Sabtu, 09 April 2016

SEJARAH LAHIRNYA TASAWUF

SEJARAH LAHIRNYA TASAWUF
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah :Akhlaq Tasawuf
Semester I
Dosen Pengampu :Drs. Soeparyo, M.Ag.









Disusun Oleh:
1.      Fariha Maulia Rizqi     (1503056077)
2.      Aizaul Kholilah            (1503056078)
3.      Makis Setiawan            (1503056079)

 


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Umat islam di dunia ini pasti ingin mencapai kesempurnaan dalam ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Pada hakikatnya semua manusia di hadapan Allah adalah sama, yang membedakan hanyalah iman dan taqwanya. Iman dan taqwa yang kuat dapat diperoleh dengan menyucikan diri dari sifat-sifat yang dilarang syari’at islam. Istilah yang biasa digunakan dalam hal menyucikan diri guna mendekatkan diri kepada Allah SWT adalah tasawuf. Orang yang melakukan tasawuf sering disebut sebagai sufi.
Tasawuf sering dianggap sebagai sifat yang luar biasa yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang memiliki iman dan taqwa yang kuat. Seorang sufi tidak akan goyah oleh godaan yang menghampiri dirinya. Keyakinan dan keteguhan hati menjadikan pondasi yang kokoh dalam beribadah kepada Allah. Tidak ada kesenangan sejati dalam diri mereka terhadap kehidupan dunia yang fana.
Seseorang yang mempelajari tasawuf akan menjadikan dirinya lebih ikhlas dalam beribadah. Tasawuf akan membawa kita lebih mengenal hakikat seoarang hamba kepada Tuhannya. Seorang hamba diciptakan oleh Allah hanyalah untuk beribadah kepada-Nya.
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam makalah ini mencoba untuk mengkaji tentang “Sejarah Lahirnya Tasawuf” yang dirumuskan dalam beberapa masalah, yaitu:
1.      Apa arti tasawuf?
2.      Bagaimana sejarah dan faktor lahirnya tasawuf?
3.      Apa manfaat tasawuf dalam islam?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Arti Tasawuf
Secara etimologis, para ahli berselisih tentang asal kata tasawuf. Sebagian menyatakan berasal dari “shuffah” artinya serambi masjid Nabawi yang didiami oleh sebagian sahabat Anshar. Ada pula yang mengatakan berasal dari “Shaff”,artinya barisan. Seterusnya ada yang mengatakan berasal dari “Shafa”,artinya bersih atau jernih, dan masih ada lagi yang mengatakan berasal dari kata “Shufanah”, sebutan nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir, terakhir ada yang mengatakan berasal dari bahasa Yunani “Theosofi”,artinya ilmu ketuhanan. Namun  yang terakhir ini tidak disetujui oleh H.A.R.Gibb. Dia cenderung pada kata tasawuf berasal dari Shuf (bulu domba), dan orang yang berpakaian bulu domba disebut “Mutashawwif”, perilakunya disebut tasawuf.[1]
Berikut ini kami paparkan sikap sejumlah sejarawan tasawuf Islam terhadap arti tasawuf.
Al-Kalabadzi (w.380 H.) menangani masalah ini dengan pendekatan baru, yakni dengan meminjam analisis linguistic (kebahasaan) yang digunakan oleh para ahli bahasa.Ia mengatakan:
“Jika kata shufi diambil dari kata ash-shafa’ (murni) dan ash-shafwah (terpilih) maka nisbatnya adalah shafawi.Jika disandarkan pada kata ash-shaff (barisan pertama) atau shuffah (serambi masjid) maka nisbatnya adalah shaffi atau shuffi. Boleh-boleh saja terjadi pertukaran posisi wawu dengan fa’ pada kata ash-shafawi menjadi shufi atau penambahan wawu pada kata shaffiaaushuffi menjadi shufi karena faktor popularitas kata tersebut di tengah masyarakat. Adapun yang paling tepat dari segi bahasa adalah jika merujukkannya pada akar kata ash-shuf

(bulu domba). Semua pengertian ini berarti penyingkiran diri dari keduniaan, keberpalingan diri darinya, kepergian dari tanah air, dan pengembaraan.[2]
Selanjutnya al-Biruni tampil beda dari para pendahulunya dengan menyatakan bahwa kata shufi diambil dari bahasa Yunani “shopia” yang berarti kebijaksanaan. Ia mengatakan:
“Diantara filsuf Yunani kuno ada yang berpandangan bahwa wujud hakiki berasal dari satu Prima Kausa karena Dia tidak membutuhkan siapa-siapa sementara yang lain membutuhkan-Nya; dan apa yang membutuhkan yang lain dalam wujud maka wujudnya seperti imaginasi yang tidak nyata sehingga wujud sejati hanya satu. Inilah pendapat kaum shopia, ahli hikmah (kebijaksanaan) sehingga orang yang mencintai kebijaksanaan disebut failasuf (filosof).Ketika di dalam Islam ada kaum yang berpendapat serupa maka mereka pun disebut dengan istilah serupa.”[3]
Pendapat al-Biruni ini dibantah oleh sejumlah kalangan, antara lain sebagai berikut:
1.         Dr. Ghallab
2.         Dr. Zaki Mubarak
3.         Dr. Abdul Halim Mahmud
Berikutnya, Imam al-Qusyairi ingin menghentikan perdebatan mengenai akar kata tasawuf dengan mengatakan bahwa kata shufi tidak perlu dicari derivasi katanya sebab ia sudah menjadi seperti ‘alam (nama diri) bagi kelompok ini. Ia mengatakan:
“Istilah ini sudah melekat pada kelompok ini sehingga individunya disebut shufi, sementara kelompoknya disebut shufiyyah, sementara orang yang mencapai ke sana disebut mutashawwif dan kelompoknya disebut mutashawwifah.
Tidak ada qiyas maupun isytiqaq yang mendukung penamaan ini dari segi bahasa, dan yang paling tepat adalah istilah ini sudah menjadi laqab “julukan”. Adapun pendapat sebagian kalangan bahwa ia berasal dari akar kata ash-shuf (baju dari bulu domba), dimana orang yang memakai baju berbahan bulu domba disebut tashawwafa, sebagaimana halnya orang yang memakai baju gamis (qamish) disebut sebagai taqammasha, pendapat ini tertolah karena kaum sufi tidak identik dengan pemakaian baju berbahan bulu domba. Jika dinisbatkan pada shufah masjid Rasulullah maka nisbat kata ini seharusnya bukan shufi tetapi shuffi. Orang yang menyatakan tasawuf berasal dari kata ash-shafa (kesucian) juga jauh dari aspek bahasa.Terkait pendapat sebagian kalangan yang mengembalikannya pada aka kata ash-shaf al awwal (shaf pertama) seolah-olah mereka berada di shaf pertama dengan hati mereka, maknanya memang benar, namun keliru dari segi bahasa. Golongan ini (kaum shufi) jauh lebih terkenal daripada upaya pendefinisian mereka dengan qiyas maupun derivasi kata.Pendapat al-Qusyairi yang mengerucut pada tesis bahwa kata sufi merupakan laqab (julukan) bagi golongan ini.[4]
Demikian sikap para sejarawan tasawuf dalam masalah ini yang bisa disimpulkan bahwa sebagian besar mereka cenderung merujukkan kata tasawuf pada akar kata ash-shuf (bulu domba) sehingga nisbat kata shufi juga berasal dari sana. Pendapat mereka ini benar dan sesuai dengan kaidah bahasa.
B.     Sejarah dan Faktor Lahirnya Tasawuf
1.      Sejarah Perkembangan Tasawuf
Ibn al-Jauzi dan Ibn Khaldun secara garis besar kehidupan kerohanian dalam islam terbagi menjadi dua, yakni zuhud dan tasawuf. Hanya saja diakuibahwa keduanya merupakan istilah baru, sebab keduanya belum ada pada masa Nabi Muhammad saw. dan tidak terdapat dalam al Quran, kecuali zuhud yang disebut sekali dalam surah Yusuf ayat 20.[5]

Pada masa Nabi saw dan khulafaur rasyidin ra, sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah dikenal. Para pengikut Nabi saw diberi panggilan shahabat, dan pada masa berikutnya yaitu pada masa shahabat, orang-orang muslim yang tidak berjumpa dengan beliau, disebut tabi’in, dan seterusnya disebut tabi’it tabi’in. Istilah tasawuf baru dipakai pada pertengahan abad 2 H, dan pertama kali oleh Abu Hasyim al-Kufy (W 250 H) dengan meletakkan ash-shufi di belakang namanya meskipun sebelum itu telah ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, wara, tawakkal, dan dalam mahabbah.[6]
Ketika Islam berkembang dan banyak orang yang memeluk islam, dan terjadi perkembangan strata sosial, maka munculah istilah baru di kalangan sahabat, yakni, Qurra’ (ahli membaca al-Quran), Ahl al-Shuffah serta Fuqara’. Pada masa Khulafaur Rasyidin ketiga yang pertama, istilah qurra’ sebagai panggilan bagi pengkaji al-Quran. Kemudian masa khalifah keempat, muncul istilah Mu’tazilah sebagai pertanda bagi orang yang menghindarkan diri dari pertikaian antara Ali dan lawan-lawannya. Mereka berada di rumahnya masing-masing untuk konsentrasi menjalankan ibadah dan diantara mereka ada yang mengasingkan diri ke gua-gua. Ketika itu muncul istilah ‘Ubbad (ahli ibadah) dan bersamaan dengan itu muncul istilah Khawarij bagi orang yang keluar dari barisan Ali ra, mereka itu semua kelompok zuhud yang umumnya disebut Qurra’.[7]
Setelah kematian Ali dan Husein, muncul orang-orang yang merasa dirinya banyak dosa sehingga selalu bertaubat kepada Allah SWT, mereka ini disebut Tawwabin. Ada pula kelompok yang selalu meratapi kesusahan dan kepedihannya, mereka ini disebut Qashshash (pendongeng), Nussak (ahli ibadah), Rabbaniyah (ahli ketuhanan) dan sebagainya.[8]
  


Akibat peristiwa pembunuhan terhadap khalifah ketiga, Utsman bin Affan secara berantai adalah terjadi kekacauan dan kerusakan akhlaq. Hal ini menyebabkan sahabat-sahabat yang masih ada dan pemuka-pemuka Islam yang mau berfikir, berikhtiar membangkitkan kembali ajaran Islam, kembali ke masjid (i’tikaf), hidup zuhud dan sebagainya. Inilah benih tasawuf yang paling awal.[9]
a.      Masa Pembentukan
Dalam abad 1 hijriyah bagian kedua muncul Hasan Basri (W. 110 H) dengan ajaran Khauf, mempertebal takut kepada Tuhan. Kemudian pada akhir abad 1 hijriyah, Hasan Basri diikuti oleh Rabi’ah Adawiyah (W 185 H), seorang shufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hub al-ilah).[10]
Selanjutnya pada abad ke 2 Hijriyah, tasawuf masih sama dalam corak kezuhudan, meskipun penyebabnya berbeda.penyebab perbedaan pada abad ini adalah adanya kenyataan pendangkalan ajaran agama dan formalism dalam melaksanakan syari’at agama (lebih bercorak fiqh). Sehingga menyebabkan sebagian orang tidak puas dengan kehidupan seperti itu.
Abu al-Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud Islam pada abad 1 dan 2 Hijriyah mempunyai karakter sebagai berikut:
1)      Menjauhkan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nash agama, yang dilatarbelakangi oleh sosio-politik.
2)      Masih bersifat praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas kezuhudannya itu.
3)      Motif zuhudnya ialah rasa takut yang muncul dari landasan keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad II Hijriyah, di tangan Rabi’ah Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas rasa takut terhadap adzab-Nya maupun harap terhadap pahala-Nya.
4)      Menjelang akhir abad II Hijriah, sebagian zahid, khususnya di Khurasan, dan Rabi’ah Adawiyah menandai ke dalaman analisis yang dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf, atau cikal bakal para pendiri tasawuf falsafi abad III dan IV hijriah. Abu al-Wafa lebih sependapat, kalau mereka dinamakan Zahid, Qari’ dan Nasik (bukan sufi).
b.      Masa Pengembangan
Tasawuf pada abad III dan IV sudah bersorak ke-fana’-an (ekstase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan khalik.Fana’ merupakan persyaratan bagi seseorang untuk dapat mencapai hakikat ma’rifah.
Pada abad ini tasawuf sudah sedemikian berkembang, sehingga sudah merupakan madzhab, bahkan seolah-olah agama yang berdiri sendiri.Muncul dua aliran. Pertama, aliran tasawuf sunni yang merupakan bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan al-Qur’an dan al-Hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan rohaniah) mereka kepada kedua sumber tersebut. Kedua, aliran tasawuf  “semi falsafah”, dimana para pengikutnya cenderung pada ungkapan- ungkapan ganjil (syathahiyat) sertabertolak dari keadaan fana’ menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan (ittihad atau hulul). [11]
c.       Masa Konsolidasi
Tasawuf pada abad V hijriyah mengadakan konsolidasi. Pada masa ini ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf “semi falsafi”  dengan tasawuf “sunni”. Tasawuf sunni memenangkan pertarungan, dan berkembang sedemikian rupa. Sedangkan tasawuf semi falsafi tenggelam dan akan kembali muncul pada abad ke VI hijriah dalam bentuknya yang lain. Kemenangan tasawuf sunni ini dikarenankan menangnya teologi Ahl Sunnah Waljamaah yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asyari (W. 324 H), yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid al-Bustamy dan al-Hajjaj, sebagaimana tertuang dalam Syathahiyat-nya yang dianggap menyimpang dengan kaidah dan akidah Islam. Oleh karena tasawuf pada abad tersebut cenderung mengadakan pembaharuan, atau menurut Annemarie Schimmel merupakan periode konsolidasi.Yakni periode yang di tandai pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasannya, al-Quran dan hadits.Tokohnya meliputi al-Qusyairi, al-Harawi, dan al-Ghazali.[12]
Hal-hal yang dikritik mengenai syathaniyat yaitu, menurut Qusyairi cara berpakaian mereka menyerupai orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan metode pakaiannya.Dia menerangkan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh kepada al-Quran dan sunnah, lebih penting daripada pakaian lahiriyah.[13]
Al-Harawi menganggap bahwa orang yang suka mengeluarkan syathahat, hatinya tidak tentram. Dengan kata lain syathahat itu muncul dari ketidaktenangan. Al Ghazali menilai negatifsyathahat, karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan.Pertama karena kurang memperhatikan amal lahiriyah dan mengemukakan kesatuan dengan Tuhan dan hal ini membawa dampak negative bagi masyarakat awwam. Kedua, keganjilan ungkapan yang sukar, diucapkan dari hasil pikiran kacau , hasil imaginasi sendiri.[14]
d.      Masa Falsafi
Pada abad ke VI hijriah muncul tamoilan tasawuf falsafi yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat. Oleh karena itu tasawuf ini tidak bisa sepenuhnya dikatakan tasawuf, dan juga dikatakan filsafat, sebut saja tasawuf falsafi, karena di satu pihak memakai istilah-istilah filsafat , namun di lain pihak pendekatan terhadap Tuhanmemakai metode dzauq/intuisi/wujudan (rasa). Tokohnya ialah Suhrawardi al-Maqtul dengan teori Isyraqiyah-nya, Ibnu Arabi dengan teori Wahdatul Wujud-nya, ibnu Faridl dengan teori mahabbah, Fana’ dan Wahdatusyuhud-nya.
Pada abad ke VII, muncul cikal-bakal tarekat sufi kenamaan. Tarekat yang terkenal dan berkembang sampai sekarang antara lain, Tarekat Qadriyah yang dikaitkan kepada as-Syaikh Abdul Qadir al-jailani, Tarekat Suhrawardiyah yang dicetuskan Syihabuddin Umar bin Abdillah al-Suhrawardy, Tarekat Rifa’iyah yang dikaitkan kepada Ahmad Rifa’i. Tarekat Syadziliyah yang dikaitkan kepada Abu Hasan al-Syadziliy, Tarekat Badawiyah yang dikaitkan kepada Ahmad al-Badawi, Tarekat Naqsabandiyah dikaitkan kepada Muhammad bin Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhary, dsb.
e.       Masa Pemurnian
Pada masa ibnu arabi ibnu Faridl dan al-Rumy adalah masa keemasan gerakan tasawuf, secara teoritis maupun praktis.Pengaruh dan praktek tasawuf kian meluas melalui tarekat-tarekat. Tak terhelak lagi legenda tentang keajaiban dikaitkan dengan tokoh-tokoh sufi, masa awwam segera menyambut tipu muslihat itu. Menyuburkan khufarat dan tahayul, hidup memalukan, berlaku tidak senonoh, bicara tidak karuan, merupakan jalan mulus menuju ketenaran, harta dan tahta.Kemudian tasawuf pada waktu itu ditandai bid’ah, khufarat, mengabaikan syari’atdan hukum-hukum moral dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, azimat dan ramalan serta kekuatan ghaib ditonjolkan. Ibnu Taimiyah dengan lantang menyerang penyelewengan para sufi tersebut.
Ibnu Taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran ittihad, Hulul, Wahdatul Wujud sebagai ajaran yang menuju kepada kekafiran, meskipun keluar dari orang-orang yang mencapai tingkat ma’rifat, ahli hakikat, dan  ahli tauhid, menurutnya pendapat semacam itu hanya layak keluar dari mulut orang Yahudi dan Nasrani. Ibnu Taimiyah lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah saw, yakni menjelaskan dan menghayati ajaran Islam, tanpa embel-embel lain, tanpa mengikuti aliran tarekat tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan social, sebagaimana manusia pada umumnya. Tasawuf model ini cocok untuk dikembangkan di masa modern seperti sekarang.
2.      Faktor Lahirnya Tasawuf
Para sarjana, baik dari kalangan Islam sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang memengaruhi munculnya tasawuf maupun gerakan tasawuf dalam Islam. Nicholson mengatakan bahwa pembentukan tasawuf dipengaruhi oleh agama Masehi atau Nasrani. Meskipun tasawuf berkembang secara Islami, tetapi tidak tertutup kemungkinan ada sedikit pengaruh luar, terutama Nasrani.[15]
Sesungguhnya agama Masehi mempunyai pengaruh dalam pembentukan tasawuf dalam masa awalnya meskipun hal ini tidak dijumpai dalam ucapan para sufi seperti Ibrahim Ibn Adham (161 H), Dawud al-Tha’i (165 H), Fudlail ibn ‘Iyadi (187 H) dan Syaqiq al-Balkhi (194 H), yang menunjukkan adanya pengaruh Masehi, atau dari pengaruh luar lainnya kecuali sedikit. Dengan kata lain, tampaklah bahwa sesungguhnya tasawuf merupakan buah dari gerakan Islam itu sendiri, sebagai konsekuensi logis dari pemikiran Islam terhadap Allah SWT.[16]
Dengan demikian tasawuf dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Menurut Affifi masing-masing faktor tersebut dapat dipecah menjadi dua, sehingga menjadi empat, yaitu:
1.      Faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untuk hidup wara’, taqwa dan tasawuf.
2.      Reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap sistem sosial, politik dan ekonomi dikalangan umat Islam sendiri, yaitu ketika Islam telah tersebar ke berbagai negara yang sudah barang tertentu membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu, seperti terbuka kemungkinan diperolehnya kemakmuran disatu pihak.
3.      Kependetaan (Rabbaniyah) agama Nasrani sebagai konsekuensi agama yang lahir sebelum Islam, pemeluknya tersebar diseluruh negara, dan sikap-sikapnya memengaruhi masyarakat agama lain, termasuk pemeluk Islam.
4.      Reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam. Keduanya tidak bisa memuaskan batin seorang muslim. Pertama, mereka mementingkan formalisme dan legalisme dalam menjalankan syari’at Islam, dan yang kedua mementingkan pemikiran-pemikiran rasional, dalam pemahaman agama Islam.[17]
Menurut Taftazani, tasawuf lebih banyak dimotivasi oleh ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits Rasulullah saw. yang bernada merendahkan nilai dunia, dan sebaliknya banyak dijumpai nash agama yang memberi motif beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka. Ayat-ayat yang menunjukkan nilai akhirat lebih baik daripada kehidupan dunia, antara lain:
“Dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu daripada dunia.”[18]
“Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan , kalau mereka mengetahui.”[19]
Nabi Muhammad saw. mengibaratkan dunia ini bagaikan penjara bagi orang yang beriman, artinya kehidupan mereka selalu dibatasi dan tidak bisa hidup semena-mena, bagaikan orang yang hidup dalam penjara. Sebaliknya, bagaikan surga bagi orang kafir, bagaikan tempat menyenangkan, bisa hidup seenaknya tanpa ada batasan yang mengikatnya.Selanjutnya gambaran beliau tentang dunia adalah kehidupan sementara, sebentar dan rusak. Hanya harta yang diinfakkan dijalan-Nya yang akan kekal selama-lamanya.
C.    Manfaat Tasawuf dalam Islam
Tasawuf merupakan perilaku yang sangat mulia. Orang yang mempunyai sifat tasawuf akan mendapatkan tempat terindah disisi Allah. Jadi perilaku tasawuf mempunyai banyak manfaat, diantara manfaatnya adalah:
1.      Menjadikan seorang hamba yang mulia dihadapan Allah SWT. Seorang sufi memiliki kesucian hati dan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah. Jadi, dihadapan Allah mereka ditempatkan dalam golongan yang mulia.
2.      Memiliki ketentraman hati dalam kehidupannya. Barang siapa yang selalu mengingat Allah maka dia akan mendapatkan ketentraman hati dan jiwa. Hal tersebut sama dengan perillaku tasawuf yang selalu menjadikan Allah kekasih sejati dalam hati mereka.
3.      Berperilaku hidup sederhana. Tasawuf lebih mencintai kehidupan akhirat yang kekal daripada kehidupan dunia yang fana. Perilaku tasawuf akan menjadikan dunia sebagai jalan menuju akhirat yang mulia. Kehidupan di dunia tidak dijadikan sebagai tujuan utama, karena dunia ini suatu saat pasti akan hilang.
4.      Qona’ah dalam menerima segala pemberian Allah. Ikhlas dan sabar dalam menerima semua cobaan dari Allah adalah suatu yang sulit bagi orang pada umunya. Akan tetapi, tasawuf mengajarkan seseorang untuk tunduk, patuh dan menerima segala pemberian Allah.
5.      Memperkuat agama Islam dengan tokoh-tokoh sufi. Peran seorang sufi dalam agama Islam sangat besar karena mereka dijadikan pelajaran bagi umat Islam untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah.













BAB III
PENUTUP

A.  Simpulan
Secara etimologis, para ahli berselisih tentang asal kata tasawuf. Sebagian menyatakan berasal dari “shuffah” artinya serambi masjid Nabawi yang didiami oleh sebagian sahabat Anshar. Ada pula yang mengatakan berasal dari “Shaff”, artinya barisan. Seterusnya ada yang mengatakan berasal dari “Shafa”, artinya bersih atau jernih, dan masih ada lagi yang mengatakan berasal dari kata “Shufanah”, sebutan nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir, terakhir ada yang mengatakan berasal dari bahasa Yunani “Theosofi”,artinya ilmu ketuhanan. Namun  yang terakhir ini tidak disetujui oleh H.A.R.Gibb. Dia cenderung pada kata tasawuf berasal dari Shuf (bulu domba), dan orang yang berpakaian bulu domba disebut “Mutashawwif”, perilakunya disebut tasawuf.
Sejarah lahirnya tasawuf tidak terlepas dari berbagai faktor, diantara beberapa faktor tersebut adalah:
1.      Faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2.      Reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap sistem sosial, politik dan ekonomi dikalangan umat.
3.      Kependetaan (Rabbaniyah) agama Nasrani sebagai konsekuensi agama yang lahir sebelum Islam.
4.      Reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam.
Berperilaku tasawuf banyak manfaatnya. Diantara manfaat yang diperoleh adalah :
1.      Menjadikan seorang hamba yang mulia dihadapan Allah SWT.
2.      Memiliki ketentraman hati dalam kehidupannya.
3.      Berperilaku hidup sederhana. Tasawuf lebih mencintai kehidupan akhirat yang kekal daripada kehidupan dunia yang fana.
4.      Qona’ah dalam menerima segala pemberian Allah.
5.      Memperkuat agama Islam dengan tokoh-tokoh sufi.

B.  Saran  
Tingkatkanlah selalu iman dan taqwa untuk beribadah secara ikhlas kepada Allah. Jadilah hamba yang selalu dimuliakan dalam kehidupan. Ikutilah kesucian hati seorang sufi agar dalam beribadah bisa ikhlas karena Allah. Terakhir, Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami tentang “Sejarah Lahirnya Tasawuf”. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang kontruktif dari pembaca demi kesempurnaan penulisan makalah berikutnya.

















DAFTAR PUSTAKA

Al-Harawy. 1328 H. Manazilu as-Sa’irin, vol. 3. Kairo: Mushthafa Bab al-Halabi.
Al-Quraisyi. 1940. ar-Risalah al-Qusyairiyah. Mesir: Bab al-Halabi.
al-Taftazani Abu al-Wafa al-Ghanimi.1979. Madkhal Ilat Tashawwuf al-Islami. Kairo: Daruts Tsaqofah.
Gibb. H.A.R.. 1964.  Islam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Bharata.
Nicholson. R.A.. 1969. Fi al-Tasawuf al-Islam wa Tarikhu, terjemahan Abu al-‘Ala Affifi. Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr.
Syukur Amin dan Masharudin. 2002. Intelektualisme Tasawuf. Semarang: Lembkota.




[1]H.A.R. Gibb, Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Bharata, 1964), hlm. 110.
[2]Al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Madzhab Ahl at-Tashawwuf, hlm. 24.
[3]Biruni, Tahqiq li al-Hind min Maqulah, hlm 24.
[4]Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, hlm.550.
[5]Amin Syukur dan Masharudin, Intelektualisme Tasawuf, (Semarang: Lembkota, 2002), hlm.17.
[6]R.A. Nicholson, Fi al-Tasawuf al-Islam wa Tarikhuh, terjemahan Abu al-‘Ala Affifi, (Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1969), hlm. 112.
[7]Amin Syukur dan Masharudin, Op.Cit., hlm. 17-18.
[8]Ibid., hlm.18.
[9]Ibid.
[10]Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal Ilat Tashawwuf al-Islami, (Kairo: Daruts
  Tsaqofah, 1979), hlm. 72.
[11]Ibid.,hlm.61.
[12]Amin Syukur dan Masharudin, Op.Cit., hlm.25.
[13]Al-Quraisyi, ar-Risalah al-Qusyairiyah, (Mesir: Bab al-Halabi, 1940), hlm. 61.
[14]Al-Harawy, Manazilu as-Sa’irin, vol. 3, (Kairo: Mushthafa Bab al-Halabi, 1328 H), hlm. 512.
[15]Nicholson, Op.Cit., hlm. 3.
[16]Amin Syukur dan Masharudin, Op.Cit., hlm.33-34.
[17]Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani,Op.Cit.,hlm.67.
[18]QS. Adh-Dhuha: 4.
[19]QS. Al-Ankabut: 64.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar