BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai
umat Islam yang berpedoman pada Al-Qur’an haruslah mengerti tentang isi
kandungan di dalam Al-Qur’an. Karena dengan mempelajari isi kandungannya kita
akan memahami dan mengetahui hukum-hukum dan juga syari’at Islam.
Dalam
mempelajari Al-Qur’an ada sebuah ilmu yang namanya Ilmu Munasabah. Pada bagian
ini muncul pertanyaan, apakah munasabah itu ada atau tidak? Dari pertanyaan ini
muncul dua pendapat yang berbeda sebagai jawabannya. Argumentasi pendapat
pertama bahwa : Suatu kalimat baru memilki munasabah apabila ia ucapkan dalam
konteks yang sama. Karena Al-Quran turun dalam berbagai konteks, maka tidak
mesti ia memiliki munasabah. Pendapat tersebut dikemukakan oleh seorang mufassir
yang bernama Izzudin Ibn Abdul Aslam.[1]
Sementara
argumen pendapat kedua mengatakan bahwa ketidakberurutan itulah menunjukkan
adanya rahasia. Di sinilah relevansi pembicaraan munasabah. Pendapat adanya
munasabah dalam Alquran juga dikemukakan oleh mufassir, diantaranya As-Suyuthi,
Al-Qathathan, Fazlurrahman, dan lain-lainnya.[2]
Ilmu Munasabah adalah ilmu yang mempelajari tentang
keserasian makna, kesesuaian/korelasi antara ayat yang satu dengan ayat yang
lain di dalam Al-Qur’an, sehingga dapat menjadikan hikmah tersendiri bagi orang
yang mempelajarinya.
Karena itu Ilmu Munasabah sangatlah penting untuk memperdalam pengetahuan kita
tentang isi kandungan Al-Qur’an.
B. Rumusan
Masalah
Sesuai dengan tema yang telah kami terima sebagai materi
makalah yaitu pembagian Ilmu Munasabah, maka rumusan masalah yang dikaji dalam
makalah penulis yaitu :
a. Apa
yang dimaksud dengan Ilmu Munasabah?
b. Apa
yang melatarbelakangi pemikiran munculnya Ilmu Munasabah?
c. Apa
saja macam-macam munasabah?
d. Apa
manfaat Ilmu Munasabah?
e. Bagaimana
pendapat ulama tentang munasabah?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penyusunan makalah ini yaitu sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui pengertian dari Ilmu
Munasabah
b. Untuk mengetahui latar belakang
pemikiran munculnya Ilmu Munasabah
c. Untuk mengetahui macam-macam Munasabah
d. Untuk mengetahui manfaat Ilmu Munasabah
e. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang
munasabah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Munasabah
Menurut bahasa, Al-Munasabah berarti al-musyakalah
dan al-muqorabah artinya keserasian dan kedekatan[3].
Menurut bahasa munasabah juga berati persesuaian atau hubungan relevansi, yaitu
hubungan persesuaian antara ayat/surat yang satu dengan ayat/surat yang sebelum
atau sesudahnya.[4]
Adapun yang
dimaksud dengan munasabah dalam terminologi ahli-ahli ilmu Al-Quran sesuai
dengan pengertian harfiahnya dapat
didefenisikan sebagai berikut:
Menurut Al-Zarkasyi: Munasabah
adalah suatu hal yang menghubungkan dan mengaitkan antara dua kata maupun
kalimat, baik secara nalar, indrawi dan imajinasi maupun secara global dan
terperinci yang termasuk dalam cakupan bentuk-bentuk hubungan. Menurut Ibn
Al-Arabi : Munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga
seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan
keteraturan redaksi.[5]
Sedangkan Al-Qaththan berkata, munasabah adalah menghubungkan antara jumlah
dengan jumlah dalam suatu ayat, atau antara ayat dengan ayat pada sekumpulan
ayat, atau antara surah dengan surah.[6]
Sebagai kesimpulannya, munasabah ialah: segi-segi
hubungan atau persesuaian Al-Qur’an antara bagian demi bagian dalam berbagai
bentuknya. Yang dimaksud dengan dengan segi hubungan atau persesuain ialah
semua pertalian yang merujuk kepada makna-makna yang mempertalikan satu bagian
dengan bagian yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan bagian demi bagian
ialah semisal antara kata/kalimat dengan kata/kalimat, antar ayat dengan ayat,
antar awal surat dengan akhir surat, antara surat yang satu dengan surat yang
lain, dan begitulah seterusnya hingga benar-benar tergambar bahwa Al-Qur’an itu
merupakan satu kesatiuan yang utuh dan menyeluruh (holistik).[7]
Ilmu
Munasabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan antara ayat/surat yang
satu dengan ayat/surat yang lain. Karena itu sebagian pengarang menamakan ilmu
ini dengan “Ilmu Tanasubil Ayati Was Suari,” yang artinya juga sama, yaitu ilmu
yang menjelaskan persesuaian antara ayat/surat yang satu dengan ayat/surat yang
lain.[8]
Ilmu ini
menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat atau beberapa surat
Alqur’an. Baik hubungan itu berupa ikatan antara ‘am (umum) dan khusus,
atau antara abstrak dan konkret, atau antara sebab-akibat, atau antara illat
dan ma’lulnya, ataukah antara rasional dan irrasional, atau bahkan antara dua hal yang
kontradiksi.
Pengetahuan
mengenai korelasi dan hubungan antara ayat-ayat itu bukanlah hal yang tauqifi
(tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan rasul), tetapi didasarkan
pada ijtihad seorang mufasir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan
Al-Qur’an, rahasia retorika, dan segi keterangannya mandiri. Apabila korelasi
itu halus maknanya, harmonis konteksnya dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan
dalam ilmu bahasa arab, maka korelasi tersebut dapat diterima.
B. Latar Belakang Munculnya Pemikiran Ilmu
Munasabah
Lahirnya
pengetahuan tentang korelasi (munasabah) ini berawal dari kenyataan bahwa bahwa
sistematika Al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam Mushaf Utsmani sekarang tidak
berdasarkan fakta kronologis turunnya Al-Qur’an. Itulah sebab terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama-ulama salaf tentang urutan surat di dalam
Al-Qur’an. Pendapat pertama bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW.
Golongan kedua berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat
setelah mereka bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah
tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali
surat Al-Anfal dan Al-Bara’ah yang dipandang bersifat ijtihadi. Pendapat
pertama didukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakar dalam satu pendapatnya, Abu
Bakar Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani, dan Ibn Al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh
Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan Ibn Al-Faris.
Pendapat ketiga dianut oleh Al-Baihaqi. Salah satu penyebab perbedaan ini adalah
adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang urutan suratnya bervariasi. Ada yang
menyusunya berdasarkan kronologis turunnya, seperti Mushaf Ali yang dimulai
dengan ayat iqra’, sedangkan ayat lainya disusun berdasarkan tempat turunya
Makki kemudian Madani. Adapun Mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dengan surat
Al-Baqarah, kemudian An-Nisa’, lalu surat Ali Imran.
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini,
wajarlah jika masalah korelasi Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para
ulama’ yang menekuni Ulum Al-Qur’an. Tokoh yang disebut-sebut sebagai orang
yang pertama yang melopori keberadaan Ilmu Munasabah ialah Abu Bakar
An-Naisaburi, seorang alim bekebangsaan Irak yang sangat ahli dalam ilmu
syariah dan kesustraan arab. Dalam berbagai kesempatan perbincangan ayat
Al-Qur’an, An-Naisaburi konon selalu mempertanyakan perihal segi hubungan
antara bagian demi bagian dan antara ayat demi ayat Al-Qur’an, serta selalu mempertayakan
apa hikmah yang terjadi di balik rangkaian ayat yang seperti ini?[9]
Namun kitab tafsir An-Naisaburi yang dimaksud sukar dijumpai sekarang.
Sebagaimana dinyatakan Adh-Dhahabi, besarnya perhatian An-Naisaburi terhadap
munasabah nampak dari ungkapan As-Suyuti yaitu;
“Setiap kali ia (An-Naisaburi) duduk di atas kursi apabila
dibacakan Al-Qur’an kepadanya, beliau berkata: Mengapa ayat ini diletakkan
di samping ayat ini, dan apa rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini?
Beliau mengkritik para ulama’ Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui”.
Tindakan An-Naisaburi merupakan kejutan dan langkah baru
dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap
persesuaian, baik antar ayat maupun antar surat, terlepas dari segi tepat atau
tidaknya. Satu hal yang jelas, beliau dipandang sebagai bapak Ilmu Munasabah.
Dalam perkembangannya, Ilmu Munasabah meningkat menjadi salah satu cabang dari
ilmu-ilmu Al-Qur’an. Ulama-ulama yang datang kemudian menyusun pembahasan ilmu
munasabah secara khusus.[10]
Pengetahuan tentang munasabah ini sangat bemanfaat dalam
memahami keserasian antar makna, mukjizat Al-Qur’an secara retorik, kejelasan
keterangannya, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasanya. Hal ini sebagaimana
dijelaskan firman Allah:
artinya:
“Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terinci,
diturunkan dari sisi Allah Yang Maha bijaksana dan Maha mengetahui.” (QS.
Hud/11:1).[11]
C. Macam-macam
Ilmu Munasabah
munasabah dapat
dilihat dari dua segi, yaitu sifat dan materinya.
1.
Dari Segi Sifat Munasabah
Ditinjau
dari sifatnya munasabah di bagi menjadi dua yaitu : zhahir irtibath (persesuaian
yang nyata) dan khafy irtibath (persesuain
yang tidak nyata).
a.
Zhahir Irtibath yaitu munasabah yang terjadi karena
bagian Al-Qur’an yang satu dengan yang lain nampak jelas dan kuat disebabkan
kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain, karena kaitan kalimat yang
satu dengan yang lain erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi
kalimat yang sempurna, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain, maka deretan
beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu kadang-kadang ayat yang satu
itu berupa penguat, penafsiran, penyambung, penjelasan pengecualian, atau
pembatasan dari ayat yang lain, sehingga semua ayat-ayat tersebut tampak
sebagai satu kesatuan yang sama. Contohnya, persambungan antara ayat pertama
surat al-Isra’:
Artinya : “Maha suci Allah, yang
telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al
Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
Ayat tersebut
menerangkan perjalanan isra’ Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya
ayat kedua dari surat al-Isra’:
Artinya
: “Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat
itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil
penolong selain Aku”.
Ayat tersebut
menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s. Persesuaian
antara kedua ayat tersebut tampak jelas mengenai diutusnya kedua orang
Nabi/Rasul tersebut.
b. Khafy
Irtibath
adalah munasabah yang terjadi karena antara bagian-bagian Al-Quran tidak ada
kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan diantara keduanya, misalnya
hubungan antar ayat 189 dan ayat 190 Suat Al-Baqarah :
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu
tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu
bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah
dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang
bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu beruntung”.
Artinya
: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas”.
Ayat
189 di atas bulan sabit (hilal) adalah tanggal untuk tanda waktu dan untuk
jadwal ibadah haji. Sedangkan ayat 190 menjelaskan perintah menyerang kepada
orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua
ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya atau hubungan yang satu dengan yang
lainnya samar. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut,
yaitu ayat 189 mengenai soal waktu haji, sedangkan ayat 190 menjelaskan bahwa
sebenarnya, waktu haji itu umat Islam dilarang berperang, tetapi jika ia
diserang lebih dahulu, maka serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada
musim haji.[12]
1.
Dari Segi Materi
Munasabah
Jika dilihat dari segi materinya, maka
munasabah mempunyai beberapa macam, yaitu:
a. Munasabah antara ayat dengan ayat yang berdampingan,
seperti firman Allah
Artinya: “17). Maka Apakah mereka
tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, 18). dan langit, bagaimana
ia ditinggikan? 19). dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? 20). dan bumi
bagaimana ia dihamparkan?
