PENGERTIAN MAQAMAT DAN AHWAL DALAM TASAWUF
Disusun
untuk memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen
Pengampu : Drs. Soeparyo, M.Ag

Disusun
oleh :
Qurotul ain (1503056076)
Madinatul Munawaroh (1503056094)
Wahid Hasyim
(1503056099)
Pendidikan
Matematika – 1C
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam islam yang memusatkan
perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan
akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara
melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. Banyak pengertian
tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian
tasawuf secara menyeluruh.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan para sufi dengan
berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat)
menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu
secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan)
dan hal (keadaan) dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah SWT.
Lingkup ‘irfani tidak dicapai dengan mudah atau secara spontanitas,
tetapi melalui proses yang panjang.
Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan atau station) dan ahwal
(jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan
menuju tuhan.
Namun perlu dicatat, maqam dan hal tidak dapat dipisahkan,
keterkaitan antar keduaya dapat dilihat alam kenyataan bahwa maqam menjadi
prasyarat menuju tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang
telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki
maqam-maqam selanjunya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian maqamat?
2.
Apa pengertian ahwal?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian dari maqamat
2.
Untuk mengetahui pengertian dari ahwal
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maqamat
Maqam (jama’ : maqamat) adalah hasil kesungguhan dan
perjuangan terus menerus, dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik
lagi.[1]
Secara
harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak
atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages
yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu tasawuf, maqamat berarti kedudukan
hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui
riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan
panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seseorang sufi untuk berada
sedekat mungkin dengan Allah SWT. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha
yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh
dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya
sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.[2]
Tentang jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang
sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya.
Muhammad al-Kalabazy dalam kitab al-Ta’arruf lil Mazhab ahl al-Tasawwuf,
sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya
ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’,
al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara
itu, Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat
hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan
al-ridla.
Dalam pada itu, Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ulum al-Din mengatakan
bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud,
al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan
tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda,
namun ada maqamat yang telah mereka sepakati, yatu al-taubah, al-zuhud, al-wara’,
al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah
dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga
istilah terakhir (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli
tasawuf menyebutnya sebagai maqamat dan terkadang meyebutnya sebagai hal dan
ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan) untuk itu dalam
uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan adalah maqamat yang telah disepakati oleh
mereka.[3]
Tahapan-Tahapan
Maqamat
1. Taubat
Taubat berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang
berarti kembali dan penyesalan. Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi
adalah memohon segala ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan
berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut
dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Dalam mengartikan taubat,
para sufi berbeda pendapat, tetapi secara garis besarnya dapat dibedakan kepada
tiga kategori, yaitu ; pertama, taubat dalam pengertian meninggalkan segala
kemaksiatan dan melakukan kebjikan secara terus menerus. Kedua, taubat adalah
keluar dari kejahatan dan memasuki kebaikan karena takut pada murka Allah.
Ketiga, taubat adalah terus menerus bertaubat walaupun sudah tidak pernah lagi
berbuat dosa, yang disebut taubat ‘aladdawam atau taubat abadi. Namun,
menurut al-Mishri, taubat itu ada dua macam, yakni taubat orang awam, ialah
taubat dari salah dan dosa, taubat khawas, yaitu taubat dari kelalaian dan
kealpaan.
Taubat adalah langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang
yang mulai memasuki sufi yang ingin berada sedekat mugkin dengan Tuhan. Sebab,
Rasulullah sendiri yang bersih dari dosa, masih memohon ampun dan bertaubat
apalagi seorang manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa.[4]
2.
Zuhud
Menurut definisi bahasa, kata zuhud dapat dirunut
berdasarkan lafadz “zahida fiihi wa’anhu, zuhdan wa zahaadatan”,artinya
berpaling dari sesuatu, meninggalkanya karena kehinaannya atau karena kekesalan
kepadanya. Lafadz zahuda fi asy-syai artinya tidak membutukannya, jika
dikatakan zahida fi addunyaa artinya meningalkan materi duniawi yang
halal karena takut hisab-Nya dan meninggalkan yang haram dari dunia itu karena
takut siksa-Nya.
Untuk memahami makna zuhud secara terminology, berikut
pengertian zuhud menurut beberapa tokoh:
Ali
Bin Abi Thalib menjelaskan bahwa “zuhud” tersimpul pada kalimat dalam al
Qur’an, Supaya kamu tidak bersedih hati karena apa yang lepas dari tanganmu
dan tidak bangga dengan apa yang diberikan kepadamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang angkuh dan sombong (QS. Al Hadiid
[57]:23). Siapa yang tidak sedih terhadap sesuatu yang luput darinya dan tidak
bersuka cita atas apa yang dimilikinya, ia adalah orang zuhud.
Dengan demikian, menurut ayat tersebut diatas, orang boleh sedih
dan boleh juga gembira, asalkan tidak berlebih-lebihan. Al-Ghazali menyatakan
bahwa zuhud secara keseluruhan berarti benci kepada yang disukai dan berpaling
kepada yang lebih disukai. Orang yang tidak menginginkan sesuatu selain Allah
hingga surgapun diabaikannya (Al-Ghazali,1992:207).
Ibnul-Jauzy mengartikan zuhud sebagai pengalihan keinginan dari
sesuatu kepada sesuatu lain yang lebih baik darinya, selanjutnya dikatakan pula
zuhud ialah meninggalkan dunia karena didasarkan pengetahuan tentang kehinaanya
jika dibandingkan nilai akhirat (Hanbal,2000: xv). Hal ini senada dengan
definisi zuhud al Taftazani (Taftazani,1970:59)
Annemarie Schimmel mendefinisikan zuhud dalam tiga kata kunci yaitu
meninggalkan dari segala sesuatu beribadah dan mentaati segala perintah agama,
berhenti dari urusan dunia, dan pada akhirnya mengalihkan hatinya pada Allah
dengan harapan pahala surga dan terhindar dari neraka.
Zuhud tidak identik dengan kehidupan miskin. Perilaku zuhud ialah
sudi miskin maupun jadi milyuner tapi harta tidak menjadi penghalang dalam
mendekati diri kepada Tuhan. Juga tidak berarti ekslusif dari dunia, karena
islam tidak tidak mengajarkan agar manusia bermalas-malasan, akan tetapi tetap
kerja keras, dan menjasikan dunia sebagai sawah ladang untuk akhirat.
Dengan
demikian maka zuhud dapat diatikan sebagai sikap mental untuk menjauhkan diri
dari kehidupan di dunia demi akhirat, dengan kata lain menyeimbangkan antara
aspek-aspek lahiriah dan batiniah, jasmaniah,dan rohaniah.
Pendapat yang bervariasi dalam konotasi pengertian zuhud itu pada
hakikatnya merupaka refleksi dari beratnya perjuangan untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Seorang calon sufi harus rela melepaskan segala macam kenikmatan
dan keindahan hidup yang bersifat materi. Ia harus menyediakan dirinya untuk
hidup dalam keterbatasan dan serba kekurangan. Ia harus tabah menyambut
pandangan masyarakat sekita yang menilai status seseorang dari segi materi. Ia
harus membebaskan diri dari ikatan materi agar ia bebas leluasa mengkhususkan
diri dalam beribadah kepada Allah. Kelelapan tidur di waktu malam harus diganti
dengan zikir dan sujud kehadirat llahi. Titik sentrum ingatan dan kegiatan hanya
kepada Allah. Ini tidak dapat dilakukan dengan sempurna apabila jiwa dan
perhatian masih terbagi-bagi. Maka tiada jalan lain, lepaskan dan zuhud kepada
dunia.
3.
Wara’
Pengertian dasar dari kata wara’ adalah menghindari apa saja yang
tidak baik. Tetapi orang sufi mempunyai penafsiran tersendiri, dimana mereka
mengartikan wara’ itu meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya,
baik yang menyangkut makanan, pakaian maupun persoalan.
Menurut Ibrahim bin Adham, wara’
adalah meninggalkan setiap yang syubhat dan meninggalkan setiap al yang tidak
berguna, atau meninggalkan barang yang melebihi kebutuhan (fudlul)
Al-Muhasibi menjelaskan, bahwa wara’
adalah menghisab setiap hal yang dibenci oleh Allah, baik tindakan fisik,hati
atau anggota badan, dan menjauhi dari menyia-nyiakan sesuatu yang diwajibkan
oleh Allah, baik dalam hati maupun anggota badan, dan hal ini hanya dilakukan
dengan muhasabah. Dengan demikian, wara’ adalah mensucikan hati dan berbagai
anggota badan. Sedangkan dalam Kamus Tasawuf, dinyatakan bahwa wara’ adalah
menjaga diri dari berbuat dosa, atau berbuat maksiat sekecil apapun.
Orang sufi yang mengisi hidup dan
kehidupannya dengan selalu dalam keadaan canggih dalam kesucian, indah dalam
kebaikan, tentu saja selalu waspada dalam berbuat. Mereka tidak mau mengatakan
sesuatu yang tidak jelas statusnya, apalagi yang jelas-jelas haram. Sikap hidup
yang seperti itulah yang disebut wara’.[5]
4.
Faqr
Secara
harfiah faqr biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau miskin.
Sedangkan dalam pandangan sufi, faqr adalah tidak meminta lebih dari apa yang
telah ada pada kita.[6]
Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak
meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta
tetapi tidak menolak.
5.
Sabar
Sabar,
secara harfiah berarti tabah hati. Secara terminology, sabar adalah suatu
keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan
menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal
yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan
dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berda dalam kefakiran.
Berdasarkan pengertian diatas, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian
diri, pengendalian sikap, dan pengendalian emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar
tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang
sungguh-sungguh.[7]
6.
Tawakal
Tawakal
merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri kepada Allah (Sholihin
dan Anwar,2002: 232). Menurut Amin An-Najar, tawakal adalah bersandar kepda
Allah SWT dalam segala hal.[8] Secara
umum pengertian tawakal adalah pasrah dan mempercayakan secara bulat kepada
Allah setelah melaksanakan suatu rencana dan usaha.
Akan tetapi bagi kaum sufi pengertian
tawakal itu tidak cukup kalau hanya sekedar menyerahkan diri seperti itu.
Sebagaimana biasanya, dalam mengartikan ajaran agama, mereka bersikap lebh jauh
dan mendalam. Mereka mempunyai citra tersendiri. Ini berarti bahwa dalam segala
hal baik sikap maupun perbutan harus diterima dengan tulus.adapun yang terjadi
diluar pinta dan usaha, tetapi semuanya itu datangnya dari Allah. Menyerah
bulat kepada kuasa Allah. Jangan meminta, jangan menolak dan jangan
menduga-duga. Nasib apapun yang diterima adalah karunia Allah. Sikap seperti
inilah yang dicari dan diusahakan sufi agar jiwa mereka tenang, berani dan
ikhlas dalam hidupnya walau apapun yang dihadapi atau dialaminya.[9]
7.
Ridla
Ridla secara etimologis berarti rela, tidak marah (luwis ma’luf,
:256). Menurut Al-Hujwiri, ridla terbagi menjadi dua, yaitu ridla Allah
terhadap hambanya, ridla hamba terhadap Allah SWT. Ridla Allah terhadap
hambanya, adalah dengan cara memberikan pahala, nikmat, dan karamah-Nya,
sedangkan ridla hamba kepada Allah SWT adalah melaksanakan segala perintah-Nya
dan tunduk atas segala hokum-Nya (Al-Hujwiri,1974: 404-407).[10]
Kata al-Junaid, arti ridla meninggalkan usaha (tark iktiari)
sedangkan Dzu al-Nun al-Mishri mengatakan, ridha itu ialah menerima tawakal
dengan kerelaan hati. Menurut al-Nun, tanda-tanda orang yang sudah ridha itu
ada tiga yakni: mempercayakan hasil usaha sebelum terjadi ketentuan, lenyapnya
resah gelisah setelah terjadi ketentuan, dan cinta yang bergelora dikala
turunnya malapetaka.
Pengertian ridla yang demikian merupakan perpaduan antara sabar dan
tawakal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima
segala situasi dan kondisi.
Oleh karena itu, sikap mental ridla ini sudah mendekati sifat kesempurnaan
(rjal al-kamal), maka dikalangan sufi sendiri berbeda pendapat, apakah
tergolong maqamat atau ahwal. Menurut Qomar kailani dalam fi al-Tasawuf
al-islami, sebagian besar sufi berpendapat, bahwa ridla adalah maqom
terakhir dari perjalana salk. Sebab, datangnya sikap mental ridla itu adalah
berkat perjuangan yang dilakukan secara berantai. Akan tetapi bagi sufi yang
mengakui adanya ittihad, maqom itu termasuk mahabbah, ma’rifat dan kemudian
al-fana dan berlanut dengan ittihad.[11]
B.
Pengertian Ahwal
Ahwal
adalah jamak dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state).
Secara terminology Ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati.[12] Maksudnya,
hal adalah kondisi sikap yang diperoleh seseorang yang datangnya atas karunia
Allah SWT kepada yang dikehendaki. , baik sebagai buah
dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan
dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal sebagai keadaan mental,
seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.
Jika berpijak dari
beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada
intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah
bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu
datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih
dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih[13][19]. Jika maqam diperoleh
melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan
tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen,
sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya. Sebagaimana
halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat
perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling
banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah,
al-musyahadah, dan al-yaqin.
Tahapan – tahapan Ahwal
1.
Muraqabah
Arti Muraqabah
ialah merasa bahwa Allah SWT itu selalu mengawasi.[14] yang
dimaksud muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan yang dengan
sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Sehingga segala daya
pikir dan imajinasinya tertuju pada satu focus kesadaran tentang dirinya.
Muraqabah
merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada dasarnya segala perilaku
peribadatan adalah dalam rangka muqarabah atau mendekatkan diri kepada Allah.
Al-Qusyairi
menyebutkan bahwa seorang bisa sampai pada keadaan muraqabah, jika ia telah
sepenuhnya melakukan perhitungan atau analitis terhadap perilakunya di masa
lalu dan melakukan perubahan-perubahan menuju perilaku yang lebih baik.
Hal penting
yang harus ditunjukkan dalam muraqabah ini adalah konsistensi diri terhadap
perilaku yang baik atau seharusnya dilakukan. Konsistensui ini dapat diupayakan
dengan senantiasa mawas diri, sehingga tidak terjerumus atau terlena terhadap
keinginan-keinginan sesaat. Seorang yang muraqabah berarti menjaga diri untuk
senantiasa melakukan yang terbaik sesuai dengan kodrat dan eksistensinya. Oleh
karenanya, seorang yang melakukan muraqabah dibutuhkan disiplin yang tinggi.
Kedisiplinan
inilah yang akan menghantarkan seseorang menuju keadaan yang lebih baik dan
menuju kebvahagiaan yang hakiki dan lebih abadi. Sementara ketidakdisiplinan
ditunjukkan dengan sikap sembrono serta mudah terlena dengan
kenikmatan-kenikmatan duniawi yang nisbi dan fana, yang semua itu akan dapat
mendorongnya menuju kejatuhan pada jurang kerendahan dan kehinaan.[15]
2.
Mahabbah
Secara etimologis, mahabbah mengandung beberapa arti, antara
lain; bersih, putih, tinggi dan jelas.[16] Mahabbah
(cinta), mengandung arti keteguhan dan kemantapan. Seorang yang sedang dilanda
rasa cinta pada sesuatu tidak akan beralih atau berpaling pada sesuatu yang
lain.
3.
Khauf
Khauf menurut
bahasa berarti takut, khawatir, atau tidak merasa aman.[17] Al-Qusyairi
mengemukakan bahwa khauf (takut) terkait dengan kejadian yang akan datang.
Yakni akibat datangnya sesuatu yang dibenci dan sinarnya sesuatu yang dicintai.
Takut kepada Allah berarti takut terhadap hokum-hukumnya baik didunia maupun di
akhirat. Hal ini sebagaimana firman Allah, yang artinya “maka takutlah
kepada-Ku jika kamu orang-orang yang beriman”. Dalam ayat lain juga
diungkapkan, yang artinya “mereka menyeru kepada Tuhan dengan penuh rasa takut
dan harap”
Menurut
al-Wasithi, perasaan takut (khauf) dan harap (raja’) merupakan pengendali bagi
diri seseorang dari perbuatan yang sia-sia. Karena ia akan senantiasa menjaga
diri untuk selalu melakukan yang terbaik dengan tanpa ada keraguan, ia merasa
yakin, bahwa usaha yang baik akan menghasilkan kebaikan pula. Adapun puncak
dari perasaan takut adalah sebuah kesadaran bahwa Allah menguasai wujud manusia
yang paling dalam, yang pada akhirnya perasaan takut dan harap itu akan hilang
dengan sendirinya, karena takut dan harap hanyalah akibat dari rasa inderawi
yang bersifat manusiawi.[18]
4.
Raja’
Sebagaimana
halnya khauf, raja’ (harapan adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang
diinginkan terjadi pada masa yang akan datang.
Ibnu Khubaiq
membagi harapan menjadi tiga: 1) manusia yang melakukan amal kebaikan,dengan
harapan amal baiknya akan diterima oleh Allah, 2) manusaia yang melakukan amal
buruk, kemudian bertaubat, dengan harapan akan mendapatkan ampunan dari Allah,
3) Orang yang menipu diri dengan terus-menerus melakukan kesalahan dengan
mengharapkan ampunan.[19]
5.
Shauq
Rindu(shauq)
merupakan luapan perasaan seorang individu yang mengharapkan untuk senantiasa
bertemu dengan sesuatu yang dicintai.
Secara
psikologis, seseorang yang dilanda perasaan rindu, adalah mereka yang segala aktifitas
baik perilaku maupun gagasannya tertuju pada satu titik tertentu, sesuai dengan
apa yang dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki. Dan tidak akan tergoyahkan
dengan segala keinginan yang semu yang dapat mengalihkan perhatian dan
konsentrasinya. Sehingga ia akan senantiasa menjaga dari segala hal yang tidak
seharusnya ia lakukan atau ia pikirkan. Ia akan melakukan segala tindakan
terbaiknya dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa rasa keraguan ataupun
kecemasan.[20]
6.
Uns
Perasaan suka
cita (Uns) merupakan kondisi kejiwaan, dimana seseorang merasakan kedekatan
dengan Tuhan. Kondisi kejiwaan seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika
merasakan kedekatan dengan Allah. Yang mana, hati dan perasaanya diliputi oleh
cinta, kelembutan, keindahan serta kasih sayang yang luar biasa, sehingga
sangat sulit dilukiskan.
Keadaan semacam
ini dapat dialami oleh seorang sufi dalam situasi tertentu, misalnya ketika
menikmati keindahan alam, keluasan bacaan, atau merdunya alunan musik, yang mana
dalam situasi tersebut seorang sufi benar-benar merasakan keindahan Allah.
Tentu saja antara individu satu dengan individu yang lain memiliki pengalamanya
sendiri-sendiri dengan muatan dan rasa yang bersifat pribadi, sehingga tidak
dapat digambarkan dengan jelas oleh orang lain.[21]
7.
Tuma’ninah
Tuma’ninah
adalah keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang dapat
mempengaruhinya. Hal ini didasarkan pada firman Allah, yang artinya “Orang-orang
yang beriman dan tenteram hatinya dengan mengingat Allah, ingatlah bahwa dengan
mengingat Allah hati bias menjadi tenteram” juga fiman Allah, yang artinya:
“wahai jiwa yang tenang, kembalilah kehadirat Tuhanmu dengan hati yang puas
dan diridhai-Nya. Masuklah dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam
surgaKu”
Ibnu Qoyyim
membagi tumalninah dalam tiga tingkatan: Pertama, ketenangan hati dengan
mengingat Allah, yakni ketenteraman seorang yang takut (kepada Allah) pada
raja’, dan ketentraman orang yang tertimpa bala pada karunia. Kedua,
Ketentraman jiwa pada Kashf, ketentraman perindu pada batas penbantian, dan
ketentraman perpisahan pada pertemuan. Ketiga, ketentraman menyaksikan
Tuhan pada kelembutan kasihnya, ketentraman pertemuan pada baqa’ (keabadian),
dan ketentraman maqam pada cahaya keabadian. Ketiga tingkatan ini berkaitan
dengan konsep fana’ dan baqa’.[22]
8.
Musyahadah
Penjelasan
mengenai musyahadah sering dikaitkan dengan uraian tentang muhadharah dan
mukasyafah. Muhadharah berarti kehadiran kalbu dan mukasyafah adalah kehadiran
kalbu dengan sifat nyatanya, sedangkan musyahadah adalah kehadiran al-Haqq
dengan tanpa dibayangkan.[23]
9.
Yaqin
Al-Yaqin dalam
terminology sufi adalah merupakan perpaduan antara ‘ilmu al-yaqin, ‘ain
al-yaqin dan haqq al-yaqin. ‘ilm al-yaqin dalam terminology para ulama adalah
sesuatu yang ada dengan syarat adanya bukti. Sedangkan ‘ain al-Yaqin, sesuatu
ada dengan disertai kejelasan. Haqq al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan
sifat-sifat yang menyertai kenyataannya.
Jelasnya, al-yaqin
adalah sebuah kepercayaan yang kuat dan tak tergoyahkan tentang kebenaran
pengetahuan yang dimiliki, karena penyaksiannya dengan segenap jiwanya dan
dirasakan oleh seluruh ekspresinya, serta disaksikan oleh segenap
eksistensinya.[24]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan
Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah,
maupun mujahadah. Disamping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase
yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan
Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam
jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya
sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, hal adalah kedudukan atau situasi
kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang amba pada suatu waktu, baik
sebagai buah dari amal shaleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian
semata.
B.
Saran
Untuk memahami ilmu Tasawuf khususnya dalam Maqamat dan Ahwal,
hendaknya tidak hanya tertumpu pada satu literature saja. Oleh karena itu
makalah ini semoga menjadi pemacu penyusun berikutnya pada umumnya untuk
lebih mendalami ilmu tasawuf.
DAFTAR PUSTAKA
Syukur Amin,
Sufi Healing, Semarang:IAIN Walisongo,2010
Tim Penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf,
Surabaya:IAIN SA Press,2011
Nata Abuddin,
Akhlak Tasawuf, Jakarta:Rajawali Pers,2011
Syukur
Amin,Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,2003
Muhammad
Hasyim, Dialog antara tasawuf dan psikologi, Yogyakarta:Pustaka Belajar,2002
Siregar Rivay, Tasawuf,Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2002
[1] Amin Syukur,Sufi Healing(Semarang:IAIN Walisongo,2010), hal.56
[2] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf,(Surabaya:IAIN SA
Press,2011),hal.243
[3] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,(Jakarta:Rajawali Pers,2011),hal
193-194
[4] Rivay Siregar, Tasawuf,(Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2002),hal
115-116
[5] Rivay Siregar, Tasawuf,(Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2002),hal
118
[6] Amin Syukur,Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia
Modern,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2003),hal.30
[7] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf,(Surabaya:IAIN SA
Press,2011),hal.250-251
[8] Amin Syukur, Op.cit, hal.73
[9] Rivay Siregar, Op.cit, hal.121-122
[10] Amin Syukur, Op.cit, hal 71
[11] Rivay Siregar, Op.cit, hal.122-123
[12] Hasyim Muhammad, Dialog antara tasawuf dan psikologi
(Yogyakarta:Pustaka Belajar,2002),hal 26-27
[14] Amin Syukur, Op.cit,hal 78
[15] Hasyim Muhammad, op.cit,hal 47-48
[16] Amin Syukur, Op.cit, hal 75
[17] Amin Syakur, Op.cit, hal 74
[18] Hasyim Muhammad, Op.cit, hal 49-50
[19] Ibid.,hal 51-53
[20] Hasyim Muhammad, Op.cit, hal 53
[21] Hasyim Muhammad,Op.cit, hal 53-54
[22] Ibid., hal 54-55
[23] Ibid., hal 56
[24] Hasyim Muhammad,Op.cit ,hal 57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar