Sabtu, 09 April 2016

makalah Ilmu Munasabah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagai umat Islam yang berpedoman pada Al-Qur’an haruslah mengerti tentang isi kandungan di dalam Al-Qur’an. Karena dengan mempelajari isi kandungannya kita akan memahami dan mengetahui hukum-hukum dan juga syari’at Islam.
Dalam mempelajari Al-Qur’an ada sebuah ilmu yang namanya Ilmu Munasabah. Pada bagian ini muncul pertanyaan, apakah munasabah itu ada atau tidak? Dari pertanyaan ini muncul dua pendapat yang berbeda sebagai jawabannya. Argumentasi pendapat pertama bahwa : Suatu kalimat baru memilki munasabah apabila ia ucapkan dalam konteks yang sama. Karena Al-Quran turun dalam berbagai konteks, maka tidak mesti ia memiliki munasabah. Pendapat tersebut dikemukakan oleh seorang mufassir yang bernama Izzudin Ibn Abdul Aslam.[1]
Sementara argumen pendapat kedua mengatakan bahwa ketidakberurutan itulah menunjukkan adanya rahasia. Di sinilah relevansi pembicaraan munasabah. Pendapat adanya munasabah dalam Alquran juga dikemukakan oleh mufassir, diantaranya As-Suyuthi, Al-Qathathan, Fazlurrahman, dan lain-lainnya.[2]
Ilmu Munasabah adalah ilmu yang mempelajari tentang keserasian makna, kesesuaian/korelasi antara ayat yang satu dengan ayat yang lain di dalam Al-Qur’an, sehingga dapat menjadikan hikmah tersendiri bagi orang yang mempelajarinya. Karena itu Ilmu Munasabah sangatlah penting untuk memperdalam pengetahuan kita tentang isi kandungan Al-Qur’an.

B.     Rumusan Masalah
Sesuai dengan tema yang telah kami terima sebagai materi makalah yaitu pembagian Ilmu Munasabah, maka rumusan masalah yang dikaji dalam makalah penulis yaitu :
a.       Apa yang dimaksud dengan Ilmu Munasabah?
b.      Apa yang melatarbelakangi pemikiran munculnya Ilmu Munasabah?
c.       Apa saja macam-macam munasabah?
d.      Apa manfaat Ilmu Munasabah?
e.       Bagaimana pendapat ulama tentang munasabah?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu sebagai berikut :
a.       Untuk mengetahui pengertian dari Ilmu Munasabah
b.      Untuk mengetahui latar belakang pemikiran munculnya Ilmu Munasabah
c.       Untuk mengetahui macam-macam Munasabah
d.      Untuk mengetahui manfaat Ilmu Munasabah
e.       Untuk mengetahui pendapat ulama tentang munasabah
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ilmu Munasabah
Menurut bahasa, Al-Munasabah berarti al-musyakalah dan al-muqorabah artinya keserasian dan kedekatan[3]. Menurut bahasa munasabah juga berati persesuaian atau hubungan relevansi, yaitu hubungan persesuaian antara ayat/surat yang satu dengan ayat/surat yang sebelum atau sesudahnya.[4]  
Adapun yang dimaksud dengan munasabah dalam terminologi ahli-ahli ilmu Al-Quran sesuai dengan pengertian harfiahnya dapat didefenisikan sebagai berikut:
Menurut Al-Zarkasyi: Munasabah adalah suatu hal yang menghubungkan dan mengaitkan antara dua kata maupun kalimat, baik secara nalar, indrawi dan imajinasi maupun secara global dan terperinci yang termasuk dalam cakupan bentuk-bentuk hubungan. Menurut Ibn Al-Arabi : Munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi.[5] Sedangkan Al-Qaththan berkata, munasabah adalah menghubungkan antara jumlah dengan jumlah dalam suatu ayat, atau antara ayat dengan ayat pada sekumpulan ayat, atau antara surah dengan surah.[6]
Sebagai kesimpulannya, munasabah ialah: segi-segi hubungan atau persesuaian Al-Qur’an antara bagian demi bagian dalam berbagai bentuknya. Yang dimaksud dengan dengan segi hubungan atau persesuain ialah semua pertalian yang merujuk kepada makna-makna yang mempertalikan satu bagian dengan bagian yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan bagian demi bagian ialah semisal antara kata/kalimat dengan kata/kalimat, antar ayat dengan ayat, antar awal surat dengan akhir surat, antara surat yang satu dengan surat yang lain, dan begitulah seterusnya hingga benar-benar tergambar bahwa Al-Qur’an itu merupakan satu kesatiuan yang utuh dan menyeluruh (holistik).[7]
Ilmu  Munasabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan antara ayat/surat yang satu dengan ayat/surat yang lain. Karena itu sebagian pengarang menamakan ilmu ini dengan “Ilmu Tanasubil Ayati Was Suari,” yang artinya juga sama, yaitu ilmu yang menjelaskan persesuaian antara ayat/surat yang satu dengan ayat/surat yang lain.[8]
Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat atau beberapa surat Alqur’an. Baik hubungan itu berupa ikatan antara ‘am (umum) dan khusus, atau antara abstrak dan konkret, atau antara sebab-akibat, atau antara illat dan ma’lulnya, ataukah antara rasional dan irrasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiksi.
Pengetahuan mengenai korelasi dan hubungan antara ayat-ayat itu bukanlah hal yang tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan rasul), tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufasir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an, rahasia retorika, dan segi keterangannya mandiri. Apabila korelasi itu halus maknanya, harmonis konteksnya dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu bahasa arab, maka korelasi tersebut dapat diterima.
B.     Latar Belakang Munculnya Pemikiran Ilmu Munasabah
Lahirnya pengetahuan tentang korelasi (munasabah) ini berawal dari kenyataan bahwa bahwa sistematika Al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam Mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan fakta kronologis turunnya Al-Qur’an. Itulah sebab terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama-ulama salaf tentang urutan surat di dalam Al-Qur’an. Pendapat pertama bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW. Golongan kedua berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat setelah mereka bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat Al-Anfal dan Al-Bara’ah yang dipandang bersifat ijtihadi. Pendapat pertama didukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakar dalam satu pendapatnya, Abu Bakar Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani, dan Ibn Al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan Ibn Al-Faris. Pendapat ketiga dianut oleh Al-Baihaqi. Salah satu penyebab perbedaan ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang urutan suratnya bervariasi. Ada yang menyusunya berdasarkan kronologis turunnya, seperti Mushaf Ali yang dimulai dengan ayat iqra’, sedangkan ayat lainya disusun berdasarkan tempat turunya Makki kemudian Madani. Adapun Mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dengan surat Al-Baqarah, kemudian An-Nisa’, lalu surat Ali Imran.
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah korelasi Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama’ yang menekuni Ulum Al-Qur’an. Tokoh yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama yang melopori keberadaan Ilmu Munasabah ialah Abu Bakar An-Naisaburi, seorang alim bekebangsaan Irak yang sangat ahli dalam ilmu syariah dan kesustraan arab. Dalam berbagai kesempatan perbincangan ayat Al-Qur’an, An-Naisaburi konon selalu mempertanyakan perihal segi hubungan antara bagian demi bagian dan antara ayat demi ayat Al-Qur’an, serta selalu mempertayakan apa hikmah yang terjadi di balik rangkaian ayat yang seperti ini?[9] Namun kitab tafsir An-Naisaburi yang dimaksud sukar dijumpai sekarang. Sebagaimana dinyatakan Adh-Dhahabi, besarnya perhatian An-Naisaburi terhadap munasabah nampak dari ungkapan As-Suyuti yaitu;
“Setiap kali ia (An-Naisaburi) duduk di atas kursi apabila dibacakan Al-Qur’an kepadanya, beliau berkata: Mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat ini, dan apa rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini? Beliau mengkritik para ulama’ Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui”.
Tindakan An-Naisaburi merupakan kejutan dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap persesuaian, baik antar ayat maupun antar surat, terlepas dari segi tepat atau tidaknya. Satu hal yang jelas, beliau dipandang sebagai bapak Ilmu Munasabah. Dalam perkembangannya, Ilmu Munasabah meningkat menjadi salah satu cabang dari ilmu-ilmu Al-Qur’an. Ulama-ulama yang datang kemudian menyusun pembahasan ilmu munasabah secara khusus.[10]
Pengetahuan tentang munasabah ini sangat bemanfaat dalam memahami keserasian antar makna, mukjizat Al-Qur’an secara retorik, kejelasan keterangannya, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasanya. Hal ini sebagaimana dijelaskan firman Allah:

artinya: “Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terinci, diturunkan dari sisi Allah Yang Maha bijaksana dan Maha mengetahui.” (QS. Hud/11:1).[11]

C.    Macam-macam Ilmu Munasabah
munasabah dapat dilihat dari dua segi, yaitu sifat dan materinya.
1.      Dari Segi Sifat Munasabah
Ditinjau dari sifatnya munasabah di bagi menjadi dua yaitu : zhahir irtibath (persesuaian yang nyata) dan  khafy irtibath (persesuain yang tidak nyata).
a.       Zhahir Irtibath yaitu munasabah yang terjadi karena bagian Al-Qur’an yang satu dengan yang lain nampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain, maka deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu kadang-kadang ayat yang satu itu berupa penguat, penafsiran, penyambung, penjelasan pengecualian, atau pembatasan dari ayat yang lain, sehingga semua ayat-ayat tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang sama. Contohnya, persambungan antara ayat pertama surat al-Isra’:
Artinya : “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
Ayat tersebut menerangkan perjalanan isra’ Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya ayat kedua dari surat al-Isra’:
Artinya : “Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku”.
Ayat tersebut menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s. Persesuaian antara kedua ayat tersebut tampak jelas mengenai diutusnya kedua orang Nabi/Rasul tersebut.
b.   Khafy Irtibath adalah munasabah yang terjadi karena antara bagian-bagian Al-Quran tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan diantara keduanya, misalnya hubungan antar ayat 189 dan ayat 190 Suat Al-Baqarah :
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.
Artinya : “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
Ayat 189 di atas bulan sabit (hilal) adalah tanggal untuk tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji. Sedangkan ayat 190 menjelaskan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya atau hubungan yang satu dengan yang lainnya samar. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 mengenai soal waktu haji, sedangkan ayat 190 menjelaskan bahwa sebenarnya, waktu haji itu umat Islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji.[12]
1.      Dari Segi Materi Munasabah
Jika dilihat dari segi materinya, maka munasabah mempunyai beberapa macam, yaitu:
a.       Munasabah antara ayat dengan ayat yang berdampingan, seperti firman Allah

Artinya: “17). Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, 18). dan langit, bagaimana ia ditinggikan? 19). dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? 20). dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Dimana unta merupakan ciptaan yang dekat dengan kehidupan manusia. Disaat dimana unta memerlukan makanan berupa rumput, maka manusia menengadah kelangit berharap turunnya hujan yang dengannya tumbuh rumput-rumput, sementara itu, bumi dan gunung merupakan tempat menetap beristirahat dan mencari rezeki. Karena itu manakala mereka mendengar ayat-ayat di atas, maka akan menimbulkan kesan yang sangat mendalam bagi siapa yang mau merenunginya.
b.      Munasabah antara surah dengan surah lain
Terkadang munasabah itu terjadi antara satu surah dengan surah yang lain, misalnya hubungan antara surah Al-Quraisy dengan surah Al-Fil.

Artinya:”1). Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, 2). (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas, 3). Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). 4). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”.
Surat Quraisy  di atas disebut setelah Surat al-Fiil, yakni berbunyi :

Artinya: “1). Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? 2). Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? 3). dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, 4). yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, 5). lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)”.
Surat Quraisy di atas mengandung perintah menyembah Allah yang telah memberi makanan kepada kaum Quraisy untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan. Maksud ayat surat ini relevan dengan surat sebelumnya, yakni Surat al-Fiil, yang mengandung makna bahwa Allah telah menghancurkan pasukan Gajah yang ingin memerangi kaum Quraisy dengan menghancurkan Ka’bah. Artinya sebagai konsekwensi perlindungan Allah terhadap kaum Quraisy, maka mereka harus beriman kepada-Nya.
c.       Munasabah terjadi pula antara awal surah dengan akhir surah.
Munasabah ini arti bahwa awal suatu surah ini menjelaskan pokok pikiran tertentu lalu pokok pikiran ini dikuatkan kembali di akhir pikiran surah ini.  Misalnya tedapat pada surag Al-Hasyr. Mnasabah ini terletak dari sisi kesamaan kondisi, yaitu segala yang ada baik dilangit maupun di bumi menyucikan Allah Sang pencipta keduanya.[13]

Artinya: “Telah bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Artinya: “Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
d.      Munasabah antara pembuka surah dengan  penutup surat sebelumnya
Dalam firman Allah seperti dalam surat Al-Hadid sebagai pembuka berbunyi :
Artinya: “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Pembukaan ini sesuai dengan akhir surah Al-Waqiah, karena ayat pembuka surat al-Hadid ini yang mengandung penjelasan semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah tentunya sangat bersesuaian dengan penutup surat sebelumnya, yaitu Surat al-Waqi’ah, ayat 96, yang mengandung arti perintah tasbih, yakni berbunyi :

Artinya: Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.

D.    Manfaat Ilmu Munasabah
Ilmu Munasabah itu paling sedikit berfungsi sebagai ilmu pendukung atau penopang dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan tidak jarang dengan pendekatan Ilmu Munasabah penafsiran akan semakin menjadi jelas, mudah dan indah. Dan karenanya, ilmu Munasabah cukup memiliki peranan dalam mengingatkan kualitas penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an.[14]
Ada empat fungsi utama dari ilmu Munasabah, yaitu :
a.       Untuk menemukan arti yang tersirat dalam susunan dan urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surah-surah dalam Al-Qur’an.
b.      Untuk menjadikan bagian-bagian dalam Al-Qur’an saling berhubungan sehingga tampak menjadi satu rangkaian yang utuh dan integral.
c.       Ada ayat baru dapat dipahami apabila melihat ayat berikutnya,
d.      Untuk menjawab kritikan orang luar terhadap sistematika Al-Qur’an.[15]
Menurut Az-Zarkasyi diantara kegunaan ilmu Munasabah ialah dapat menjadikan bagian demi bagian pembicaraan menjadi tersusun demikian rupa laksana sebuah bangunan yang tampak kokoh lagi serasi antara bagian demi bagiannya.[16]
Dengan Ilmu Munasabah itu, dapat diketahui mutu dan kebalaghahan bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain, serta persesuaian ayat/ surahnya yang satu dari yang lain, sehingga lebih meyakinkan kemukjizatannya, bahwa Al-Qur’an itu benar-benar wahyu dari Allah SWT, dan bukan buatan Nabi Muhammad SAW.

E.     Pendapat Ulama Tentang Munasabah
Ahli-ahli Al-Qur’an sangat antusias dalam memberikan penghargaan terhadap keberadaan ilmu Munasabah, diantaranya mereka adalah imam Badrudin Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi. Menurutnya “ Al-munasabah ialah ilmu yang sangat mulia (‘ilmun syarif), dengan ilmu ini bisa diukur kemampuan (kecerdasan) seseorang, dan dengan ilmu ini pula bisa diketahi kadar pengetahuan seseorang dalam mengemukaakan pendapat/pendiriannya.”[17]
Tokoh lain yang disebut-sebut juga turut berjasa dalam perkembangan ilmu munasabah selain Abu Bakr An-Naisaburi ialah al-iman Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H), pengarang kitab mafatihul-Ghaib fi-Tafsiril Qur’an (Kunci-kunci kegaiban dalam menafsirkan Al-Qur’an); dan Al-Qadhi Abu Bakr Ibn Al-Arabi (468-543 H) yang antara lain menulis kitab Sirajul-Muridin wa-Sirajul-Muhtadin (Lentera Orang-Orang yang Berkehendak dan Lentera Orang-orang yang Meraih Petunjuk). Yang disebutkan pertama, ar-Razi menyatakan bahwa kebanyakan pembendaharaan Al-Qur’an  justru terletak pada rangkaian tata urutan dan pertaliannya. Sedangkan Ibnul Arabi melukiskan hubungan-hubungan ayat-ayat Al-Qur’an antara yang sebagian dengan sebagian lainnya laksana satu kalimat yang sangat maknanya dan tersusun (rapi) penjelasannya.[18]
Tidak semua ulama setuju untuk menempatkan Ilmu Munasabah sebagai syarat mutlak dalam dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Izzaduddin bin Abdus-Salam misalnya, beliau memang mengakui keberadaan munasabah sebagai ilmu yang bagus (ilmu hasan), tetapi pada saat yang bersamaan ia juga mengingatkan agar penggunaanya dibatasi dalam hal yang objek (pembicaraanya) benar-benar memilki keterkaitan sejak awal hingga akhir. Tetapi jika rangkain pembicaraan itu menunjukkan pada sebab-sebab yang berlainan dan tidak konsisten apa yang menjadi objek pembicaraannya sejak awal hingga akhir, maka ilmu munasabah tidaklah perlu dipaksakan penggunaannya.[19]
Manna’ al-Qaththan dan Shubhi As-Shalih merupakan dua orang yang mewakili ahli ilmu-lmu Al-Quran kontemporer yang juga tidak menyetujui pemaksaan Ilmu Munasabah untuk seluruh ayat-ayat Al-Quran. Maka dari itu untuk melakukan pembacaan hoilstik terhadap Al-Quran tersebut membutuhkan metodologi dan pendekatan yang memadai. Metodologi dan pendekatan yang telah dipakai oleh para mufassir klasik menyisakan  masalah penafsiran, yaitu belum bisa menyuguhkan pemahaman utuh, komprehensif, dan holistik. Ilmu Munasabah sebenarnya memberi langkah strategis untuk melakukan pembacaan dengan cara baru asalkan metode yang digunakan untuk melakukan “perajutan” antarsurah dan antarayat adalah tepat. Untuk itu perlu dipikirkan pengginaan metode dan pendekatan hermeneutika dan antropologi filosogis dalam Ilmu Munasabah.[20]

BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Dari paparan singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ilmu Munasabah adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat keserasian (korelasi) antara satu bagian dengan bagian yang lain. Ilmu ini sepenuhnya bersifat ijtihadi, bukan tauqifi. Ada macam-macam munasabah yang terdapat dalam Al-Qur’an dimana ditinjau dari sifatnya Munasabah di bagi menjadi dua yaitu : zhahir irtibath (persesuaian yang nyata) dan  khafy irtibath (persesuain yang tidak nyata). Jika dilihat dari segi materinya, maka munasabah mempunyai beberapa macam, yaitu:
a.       munasabah antara surah dengan surah lain,
b.      munasabah antara ayat dengan ayat yang letaknya berdampingan,
c.       munasabah antara awal surah dengan akhir surah.
d.      munasabah antara
Faedah dari Ilmu Munasabah ialah kita dapat mengetahui keindahan dan tingginya sastra yang ada di dalam Al-Qur’an, sehingga kita yakin bahwa Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu dari Allah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, dan bukan buatan Nabi.
Ahli-ahli Al-Qur’an sangat antusias dalam memberikan penghargaan terhadap keberadaan ilmu Munasabah, diantaranya mereka adalah imam Badrudin Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi. Menurutnya “ Al-munasabah ialah ilmu yang sangat mulia (‘ilmun syarif), dengan ilmu ini bisa diukur kemampuan (kecerdasan) seseorang, dan dengan ilmu ini pula bisa diketahi kadar pengetahuan seseorang dalam mengemukaakan pendapat/pendiriannya.” Tetapi tidak semua ulama setuju untuk menempatkan ilmu  sebagai syarat mutlak dalam dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Izzaduddin bin Abdus-Salam sebagai misalnya.
B.     Saran
Demikian makalah ini kami buat. Semoga apa yang kami diskusikan dapat menambah rasa syukur kita kepada Allah dan menambah pengetahuan kami. Adapun dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan yang masih perlu kami sempurnakan. Untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini, sekian kami ucapan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Abu. 2002. Ulumul Quran, Pekanbaru : AMZAH.
Djalal, Abdul. 2008. Ulumul Qur’an, Surabaya : Dunia Ilmu.
Hermawan, Acep. 2011. ‘Ulumul Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu. Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA
Ichwan, Mohammad Nor. 2008. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Semarang : RASAIL         Media Group.
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Alqur’an, Bandung : Mizan.
Suma,  Muhammad Amin. 2013. Ulumul Qur’an, Jakarta : Raja Grafindo Persada.







Tertib Surah dan Ayat
Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam Al-Quran adalah taukifi , artinya penetapan dari Rasul. Sementara tertib surah dalam Al-Quran masih terjadi perbedaan pendapat.
Al-Qhurtubi meriwayatkan pernyataan Ibn Ath-Thibb bahwa tertib surat Al-Quran di perselisihkan.[7] Dalam hal ini ada tiga golongan:
A.    Tertib surat berdasarkan ijtihad para sahabat. Pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama seperti Imam Malik, Al-Qhadi Abu Bakr At-Thibb. Beberapa alasan mereka adalah :
1)      Tidak ada petunjuk langsung dari Rasulullah tentang tertib surah dalam Al-Quran.
2)      Sahabat pernah mendengar Rasul membaca Al-Quran berbeda dengan susunan surah sekarang, hal ini di buktikan dengan munculnya empat buahmushaf dari kalangan sahabat yang berbeda susunannya antara yang satu dengan yang lainnya. Yaitu mushaf Ali, mushaf ‘Ubay, mushaf Ibn Mas’ud, mushaf Ibnu Abbas.
3)      Mushaf yang ada pada catatan sahabat berbeda-beda ini menunjukkan bahwa susunan surah tidak ada petunjuk resmi dari Rasul.[8]
4)      Alasan lain adalah riwayat Abu Muhammad Al-Quraysi bahwa Umar memerintahkan agar mengurutkan surat At-Tiwal. Akan tetapi, riwayat ini diberi catatan kaki oleh As-Sayuthi agar diteliti kembali.[9]
B.     Susunan surat berdasarkan petunjuk Rasulullah Saw (taukifi). Di antara ulama yang  yang berpendapat demikian adalah Al-Qadhi Abu Bakr Al-Anbari, Ibn Hajar, Al-Zarkasyi dan As-Sayuthi. Alasan yang dikemukakan sebagai berikut :
1)      Ijma’ sahabat terhadap mushaf Utsman. Ijma’ ini tak akan mungkin terjadi kecuali kalau tertib itu tauqifiy, seandainya bersifat ijtihadiy, niscaya pemilik mushaf lainnya akan berpegang teguh pada mushafnya.[10]
2)      Hadist tentang hijzb Al-Quran yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Dawud dari Huzaifah As-Syaqafi[11]. Dengan meneliti pembagian yang dikemukakan hadis tersebut didapatkan pembagian Al-Quran dalam tujuh bagian yang seimbang.
3)      Hadis Ibn Abbas tentang alasan penyatuan surat At-Taubah dan Al-Anfal. Ibn Hajar menyatakan bahwa kebijakan tersebut menunjukkan bahwa susunan Al-Quran taukifi, hanya karna Nabi tidak menjelaskan kepada Usman, maka surat At-Taubat disatukan dengan surah Al-Anfal. Selanjutnya Ibn Hajar menyatakan dalam mushaf Ibn Mas’ud  terdapatbasmalah di  awal surat At-Taubah, tetapi tidak diambil oleh lembaga.[12]
4)      Nabi sering membaca Al-Quran dengan tertib surat yang ada pada sekarang.[13]
C.     Tertib surat sebagian taukifi dan sebagian ijtihadiy. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Baihaqi. Menurutnya: “seluruh surat susunannya berdasarkantauqif  Rasul kecuali surat Baraah dan Al-Anfal”.[14] Al-Qhadi Abu Muhammad Ibn Athiyah termasuk golongan ini.[15] Dan alasan lainnya:
1)      Ternyata tidak semua nama-nama surah itu diberikan oleh Allah, tapi sebagiannya diberikan oleh Nabi dan bahkan ada yang diberikan oleh para sahabat. Adapun yang diberikan oleh Allah adalah misalnya surat Al-Baqarah, At-Taubah, Ali Imran dll. Nama surah yang diberikan oleh Nabi adalah yang Nabi sendiri menyebutkan surah tersebut, seperti surah Thaha dan Yasin. Oleh para sahabat seperti Al-Baro’ah, yaitu surat yang di awali dengan lafal basmalah.
[1] Qhuraish Shihab, membumikan Al-Quran, Penerbit Mizan, hal. 21
[2] ‘Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, Beirut, hal. 50
[3] Prof.Dr.H.Rahmat syafe’I MA, Pengantar Ilmu Tafsir, (pustaka setia) hlm. 37
[4] M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung,Mizan,cet IV, 1996) hlm. 319
[5] Drs, Abu Anwar,Mag ;Ulumul Quran Sebuah Pengantar; Amzah: hlm 61
[6] M.Quraish Shihab, metode penelitian tafsir, (makalah)
[7] Az-Zarqani; Op, Cit. hlm. 250-1
[8] Drs. Abu Anwar, Mag; Ulumul Quran sebuah Pengantar; Amzah; hlm. 63
[9] Prof.DR. H.Ahmad Syafei MA. Tafsir Sebuah Pengantar; Pustaka Setia: hlm 17
[10] Al-Qhurtubi, Al-Jami’u… I. hlm; 59-60
[11]  AS-Syuyuti, Op. cit. hlm. 63
[12] Az-Zarqani, Op, cit., hlm. 347
[13] Drs. Abu Anwar, Mag; Ulumul Quran sebuah Pengantar; Amzah; hlm. 62
[14] As-Syuyuti, Op. cit., hlm. 65
[15] Az-Zarkayi, Op. cit., hlm. 260




[1] ) Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Quran, 2002, AMZAH cet. I: Pekan Baru, hlm. 65
[2] ) Ibid ; hlm. 65
[3]) M. Quraish Shihab, Wawasan Alqur’an, 1996, Mizan cet IV : Bandung, hlm. 319
4) Ulumul Quran, hlm. 154
5) Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, ttp., 1973, hlm.97
[6]) Ibid., hlm. 97
7) Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, 2013, Raja Grafindo Persada : Jakarta hlm. 237
7) Ulumul Qur’an hlm. 154
[9] ) Az-Zarkasyi, opcit., hlm. 36, As-Suyuthi, opcit., hlm 108.
[10])Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi al-Qur’an, (Surabaya:IAIN Sunan Ampel Press, 2011), hlm. 218-219.
[11] ) Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, RaSAIL Media Group:Semarang, hlm. 145.
[12]) Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), cet. III, hlm. 155-157.
[13]) Acep Hermawan, Ulumul QuranIlmu untuk Memahami Wahyu, 2011, PT REMAJA ROSDAKARYA:BANDUNG, hlm. 129
14) Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, 2013, RajaGrafindo Persada : Jakarta, hlm.36
15) Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, 2002, AMZAH : Pekanbaru, hlm.76
16) Muhammad Amin Suma, op.cit, hlm.256
[17]) Az-Zarkasyi, opcit., hlm 35.
[18]) Ibid., hlm 253.
[19]) Ibid,. hlm. 37, As-Suyuthi, lo.cit
[20]) Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu, 2011, Bandung:PT REMAJA ROSDAKARYA, hlm. 124.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar