Sabtu, 09 April 2016

PENGERTIAN MAQAMAT DAN AHWAL DALAM TASAWUF

PENGERTIAN MAQAMAT DAN AHWAL DALAM TASAWUF
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs. Soeparyo, M.Ag
Disusun oleh :
Qurotul ain                          (1503056076)
Madinatul Munawaroh       (1503056094)
Wahid Hasyim                    (1503056099)
Pendidikan Matematika – 1C
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015










BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. Banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan) dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah SWT.
Lingkup ‘irfani tidak dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi  melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan atau station) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju tuhan.
Namun perlu dicatat, maqam dan hal tidak dapat dipisahkan, keterkaitan antar keduaya dapat dilihat alam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjunya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian maqamat?
2.      Apa pengertian ahwal?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari maqamat
2.      Untuk mengetahui pengertian dari ahwal







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Maqamat
Maqam (jama’ : maqamat) adalah hasil kesungguhan dan perjuangan terus menerus, dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik lagi.[1]
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seseorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.[2]
Tentang jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitab al-Ta’arruf lil Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara itu, Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada itu, Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang telah mereka sepakati, yatu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah terakhir (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat dan terkadang meyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan) untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan adalah maqamat yang telah disepakati oleh mereka.[3]
Tahapan-Tahapan Maqamat
1.      Taubat
Taubat berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti kembali dan penyesalan. Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon segala ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Dalam  mengartikan taubat, para sufi berbeda pendapat, tetapi secara garis besarnya dapat dibedakan kepada tiga kategori, yaitu ; pertama, taubat dalam pengertian meninggalkan segala kemaksiatan dan melakukan kebjikan secara terus menerus. Kedua, taubat adalah keluar dari kejahatan dan memasuki kebaikan karena takut pada murka Allah. Ketiga, taubat adalah terus menerus bertaubat walaupun sudah tidak pernah lagi berbuat dosa, yang disebut taubat ‘aladdawam atau taubat abadi. Namun, menurut al-Mishri, taubat itu ada dua macam, yakni taubat orang awam, ialah taubat dari salah dan dosa, taubat khawas, yaitu taubat dari kelalaian dan kealpaan.
Taubat adalah langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang mulai memasuki sufi yang ingin berada sedekat mugkin dengan Tuhan. Sebab, Rasulullah sendiri yang bersih dari dosa, masih memohon ampun dan bertaubat apalagi seorang manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa.[4]
2.      Zuhud
Menurut definisi bahasa, kata zuhud dapat dirunut berdasarkan lafadz “zahida fiihi wa’anhu, zuhdan wa zahaadatan”,artinya berpaling dari sesuatu, meninggalkanya karena kehinaannya atau karena kekesalan kepadanya. Lafadz zahuda fi asy-syai artinya tidak membutukannya, jika dikatakan zahida fi addunyaa artinya meningalkan materi duniawi yang halal karena takut hisab-Nya dan meninggalkan yang haram dari dunia itu karena takut siksa-Nya.
Untuk memahami makna zuhud secara terminology, berikut pengertian zuhud menurut beberapa tokoh:
Ali Bin Abi Thalib menjelaskan bahwa “zuhud” tersimpul pada kalimat dalam al Qur’an, Supaya kamu tidak bersedih hati karena apa yang lepas dari tanganmu dan tidak bangga dengan apa yang diberikan kepadamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang angkuh dan sombong (QS. Al Hadiid [57]:23). Siapa yang tidak sedih terhadap sesuatu yang luput darinya dan tidak bersuka cita atas apa yang dimilikinya, ia adalah orang zuhud.
Dengan demikian, menurut ayat tersebut diatas, orang boleh sedih dan boleh juga gembira, asalkan tidak berlebih-lebihan. Al-Ghazali menyatakan bahwa zuhud secara keseluruhan berarti benci kepada yang disukai dan berpaling kepada yang lebih disukai. Orang yang tidak menginginkan sesuatu selain Allah hingga surgapun diabaikannya (Al-Ghazali,1992:207).
Ibnul-Jauzy mengartikan zuhud sebagai pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu lain yang lebih baik darinya, selanjutnya dikatakan pula zuhud ialah meninggalkan dunia karena didasarkan pengetahuan tentang kehinaanya jika dibandingkan nilai akhirat (Hanbal,2000: xv). Hal ini senada dengan definisi zuhud al Taftazani (Taftazani,1970:59)
Annemarie Schimmel mendefinisikan zuhud dalam tiga kata kunci yaitu meninggalkan dari segala sesuatu beribadah dan mentaati segala perintah agama, berhenti dari urusan dunia, dan pada akhirnya mengalihkan hatinya pada Allah dengan harapan pahala surga dan terhindar dari neraka.
Zuhud tidak identik dengan kehidupan miskin. Perilaku zuhud ialah sudi miskin maupun jadi milyuner tapi harta tidak menjadi penghalang dalam mendekati diri kepada Tuhan. Juga tidak berarti ekslusif dari dunia, karena islam tidak tidak mengajarkan agar manusia bermalas-malasan, akan tetapi tetap kerja keras, dan menjasikan dunia sebagai sawah ladang untuk akhirat.
Dengan demikian maka zuhud dapat diatikan sebagai sikap mental untuk menjauhkan diri dari kehidupan di dunia demi akhirat, dengan kata lain menyeimbangkan antara aspek-aspek lahiriah dan batiniah, jasmaniah,dan rohaniah.
Pendapat yang bervariasi dalam konotasi pengertian zuhud itu pada hakikatnya merupaka refleksi dari beratnya perjuangan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Seorang calon sufi harus rela melepaskan segala macam kenikmatan dan keindahan hidup yang bersifat materi. Ia harus menyediakan dirinya untuk hidup dalam keterbatasan dan serba kekurangan. Ia harus tabah menyambut pandangan masyarakat sekita yang menilai status seseorang dari segi materi. Ia harus membebaskan diri dari ikatan materi agar ia bebas leluasa mengkhususkan diri dalam beribadah kepada Allah. Kelelapan tidur di waktu malam harus diganti dengan zikir dan sujud kehadirat llahi. Titik sentrum ingatan dan kegiatan hanya kepada Allah. Ini tidak dapat dilakukan dengan sempurna apabila jiwa dan perhatian masih terbagi-bagi. Maka tiada jalan lain, lepaskan dan zuhud kepada dunia.
3.      Wara’
Pengertian dasar dari kata wara’ adalah menghindari apa saja yang tidak baik. Tetapi orang sufi mempunyai penafsiran tersendiri, dimana mereka mengartikan wara’ itu meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian maupun persoalan.
          Menurut Ibrahim bin Adham, wara’ adalah meninggalkan setiap yang syubhat dan meninggalkan setiap al yang tidak berguna, atau meninggalkan barang yang melebihi kebutuhan (fudlul)
          Al-Muhasibi menjelaskan, bahwa wara’ adalah menghisab setiap hal yang dibenci oleh Allah, baik tindakan fisik,hati atau anggota badan, dan menjauhi dari menyia-nyiakan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah, baik dalam hati maupun anggota badan, dan hal ini hanya dilakukan dengan muhasabah. Dengan demikian, wara’ adalah mensucikan hati dan berbagai anggota badan. Sedangkan dalam Kamus Tasawuf, dinyatakan bahwa wara’ adalah menjaga diri dari berbuat dosa, atau berbuat maksiat sekecil apapun.
          Orang sufi yang mengisi hidup dan kehidupannya dengan selalu dalam keadaan canggih dalam kesucian, indah dalam kebaikan, tentu saja selalu waspada dalam berbuat. Mereka tidak mau mengatakan sesuatu yang tidak jelas statusnya, apalagi yang jelas-jelas haram. Sikap hidup yang seperti itulah yang disebut wara’.[5]
4.      Faqr
Secara harfiah faqr biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi, faqr adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada kita.[6] Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.

5.      Sabar
Sabar, secara harfiah berarti tabah hati. Secara terminology, sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berda dalam kefakiran. Berdasarkan pengertian diatas, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap, dan pengendalian emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang sungguh-sungguh.[7]
6.      Tawakal
Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri kepada Allah (Sholihin dan Anwar,2002: 232). Menurut Amin An-Najar, tawakal adalah bersandar kepda Allah SWT dalam segala hal.[8] Secara umum pengertian tawakal adalah pasrah dan mempercayakan secara bulat kepada Allah setelah melaksanakan suatu rencana dan usaha.
          Akan tetapi bagi kaum sufi pengertian tawakal itu tidak cukup kalau hanya sekedar menyerahkan diri seperti itu. Sebagaimana biasanya, dalam mengartikan ajaran agama, mereka bersikap lebh jauh dan mendalam. Mereka mempunyai citra tersendiri. Ini berarti bahwa dalam segala hal baik sikap maupun perbutan harus diterima dengan tulus.adapun yang terjadi diluar pinta dan usaha, tetapi semuanya itu datangnya dari Allah. Menyerah bulat kepada kuasa Allah. Jangan meminta, jangan menolak dan jangan menduga-duga. Nasib apapun yang diterima adalah karunia Allah. Sikap seperti inilah yang dicari dan diusahakan sufi agar jiwa mereka tenang, berani dan ikhlas dalam hidupnya walau apapun yang dihadapi atau dialaminya.[9]
7.      Ridla
Ridla secara etimologis berarti rela, tidak marah (luwis ma’luf, :256). Menurut Al-Hujwiri, ridla terbagi menjadi dua, yaitu ridla Allah terhadap hambanya, ridla hamba terhadap Allah SWT. Ridla Allah terhadap hambanya, adalah dengan cara memberikan pahala, nikmat, dan karamah-Nya, sedangkan ridla hamba kepada Allah SWT adalah melaksanakan segala perintah-Nya dan tunduk atas segala hokum-Nya (Al-Hujwiri,1974: 404-407).[10]
Kata al-Junaid, arti ridla meninggalkan usaha (tark iktiari) sedangkan Dzu al-Nun al-Mishri mengatakan, ridha itu ialah menerima tawakal dengan kerelaan hati. Menurut al-Nun, tanda-tanda orang yang sudah ridha itu ada tiga yakni: mempercayakan hasil usaha sebelum terjadi ketentuan, lenyapnya resah gelisah setelah terjadi ketentuan, dan cinta yang bergelora dikala turunnya malapetaka.
Pengertian ridla yang demikian merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi.
Oleh karena itu, sikap mental ridla ini sudah mendekati sifat kesempurnaan (rjal al-kamal), maka dikalangan sufi sendiri berbeda pendapat, apakah tergolong maqamat atau ahwal. Menurut Qomar kailani dalam fi al-Tasawuf al-islami, sebagian besar sufi berpendapat, bahwa ridla adalah maqom terakhir dari perjalana salk. Sebab, datangnya sikap mental ridla itu adalah berkat perjuangan yang dilakukan secara berantai. Akan tetapi bagi sufi yang mengakui adanya ittihad, maqom itu termasuk mahabbah, ma’rifat dan kemudian al-fana dan berlanut dengan ittihad.[11]

B.     Pengertian Ahwal
Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state). Secara terminology Ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati.[12] Maksudnya, hal adalah kondisi sikap yang diperoleh seseorang yang datangnya atas karunia Allah SWT kepada yang dikehendaki. , baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih[13][19]. Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya. Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.
Tahapan – tahapan Ahwal
1.              Muraqabah
Arti Muraqabah ialah merasa bahwa Allah SWT itu selalu mengawasi.[14] yang dimaksud muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Sehingga segala daya pikir dan imajinasinya tertuju pada satu focus kesadaran tentang dirinya.
Muraqabah merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada dasarnya segala perilaku peribadatan adalah dalam rangka muqarabah atau mendekatkan diri kepada Allah.
Al-Qusyairi menyebutkan bahwa seorang bisa sampai pada keadaan muraqabah, jika ia telah sepenuhnya melakukan perhitungan atau analitis terhadap perilakunya di masa lalu dan melakukan perubahan-perubahan menuju perilaku yang lebih baik.
Hal penting yang harus ditunjukkan dalam muraqabah ini adalah konsistensi diri terhadap perilaku yang baik atau seharusnya dilakukan. Konsistensui ini dapat diupayakan dengan senantiasa mawas diri, sehingga tidak terjerumus atau terlena terhadap keinginan-keinginan sesaat. Seorang yang muraqabah berarti menjaga diri untuk senantiasa melakukan yang terbaik sesuai dengan kodrat dan eksistensinya. Oleh karenanya, seorang yang melakukan muraqabah dibutuhkan disiplin yang tinggi.
Kedisiplinan inilah yang akan menghantarkan seseorang menuju keadaan yang lebih baik dan menuju kebvahagiaan yang hakiki dan lebih abadi. Sementara ketidakdisiplinan ditunjukkan dengan sikap sembrono serta mudah terlena dengan kenikmatan-kenikmatan duniawi yang nisbi dan fana, yang semua itu akan dapat mendorongnya menuju kejatuhan pada jurang kerendahan dan kehinaan.[15]
2.         Mahabbah
       Secara etimologis, mahabbah mengandung beberapa arti, antara lain; bersih, putih, tinggi dan jelas.[16] Mahabbah (cinta), mengandung arti keteguhan dan kemantapan. Seorang yang sedang dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan beralih atau berpaling pada sesuatu yang lain.

3.         Khauf
Khauf menurut bahasa berarti takut, khawatir, atau tidak merasa aman.[17] Al-Qusyairi mengemukakan bahwa khauf (takut) terkait dengan kejadian yang akan datang. Yakni akibat datangnya sesuatu yang dibenci dan sinarnya sesuatu yang dicintai. Takut kepada Allah berarti takut terhadap hokum-hukumnya baik didunia maupun di akhirat. Hal ini sebagaimana firman Allah, yang artinya “maka takutlah kepada-Ku jika kamu orang-orang yang beriman”. Dalam ayat lain juga diungkapkan, yang artinya “mereka menyeru kepada Tuhan dengan penuh rasa takut dan harap” 
Menurut al-Wasithi, perasaan takut (khauf) dan harap (raja’) merupakan pengendali bagi diri seseorang dari perbuatan yang sia-sia. Karena ia akan senantiasa menjaga diri untuk selalu melakukan yang terbaik dengan tanpa ada keraguan, ia merasa yakin, bahwa usaha yang baik akan menghasilkan kebaikan pula. Adapun puncak dari perasaan takut adalah sebuah kesadaran bahwa Allah menguasai wujud manusia yang paling dalam, yang pada akhirnya perasaan takut dan harap itu akan hilang dengan sendirinya, karena takut dan harap hanyalah akibat dari rasa inderawi yang bersifat manusiawi.[18]
4.         Raja’
Sebagaimana halnya khauf, raja’ (harapan adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang.
Ibnu Khubaiq membagi harapan menjadi tiga: 1) manusia yang melakukan amal kebaikan,dengan harapan amal baiknya akan diterima oleh Allah, 2) manusaia yang melakukan amal buruk, kemudian bertaubat, dengan harapan akan mendapatkan ampunan dari Allah, 3) Orang yang menipu diri dengan terus-menerus melakukan kesalahan dengan mengharapkan ampunan.[19]
5.         Shauq
Rindu(shauq) merupakan luapan perasaan seorang individu yang mengharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang dicintai.
Secara psikologis, seseorang yang dilanda perasaan rindu, adalah mereka yang segala aktifitas baik perilaku maupun gagasannya tertuju pada satu titik tertentu, sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki. Dan tidak akan tergoyahkan dengan segala keinginan yang semu yang dapat mengalihkan perhatian dan konsentrasinya. Sehingga ia akan senantiasa menjaga dari segala hal yang tidak seharusnya ia lakukan atau ia pikirkan. Ia akan melakukan segala tindakan terbaiknya dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa rasa keraguan ataupun kecemasan.[20]
6.         Uns
Perasaan suka cita (Uns) merupakan kondisi kejiwaan, dimana seseorang merasakan kedekatan dengan Tuhan. Kondisi kejiwaan seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika merasakan kedekatan dengan Allah. Yang mana, hati dan perasaanya diliputi oleh cinta, kelembutan, keindahan serta kasih sayang yang luar biasa, sehingga sangat sulit dilukiskan.
Keadaan semacam ini dapat dialami oleh seorang sufi dalam situasi tertentu, misalnya ketika menikmati keindahan alam, keluasan bacaan, atau merdunya alunan musik, yang mana dalam situasi tersebut seorang sufi benar-benar merasakan keindahan Allah. Tentu saja antara individu satu dengan individu yang lain memiliki pengalamanya sendiri-sendiri dengan muatan dan rasa yang bersifat pribadi, sehingga tidak dapat digambarkan dengan jelas oleh orang lain.[21]
7.         Tuma’ninah
Tuma’ninah adalah keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang dapat mempengaruhinya. Hal ini didasarkan pada firman Allah, yang artinya “Orang-orang yang beriman dan tenteram hatinya dengan mengingat Allah, ingatlah bahwa dengan mengingat Allah hati bias menjadi tenteram” juga fiman Allah, yang artinya: “wahai jiwa yang tenang, kembalilah kehadirat Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai-Nya. Masuklah dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surgaKu
Ibnu Qoyyim membagi tumalninah dalam tiga tingkatan: Pertama, ketenangan hati dengan mengingat Allah, yakni ketenteraman seorang yang takut (kepada Allah) pada raja’, dan ketentraman orang yang tertimpa bala pada karunia. Kedua, Ketentraman jiwa pada Kashf, ketentraman perindu pada batas penbantian, dan ketentraman perpisahan pada pertemuan. Ketiga, ketentraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan kasihnya, ketentraman pertemuan pada baqa’ (keabadian), dan ketentraman maqam pada cahaya keabadian. Ketiga tingkatan ini berkaitan dengan konsep fana’ dan baqa’.[22]
8.         Musyahadah
Penjelasan mengenai musyahadah sering dikaitkan dengan uraian tentang muhadharah dan mukasyafah. Muhadharah berarti kehadiran kalbu dan mukasyafah adalah kehadiran kalbu dengan sifat nyatanya, sedangkan musyahadah adalah kehadiran al-Haqq dengan tanpa dibayangkan.[23]
9.         Yaqin
Al-Yaqin dalam terminology sufi adalah merupakan perpaduan antara ‘ilmu al-yaqin, ‘ain al-yaqin dan haqq al-yaqin. ‘ilm al-yaqin dalam terminology para ulama adalah sesuatu yang ada dengan syarat adanya bukti. Sedangkan ‘ain al-Yaqin, sesuatu ada dengan disertai kejelasan. Haqq al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang menyertai kenyataannya.
Jelasnya, al-yaqin adalah sebuah kepercayaan yang kuat dan tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki, karena penyaksiannya dengan segenap jiwanya dan dirasakan oleh seluruh ekspresinya, serta disaksikan oleh segenap eksistensinya.[24]





















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Disamping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang amba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal shaleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
B.     Saran
Untuk memahami ilmu Tasawuf khususnya dalam Maqamat dan Ahwal, hendaknya tidak hanya tertumpu pada satu literature saja. Oleh karena itu makalah ini semoga menjadi pemacu penyusun berikutnya pada umumnya untuk lebih mendalami ilmu tasawuf.


















DAFTAR PUSTAKA

Syukur Amin, Sufi Healing, Semarang:IAIN Walisongo,2010
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf,  Surabaya:IAIN SA Press,2011
Nata Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta:Rajawali Pers,2011
Syukur Amin,Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2003
Muhammad Hasyim, Dialog antara tasawuf dan psikologi, Yogyakarta:Pustaka Belajar,2002
Siregar Rivay, Tasawuf,Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2002





[1] Amin Syukur,Sufi Healing(Semarang:IAIN Walisongo,2010), hal.56
[2] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf,(Surabaya:IAIN SA Press,2011),hal.243
[3] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,(Jakarta:Rajawali Pers,2011),hal 193-194
[4] Rivay Siregar, Tasawuf,(Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2002),hal 115-116
[5] Rivay Siregar, Tasawuf,(Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2002),hal 118
[6] Amin Syukur,Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2003),hal.30
[7] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf,(Surabaya:IAIN SA Press,2011),hal.250-251
[8] Amin Syukur, Op.cit, hal.73
[9] Rivay Siregar, Op.cit, hal.121-122
[10] Amin Syukur, Op.cit, hal 71
[11] Rivay Siregar, Op.cit, hal.122-123
[12] Hasyim Muhammad, Dialog antara tasawuf dan psikologi (Yogyakarta:Pustaka Belajar,2002),hal 26-27

[14] Amin Syukur, Op.cit,hal 78
[15] Hasyim Muhammad, op.cit,hal 47-48
[16] Amin Syukur, Op.cit, hal 75
[17] Amin Syakur, Op.cit, hal 74
[18] Hasyim Muhammad, Op.cit, hal 49-50
[19] Ibid.,hal 51-53
[20] Hasyim Muhammad, Op.cit, hal 53
[21] Hasyim Muhammad,Op.cit, hal 53-54
[22] Ibid., hal 54-55
[23] Ibid., hal 56
[24] Hasyim Muhammad,Op.cit ,hal 57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar