia memiliki ruh sebagai potensi untuk mengetahui dan merasakan keberadaan Tuhan, namun tidak semua manusia dapat memfungsionalkan potensi ruh tersebut.
Pengertian ruh menurut ahli hakekat berbeda dengan ahli sunnah (syari’ah). Ahlu sunnah menganggap bahwa ruh adalah kehidupan, sedangkan ahlul hakekat berpendapat bahwa ruh adalah essensi/ substansi ketuhanan yang diletakkan dalam jasad.[8] Ruh merupakan sumber kehidupan dan sumber moral yang baik. Ia merupakan sesuatu yang halus, bersih, dan bebas dari pengaruh hawa nafsu.[9]
Menurut Al Ghazali ruh ada dua macam: 1) ruh hayawani, yaitu substansi halus yang merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Ruh inilah yang berpadu dengan jism menjadi satu kesatuan yang disebut manusia, ia dapat meninggalkan badan sementara ketika manusia tidur, dan dapat meninggalkannya selamanya sehingga terjadi kematian; 2) nafs natiqah, yaitu substansi halus dalam diri manusia yang memungkinkannya untuk mengetahui hakekat.[10] Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ruh adalah daya jiwa yang terdapat dalam qolb yang berfungsi untuk mengarahkan manusia agar dapat merasakan secara pasti keberadaan Tuhan seolah-olah ia melihat Nya. Kesadaran akan keberadaan Tuhan tersebut mendorong hati untuk mencintai Tuhan.

4. Al- Nafs
Kata al-nafs mempunyai dua arti. Pertama, al-nafs berarti totalitas diri manusia. Sehingga jika di sebut “nafsaka (dirimu)”. Maka berati dirimu secara keseluruhan, bukan tangan, bukan kaki, bukan pikiran tetapi keseluruhan dirimu yang membedakan dengan orang lain. Al-nafs dalam arti ini mendapat berbagai julukan sesuai dengan kondisinya. Jika al-nafs dalam menghadapi syahwat dengan tenang maka dijuluki al-nafs al-muthmainnah, sebagaimana dalam al-qur’an surat al-fajr ayat 27-28
89:2789:28
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”.
Jika al-nafs dalam menghadapi syahwat dengan tidaktenang tetapi lebih cenderung mengikutinya tanpa kendali, maka di beri julukan al-nafs al-ammarah, sebagaimana dalam al-qur’an surat yusuf ayat 53.
12:53
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”.
Al-nafs al-ammarah bisa menjadi al-nafs al-muthmainnah manakala seseorang terbebas dari akhlak yang tercela.
Jika al-nafs dalam menghadapi syahwat dengan setengah-setengah antara menolak dan menerima tetapi lebih cenderung mencela diri sendiri ketika melakukan syahwat maka diberi julukan al-nafs al-lawwamah, sebagaimana dalam Al-Qur’an surat al-qiyamah ayat 3:
75:3
“Apakah manusia mengira, bahwa kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya?”.
Sebagian ulama mengatakan bahwa al-nafsu al-lawwamah termasuk nafsu yang baik karena dia senantiasa mencela diri sendiri meskipun sudah bersungguh-sungguh untuk melaksanakan ketaatan.[11]
Kedua, al-nasf menurut para shufi adalah pusat munculnya akhlak tercela. Mereka cenderung mengartikan al-nasf dengan konotasi negatif. Itulah sebabnya nafsu wajib diperangi (mujahadah al-nafs).
Menurut al-Ghozali nafsu diartikan “Perpaduan kekuatan marah (gadlab) dan syahwat dalam diri manusia”.[12] Kekuatan gadlab pada awal nya tentu untuk sesuatu yang poitif seperti untuk mempertahankan diri, mempertahankan agama dan sebagainya. Dengan adanya gadlab itulah jihad diperintahkan dan kehormatan diri terjaga. Dengan kekuatan marah seseorang dapat menumpas kedholiman dan kemungkaran. Namun ketika gadlab tidak terkendali maka yang terjadi adalah kehancuran akhlak dan sifat tercela.
Demikian juga dengan syahwat (syahwat seks) perkembangbiakan manusia tetap berjalan, perpaduan antara pria dan wanita yang membentuk satu keluarga bisa terjadi sehingga akan terbentuk komunitas sosial. Dengan syahwat (makan dan minum), muamalah mencari rizki dapat berjalan, bisa dibayangkan tidak ada syahwat makan, minum, dan sebagainya tentu roda perekonomian tidak mungkin berjalan.
Untuk mengendalikan syahwat dan ghadlab, Allah telah membuat kekuatan pengendali baik eksternal maupun internal. Secara eksternal Allah membuat aturan syariat untuk mengendalikan derasnya laju syahwat dan ghadlab. Allah memperbolehkan seseorang menyalurkan syahwat seksnya sesuai dengan aturan syariat. Demikian juga Allah, menghalalkan syahwat makan dan minum asal sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan. Sedangkan secara internal, Allah telah memasang aqal dalam diri manusia agar manusia itu bisa mengendalikan derasnya laju syahwat. Itulah Allah melarang keras usaha-usaha maupun tindakan-tindakan yang menyebabkan akal tidak berfungsi.
Syari’at melarang seseorang yang sengaja tidak menyalurkan syahwatnya. Rasul saw melarang umatnya berpuasa terus menerus tidak pernah libur berpuasa. Puasa ada batasan-batasan waktu yang tgelah ditentukan oleh syari’at.Oleh karena itu meskipunpuasa itu baik, namun seseorang tidak diperbolehkan melakukan puasa tanpa batasan waktu. Puasa sunnah yang terbaik menurut syari’at adalah puasa Dawud yakni sehari puasa sehari libur. Demikian juga seseorang dilarang membujang untuk selamanya.

B. Cara Memahami Potensi Potensi Ruhaniah Manusia

Sebenarnya kita semua tanpa terkecuali mempunyai banyak sekali yang bisa di kembangkan. Namun sedikit dari kita yang tau bagaimana cara untuk mengenal dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Berikut beberapa cara untuk mengenali potensi diri antara lain :

1. Kenali diri sendiri
Buat daftar pertanyaan dan jawab dengan jujur. Misalnya : Apa yang membuat anda bahagia? Apa yang anda inginkan dalam hidup ini? Apa kelebihan dan kekuatan anda? Apa kelemahan dan kekurangan anda?
2. Tentukan tujuan hidup
Tentukan tujuan hidup anda untuk jangka pendek maupun jangka panjang sesuai kemampuan dan kompetensi anda.
3. Kenali motivasi hidup
Setiap manusia mempunyai motivasi tersendiri untuk mencapai tujuan hidupnya. Apa yang bisa mencambuk anda untuk membangun kekuatan dan dukungan moril sehingga menghasilkan karya terbaik.
4. Hilangkan negatif thingking
Jangan menyalahkan orang lain dalam menghadapi hambatan. Evaluasi langkah anda, kemudian melangkah lagi.
5. Jangan mengadili diri sendiri
Jika menghadapi hambatan dan kegagalan untuk mencapai tujuan jangan menyesal dan mengadili diri sendiri berlarut-larut. Jadikan kegagalan sebagai pengalaman dan bahan pelajaran yang berharga untuk maju.
6. Bertanya kepada orang yang terdekat
Misalnya orang tua, kakak-adik, saudara, keluarga, atau teman. Terkadang kita tidak menyadari potensi yang kita miliki karena itu diperlukan orang lain untuk menyadarkan kita.
7. Banyak membaca, melihat dan merasakan
Dengan begitu akan banyak informasi dan pengetahuan yang bertambah. Bacaan dan tontonan yang kita sukai itu bisa jadi adalah sebuah potensi.

C. Cara Mengembangkan Potensi Ruhaniah Manusia
Setelah benar-benar memahami apa sebenarnya potensi diri yang anda miliki, maka langkah selanjutnya yang harus diketahui adalah bagaimana cara mengembangkan potensi diri anda sendiri. Dalam hal cara mengembangkan potensi diri disini yang perlu ditekankan terdiri dari beberapa langkah penting. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Harus diawali dengan niat
2.      Harus berpikir positif dalam setiap hal
3.      Harus memiliki komitmen
4.      Jangan menganggap remeh orang lain
5.      Menerima saran, kritik dan masukan yang bersifat membangun dari orang lain
6.      Konsisten terhadap apa yag kita lakukan
7.      Yakinlah bahwa kita pasti bisa
Dari beberapa poin cara mengembangkan diri diatas yang paling utama sekali harus dilakukan adalah poin pertama, yaitu mengawali pengembangan potensi diri tersebut dengan niat yang tulus. Dengan adanya niatan tulus, maka akan tercipta pikiran positif yang akan membuat anda memiliki komitmen yang kuat untuk mencapai tujuan dari potensi anda.
Sesuatu hal yang dilakukan tentu tidak akan berbuah hasil manis jika dilakukan tanpa adanya konsistensi, maka dalam hal ini yang paling utama yang harus anda ingat adalah konsisten. Bila anda mengerjakan sesuatu hanya dalam beberapa hari atau bulan saja, maka tentu hasil dari potensi diri yang anda kerjakan belum terlihat, maka cobalah untuk tetap konsisten, dan yakin dan percayalah bahwa apa yang anda cita-citakan akan segera terwujud.










BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan demikian, kita dapat mengetahui pembagian dari potensi rohaniah manusia, yaitu al-qalb, al-aql, al-ruh, dan al-nafs.
1. Al-Qalb yaitu Qalbu adalah hati nurani yang menerima limpahan cahaya kebenaran ilhaih, yaitu ruh. Sebagaimana sejak alam ruh, kita telah melakukan kesaksisan kebenaran.
2. Al-Aql yaitu menahan atau mengikat hawa nafsunya sehingga nafsunya terkendali karena diikat atau ditaha,  sedangkan orang yang tidak mempunyai aql tidak mengikat nafsunya sehingga nafsunya liar tak terkendali.
3. Al-Ruh yaitu  pusat yang didalamnya manusia tertarik dan kembali pada sumbernya.
4.Al- Nafs yaitu   muara yang menampung  hasil oleh  fu’ad, shadr, dan hawa yang kemudian menampakkan  dirinya dalam bentuk  perilaku nyata dihadapan manusia lainnya.
Untuk lebih bisa mengembangkan potensi rohaniah manusia, maka perlu mengetahui cara mengenali potensi rohaniah tersebut, yaitu dengan mengenali diri sendiri, menentukan tujuan hidup, mengenali motivasi hidup, menghilangkan negatif thingking, jangan mengadili diri sendiri, bertanya kepada orang yang terdekat, serta banyak membaca, melihat dan merasakan.
Sehingga, kita juga harus mengembangkan potensi rohaniah manusia dengan cara yaitu harus diawali dengan niat, harus berpikir positif dalam setiap hal, harus memiliki komitmen, jangan menganggap remeh orang lain, menerima saran, kritik dan masukan yang bersifat membangun dari orang lain, konsisten terhadap apa yag kita lakukan serta meyakini bahwa kita pasti bisa.




B. Saran
Untuk pengembangan lebih lanjut maka penulis memberikan saran yang semoga bermafaat bagi para pembaca yaitu:
1.Diharapkan  para pembaca bisa memahami pengertian dari qalbu, akal, ar-ruh dan nafsu.
     2.Diharapkan kita dapat lebih dalam mempelajari akhlak tasawuf.
3.Diharapkan para pembaca bisa mengambil pelajaran dari makalah ini.
       Mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah terdapat kesalahan baik dalam penggunaan bahasa maupun dalam penulisan makalah. Untuk mengembangkan makalah ini,  perlu adanya kritik serta saran dari pembaca.
























DAFTAR PUSTAKA

Al-Qusyairy, Imam an-Naisabury.2000.Risalatul Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf.Surabaya:Risalah Gusti.
Ghazali, Imam.1998.Ihya’ Ulumuddin.Singapore:Pustaka Nasional.
Hamka.1983.Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya.Jakarta:PT. Serumpun Padi.
http://tipsyoman.blogspot.com/2012/12/cara-mengembangkan-potensi-diri.html-7
Usman, Fatimah.1989.Ilmu Tasawuf I.Semarang:Yayasan Studi Iqro’.







/



[1] Hamka, Tasawuf, Pengembangan Dan  Pemurniannya, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1983) hal. 9
[2]Abu Hamid al-Ghazali, ihya’ Ulumuddin, juz 2, al-Muktabah al-Syamilah, hal. 206
[3] Abu Abdillah ibn Ali al-Hakim al-Tirmidzi, Bayan al-Farq baina al-Shadwa al-Fuad wa al-Lub, Kairo, Maktabat al-Kulliyat al-Azhariyah,t.th. hal 50-52
[4] Ibid.,hal.33
[5] Ibn Manzhur, Lisan al Arab juz 2, (Beirut: Dar el Fikr, 1990), h.h. 459-460, lihat pula : Muhammad bin Abi bakr Abd Al Qadir Ar Razy, Mukhtar As Shihah, (Beirut: Maktabah Lubnan, 1986), hal.110

[6]Hans Wehr, A Dictionary Of Modern written Arabic, (Beirut: Maktabah Lubnan, 1986), hal. 365

[7]Ensiklopedi Islam, Op.Cit, hal. 174

[8]Al Qusyairy, Op.Cit., hal. 450

[9]Ensiklopedi Islam, Op.Cit,

[10]Ensiklopedi Islam, Op.Cit; Al Qusyairi, Op.Cit, hal.450

[11]Abu al-Hasan Ali Ibn Muhamad Ibn Ibrahim Ibn Amr’ Tafsir al-Khazin, Bab I, Juz, al-Maktabah al-Syamilah, hal. 190
[12] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz 2, al-Maktabah al-Syamilah,  hal. 207

Tidak ada komentar:

Posting Komentar