Dimana unta merupakan ciptaan yang
dekat dengan kehidupan manusia. Disaat dimana unta memerlukan makanan berupa rumput,
maka manusia menengadah kelangit berharap turunnya hujan yang dengannya tumbuh
rumput-rumput, sementara itu, bumi dan gunung merupakan tempat menetap
beristirahat dan mencari rezeki. Karena itu manakala mereka mendengar ayat-ayat
di atas, maka akan menimbulkan kesan yang sangat mendalam bagi siapa yang mau
merenunginya.
b. Munasabah
antara surah dengan surah lain
Terkadang
munasabah itu terjadi antara satu surah dengan surah yang lain, misalnya
hubungan antara surah Al-Quraisy dengan surah Al-Fil.
Artinya:”1). Karena kebiasaan
orang-orang Quraisy, 2). (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin
dan musim panas, 3). Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini
(Ka'bah). 4). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan
lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”.
Surat Quraisy di atas disebut
setelah Surat al-Fiil, yakni berbunyi :
Artinya: “1). Apakah kamu tidak
memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? 2).
Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu
sia-sia? 3). dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong,
4). yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, 5).
lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)”.
Surat Quraisy di atas mengandung
perintah menyembah Allah yang telah memberi makanan kepada kaum Quraisy
untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan. Maksud ayat
surat ini relevan dengan surat sebelumnya, yakni Surat al-Fiil, yang mengandung
makna bahwa Allah telah menghancurkan pasukan Gajah yang ingin memerangi kaum
Quraisy dengan menghancurkan Ka’bah. Artinya sebagai konsekwensi perlindungan
Allah terhadap kaum Quraisy, maka mereka harus beriman kepada-Nya.
c. Munasabah terjadi pula antara awal surah
dengan akhir surah.
Munasabah ini
arti bahwa awal suatu surah ini menjelaskan pokok pikiran tertentu lalu pokok
pikiran ini dikuatkan kembali di akhir pikiran surah ini. Misalnya tedapat pada surag Al-Hasyr.
Mnasabah ini terletak dari sisi kesamaan kondisi, yaitu segala yang ada baik
dilangit maupun di bumi menyucikan Allah Sang pencipta keduanya.[13]
Artinya: “Telah bertasbih kepada
Allah apa yang ada di langit dan bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.
Artinya: “Dialah Allah yang
Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul
Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
d. Munasabah antara pembuka surah dengan penutup surat sebelumnya
Dalam firman Allah seperti dalam surat Al-Hadid sebagai
pembuka berbunyi :
Artinya: “Semua yang berada di
langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran
Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Pembukaan ini sesuai
dengan akhir surah Al-Waqiah, karena ayat pembuka surat al-Hadid ini yang mengandung
penjelasan semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada
Allah tentunya sangat bersesuaian dengan penutup surat sebelumnya, yaitu Surat
al-Waqi’ah, ayat 96, yang mengandung arti perintah tasbih, yakni berbunyi :
Artinya: Maka bertasbihlah dengan
(menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.
D. Manfaat Ilmu Munasabah
Ilmu Munasabah
itu paling sedikit berfungsi sebagai ilmu pendukung atau penopang dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan tidak jarang dengan pendekatan Ilmu
Munasabah penafsiran akan semakin menjadi jelas, mudah dan indah. Dan
karenanya, ilmu Munasabah cukup memiliki peranan dalam mengingatkan kualitas
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an.[14]
Ada empat fungsi
utama dari ilmu Munasabah, yaitu :
a. Untuk menemukan arti yang tersirat dalam
susunan dan urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surah-surah dalam Al-Qur’an.
b. Untuk menjadikan bagian-bagian dalam
Al-Qur’an saling berhubungan sehingga tampak menjadi satu rangkaian yang utuh
dan integral.
c. Ada ayat baru dapat dipahami apabila
melihat ayat berikutnya,
d. Untuk menjawab kritikan orang luar
terhadap sistematika Al-Qur’an.[15]
Menurut Az-Zarkasyi diantara
kegunaan ilmu Munasabah ialah dapat menjadikan bagian demi bagian pembicaraan
menjadi tersusun demikian rupa laksana sebuah bangunan yang tampak kokoh lagi
serasi antara bagian demi bagiannya.[16]
Dengan Ilmu Munasabah itu, dapat diketahui mutu dan
kebalaghahan bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan
yang lain, serta persesuaian ayat/ surahnya yang satu dari yang lain, sehingga
lebih meyakinkan kemukjizatannya, bahwa Al-Qur’an itu benar-benar wahyu dari
Allah SWT, dan bukan buatan Nabi Muhammad SAW.
E. Pendapat
Ulama Tentang Munasabah
Ahli-ahli Al-Qur’an sangat antusias
dalam memberikan penghargaan terhadap keberadaan ilmu Munasabah, diantaranya
mereka adalah imam Badrudin Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi. Menurutnya “
Al-munasabah ialah ilmu yang sangat mulia (‘ilmun syarif), dengan ilmu
ini bisa diukur kemampuan (kecerdasan) seseorang, dan dengan ilmu ini pula bisa
diketahi kadar pengetahuan seseorang dalam mengemukaakan
pendapat/pendiriannya.”[17]
Tokoh
lain yang disebut-sebut juga turut berjasa dalam perkembangan ilmu munasabah
selain Abu Bakr An-Naisaburi ialah al-iman Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H),
pengarang kitab mafatihul-Ghaib
fi-Tafsiril Qur’an (Kunci-kunci kegaiban dalam menafsirkan Al-Qur’an); dan Al-Qadhi
Abu Bakr Ibn Al-Arabi (468-543 H) yang antara lain menulis kitab Sirajul-Muridin wa-Sirajul-Muhtadin
(Lentera Orang-Orang yang Berkehendak dan Lentera Orang-orang yang Meraih
Petunjuk). Yang disebutkan pertama, ar-Razi menyatakan bahwa kebanyakan
pembendaharaan Al-Qur’an justru terletak
pada rangkaian tata urutan dan pertaliannya. Sedangkan Ibnul Arabi melukiskan
hubungan-hubungan ayat-ayat Al-Qur’an antara yang sebagian dengan sebagian
lainnya laksana satu kalimat yang sangat maknanya dan tersusun (rapi)
penjelasannya.[18]
Tidak semua ulama setuju untuk
menempatkan Ilmu Munasabah sebagai syarat mutlak dalam dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an. Izzaduddin bin Abdus-Salam misalnya, beliau memang
mengakui keberadaan munasabah sebagai ilmu yang bagus (ilmu hasan),
tetapi pada saat yang bersamaan ia juga mengingatkan agar penggunaanya dibatasi
dalam hal yang objek (pembicaraanya) benar-benar memilki keterkaitan sejak awal
hingga akhir. Tetapi jika rangkain pembicaraan itu menunjukkan pada sebab-sebab
yang berlainan dan tidak konsisten apa yang menjadi objek pembicaraannya sejak
awal hingga akhir, maka ilmu munasabah tidaklah perlu dipaksakan penggunaannya.[19]
Manna’ al-Qaththan dan Shubhi As-Shalih
merupakan dua orang yang mewakili ahli ilmu-lmu Al-Quran kontemporer yang juga
tidak menyetujui pemaksaan Ilmu Munasabah untuk seluruh ayat-ayat Al-Quran. Maka dari itu untuk melakukan
pembacaan hoilstik terhadap Al-Quran tersebut membutuhkan metodologi dan
pendekatan yang memadai. Metodologi dan pendekatan yang telah dipakai oleh para
mufassir klasik menyisakan masalah
penafsiran, yaitu belum bisa menyuguhkan pemahaman utuh, komprehensif, dan
holistik. Ilmu Munasabah sebenarnya memberi langkah strategis untuk melakukan
pembacaan dengan cara baru asalkan metode yang digunakan untuk melakukan
“perajutan” antarsurah dan antarayat adalah tepat. Untuk itu perlu dipikirkan pengginaan
metode dan pendekatan hermeneutika dan antropologi filosogis dalam Ilmu
Munasabah.[20]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari paparan singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
Ilmu Munasabah adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat keserasian
(korelasi) antara satu bagian dengan bagian yang lain. Ilmu ini sepenuhnya
bersifat ijtihadi, bukan tauqifi. Ada macam-macam munasabah yang terdapat dalam
Al-Qur’an dimana ditinjau dari sifatnya Munasabah di bagi menjadi dua yaitu : zhahir
irtibath (persesuaian yang nyata) dan khafy irtibath (persesuain yang tidak
nyata). Jika dilihat dari segi materinya, maka
munasabah mempunyai beberapa macam, yaitu:
a. munasabah
antara surah dengan surah lain,
b. munasabah antara ayat dengan ayat yang letaknya
berdampingan,
c. munasabah antara awal
surah dengan akhir surah.
d. munasabah antara
Faedah
dari Ilmu Munasabah ialah kita dapat mengetahui keindahan dan tingginya sastra
yang ada di dalam Al-Qur’an, sehingga kita yakin bahwa Al-Qur’an adalah
benar-benar wahyu dari Allah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, dan bukan
buatan Nabi.
Ahli-ahli Al-Qur’an sangat antusias
dalam memberikan penghargaan terhadap keberadaan ilmu Munasabah, diantaranya
mereka adalah imam Badrudin Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi. Menurutnya “ Al-munasabah ialah ilmu
yang sangat mulia (‘ilmun syarif), dengan ilmu ini bisa diukur kemampuan
(kecerdasan) seseorang, dan dengan ilmu ini pula bisa diketahi kadar
pengetahuan seseorang dalam mengemukaakan pendapat/pendiriannya.” Tetapi tidak semua
ulama setuju untuk menempatkan ilmu
sebagai syarat mutlak dalam dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Izzaduddin bin Abdus-Salam sebagai
misalnya.
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat. Semoga
apa yang kami diskusikan dapat menambah rasa syukur kita kepada Allah dan
menambah pengetahuan kami. Adapun dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
yang masih perlu kami sempurnakan. Untuk itu kritik dan saran sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini, sekian kami ucapan terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Abu. 2002. Ulumul Quran,
Pekanbaru : AMZAH.
Djalal, Abdul. 2008. Ulumul
Qur’an, Surabaya : Dunia Ilmu.
Hermawan, Acep. 2011. ‘Ulumul
Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu. Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA
Ichwan, Mohammad Nor.
2008. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Semarang : RASAIL Media Group.
Shihab,
Quraish. 1996. Wawasan Alqur’an, Bandung : Mizan.
Suma, Muhammad Amin. 2013. Ulumul Qur’an, Jakarta
: Raja Grafindo Persada.
http://makalahjenius.blogspot.co.id/2012/06/munasabah-al-quran.html di15akses pada tanggal 25 September 2015
http://amamdesign.blogspot.co.id/2013/04/studi-quran-munasabah.html diakses pada tanggal 25 September 2015
Tertib Surah dan Ayat
Para
ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam Al-Quran adalah taukifi ,
artinya penetapan dari Rasul. Sementara tertib surah dalam Al-Quran masih
terjadi perbedaan pendapat.
Al-Qhurtubi meriwayatkan pernyataan Ibn
Ath-Thibb bahwa tertib surat Al-Quran di perselisihkan.[7] Dalam hal ini ada tiga golongan:
A. Tertib surat
berdasarkan ijtihad para sahabat. Pendapat ini diikuti oleh jumhur
ulama seperti Imam Malik, Al-Qhadi Abu Bakr At-Thibb. Beberapa alasan mereka
adalah :
1) Tidak
ada petunjuk langsung dari Rasulullah tentang tertib surah dalam Al-Quran.
2) Sahabat
pernah mendengar Rasul membaca Al-Quran berbeda dengan susunan surah sekarang,
hal ini di buktikan dengan munculnya empat buahmushaf dari kalangan
sahabat yang berbeda susunannya antara yang satu dengan yang lainnya.
Yaitu mushaf Ali, mushaf ‘Ubay, mushaf Ibn Mas’ud, mushaf Ibnu Abbas.
3) Mushaf yang
ada pada catatan sahabat berbeda-beda ini menunjukkan bahwa susunan surah tidak
ada petunjuk resmi dari Rasul.[8]
4) Alasan
lain adalah riwayat Abu Muhammad Al-Quraysi bahwa Umar memerintahkan agar
mengurutkan surat At-Tiwal. Akan tetapi, riwayat ini diberi catatan kaki oleh
As-Sayuthi agar diteliti kembali.[9]
B. Susunan
surat berdasarkan petunjuk Rasulullah Saw (taukifi). Di antara ulama
yang yang berpendapat demikian adalah Al-Qadhi Abu Bakr Al-Anbari, Ibn
Hajar, Al-Zarkasyi dan As-Sayuthi. Alasan yang dikemukakan sebagai berikut :
1) Ijma’ sahabat
terhadap mushaf Utsman. Ijma’ ini tak akan mungkin terjadi
kecuali kalau tertib itu tauqifiy, seandainya bersifat ijtihadiy,
niscaya pemilik mushaf lainnya akan berpegang teguh
pada mushafnya.[10]
2) Hadist
tentang hijzb Al-Quran yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Dawud
dari Huzaifah As-Syaqafi[11]. Dengan meneliti pembagian yang
dikemukakan hadis tersebut didapatkan pembagian Al-Quran dalam tujuh bagian
yang seimbang.
3) Hadis
Ibn Abbas tentang alasan penyatuan surat At-Taubah dan Al-Anfal. Ibn Hajar
menyatakan bahwa kebijakan tersebut menunjukkan bahwa susunan
Al-Quran taukifi, hanya karna Nabi tidak menjelaskan kepada Usman, maka
surat At-Taubat disatukan dengan surah Al-Anfal. Selanjutnya Ibn Hajar
menyatakan dalam mushaf Ibn
Mas’ud terdapatbasmalah di awal surat At-Taubah, tetapi
tidak diambil oleh lembaga.[12]
4) Nabi
sering membaca Al-Quran dengan tertib surat yang ada pada sekarang.[13]
C. Tertib
surat sebagian taukifi dan sebagian ijtihadiy. Di antara
yang berpendapat demikian adalah Al-Baihaqi. Menurutnya: “seluruh surat
susunannya berdasarkantauqif Rasul kecuali surat Baraah dan
Al-Anfal”.[14] Al-Qhadi Abu Muhammad Ibn Athiyah
termasuk golongan ini.[15] Dan alasan lainnya:
1) Ternyata
tidak semua nama-nama surah itu diberikan oleh Allah, tapi sebagiannya
diberikan oleh Nabi dan bahkan ada yang diberikan oleh para sahabat. Adapun
yang diberikan oleh Allah adalah misalnya surat Al-Baqarah, At-Taubah, Ali
Imran dll. Nama surah yang diberikan oleh Nabi adalah yang Nabi sendiri
menyebutkan surah tersebut, seperti surah Thaha dan Yasin. Oleh para sahabat
seperti Al-Baro’ah, yaitu surat yang di awali dengan lafal basmalah.
[2] ‘Abdul
Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafy fi Al-Islam,
Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, Beirut, hal. 50
http://coretanbinderhijau.blogspot.co.id/2013/02/makalah-ilmu-munasabah-dalam-al-quran.html 13-10-2015
[6]) Ibid.,
hlm. 97
[10])Tim
penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi al-Qur’an, (Surabaya:IAIN
Sunan Ampel Press, 2011), hlm. 218-219.
[13]) Acep Hermawan, Ulumul
QuranIlmu untuk Memahami Wahyu, 2011, PT REMAJA ROSDAKARYA:BANDUNG, hlm.
129
[18]) Ibid., hlm 253.
[19]) Ibid,. hlm. 37,
As-Suyuthi, lo.cit
[20]) Acep Hermawan, ‘Ulumul
Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu, 2011, Bandung:PT REMAJA ROSDAKARYA, hlm.
124.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar