SEJARAH LAHIRNYA TASAWUF
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah :Akhlaq
Tasawuf
Semester I
Dosen Pengampu :Drs. Soeparyo, M.Ag.

Disusun Oleh:
1.
Fariha Maulia Rizqi (1503056077)
2.
Aizaul Kholilah (1503056078)
3.
Makis Setiawan (1503056079)
![]() |
|||
![]() |
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Umat islam di dunia ini pasti ingin mencapai kesempurnaan
dalam ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Pada hakikatnya semua manusia
di hadapan Allah adalah sama, yang membedakan hanyalah iman dan taqwanya. Iman
dan taqwa yang kuat dapat diperoleh dengan menyucikan diri dari sifat-sifat
yang dilarang syari’at islam. Istilah yang biasa digunakan dalam hal menyucikan
diri guna mendekatkan diri kepada Allah SWT adalah tasawuf. Orang yang
melakukan tasawuf sering disebut sebagai sufi.
Tasawuf sering dianggap sebagai sifat yang luar biasa
yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang memiliki iman dan taqwa yang
kuat. Seorang sufi tidak akan goyah oleh godaan yang menghampiri dirinya. Keyakinan
dan keteguhan hati menjadikan pondasi yang kokoh dalam beribadah kepada Allah.
Tidak ada kesenangan sejati dalam diri mereka terhadap kehidupan dunia yang
fana.
Seseorang yang mempelajari tasawuf akan menjadikan
dirinya lebih ikhlas dalam beribadah. Tasawuf akan membawa kita lebih mengenal
hakikat seoarang hamba kepada Tuhannya. Seorang hamba diciptakan oleh Allah
hanyalah untuk beribadah kepada-Nya.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka
dalam makalah ini mencoba untuk mengkaji tentang “Sejarah Lahirnya
Tasawuf”
yang dirumuskan dalam beberapa masalah, yaitu:
1. Apa arti tasawuf?
2. Bagaimana
sejarah dan faktor lahirnya tasawuf?
3. Apa manfaat
tasawuf dalam islam?

PEMBAHASAN
A.
Arti Tasawuf
Secara etimologis, para ahli berselisih tentang asal kata tasawuf. Sebagian
menyatakan berasal dari “shuffah” artinya serambi masjid Nabawi yang
didiami oleh sebagian sahabat Anshar. Ada pula yang mengatakan berasal dari “Shaff”,artinya
barisan. Seterusnya ada yang mengatakan berasal dari “Shafa”,artinya
bersih atau jernih, dan masih ada lagi yang mengatakan berasal dari kata “Shufanah”,
sebutan nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir, terakhir ada yang
mengatakan berasal dari bahasa Yunani “Theosofi”,artinya ilmu ketuhanan.
Namun yang terakhir ini tidak disetujui
oleh H.A.R.Gibb. Dia cenderung pada kata tasawuf berasal dari Shuf (bulu
domba), dan orang yang berpakaian bulu domba disebut “Mutashawwif”,
perilakunya disebut tasawuf.[1]
Berikut ini kami paparkan sikap sejumlah sejarawan
tasawuf Islam terhadap arti tasawuf.
Al-Kalabadzi (w.380 H.) menangani masalah ini dengan
pendekatan baru, yakni dengan meminjam analisis linguistic (kebahasaan) yang
digunakan oleh para ahli bahasa.Ia mengatakan:
“Jika kata shufi diambil dari kata ash-shafa’
(murni) dan ash-shafwah (terpilih)
maka nisbatnya adalah shafawi.Jika disandarkan pada kata ash-shaff (barisan pertama) atau shuffah (serambi masjid) maka
nisbatnya adalah shaffi atau shuffi. Boleh-boleh saja terjadi
pertukaran posisi wawu dengan fa’ pada kata ash-shafawi menjadi shufi
atau penambahan wawu pada kata shaffiaaushuffi menjadi shufi
karena faktor
popularitas kata tersebut di tengah masyarakat. Adapun yang paling tepat dari segi bahasa adalah jika merujukkannya pada
akar kata ash-shuf
(bulu domba). Semua pengertian
ini berarti penyingkiran diri dari keduniaan, keberpalingan diri darinya,
kepergian dari tanah air, dan pengembaraan.[2]
Selanjutnya al-Biruni tampil beda dari para pendahulunya
dengan menyatakan bahwa kata shufi
diambil dari bahasa Yunani “shopia” yang berarti kebijaksanaan. Ia mengatakan:
“Diantara filsuf Yunani kuno ada yang berpandangan bahwa
wujud hakiki berasal dari satu Prima Kausa karena Dia tidak membutuhkan
siapa-siapa sementara yang lain membutuhkan-Nya; dan apa yang membutuhkan yang
lain dalam wujud maka wujudnya seperti imaginasi yang tidak nyata sehingga
wujud sejati hanya satu. Inilah pendapat kaum shopia, ahli hikmah
(kebijaksanaan) sehingga orang yang mencintai kebijaksanaan disebut failasuf (filosof).Ketika di dalam Islam
ada kaum yang berpendapat serupa maka mereka pun disebut dengan istilah
serupa.”[3]
Pendapat al-Biruni ini dibantah oleh sejumlah
kalangan, antara lain sebagai berikut:
1.
Dr.
Ghallab
2.
Dr.
Zaki Mubarak
3.
Dr.
Abdul Halim Mahmud
Berikutnya, Imam al-Qusyairi ingin menghentikan
perdebatan mengenai akar kata tasawuf dengan mengatakan bahwa kata shufi tidak
perlu dicari derivasi katanya sebab ia sudah menjadi seperti ‘alam (nama diri)
bagi kelompok ini. Ia mengatakan:
“Istilah ini sudah melekat pada kelompok ini
sehingga individunya disebut shufi,
sementara kelompoknya disebut shufiyyah,
sementara orang yang mencapai ke sana disebut mutashawwif dan kelompoknya disebut mutashawwifah.
Tidak ada qiyas maupun isytiqaq yang mendukung penamaan ini dari segi bahasa, dan yang
paling tepat adalah istilah ini sudah menjadi laqab “julukan”. Adapun pendapat sebagian kalangan bahwa ia berasal
dari akar kata ash-shuf (baju dari
bulu domba), dimana orang yang memakai baju berbahan bulu domba disebut tashawwafa, sebagaimana halnya orang
yang memakai baju gamis (qamish)
disebut sebagai taqammasha, pendapat
ini tertolah karena kaum sufi tidak identik dengan pemakaian baju berbahan bulu
domba. Jika dinisbatkan pada shufah masjid Rasulullah maka nisbat kata ini
seharusnya bukan shufi tetapi shuffi. Orang yang menyatakan tasawuf
berasal dari kata ash-shafa
(kesucian) juga jauh dari aspek bahasa.Terkait pendapat sebagian kalangan yang
mengembalikannya pada aka kata ash-shaf
al awwal (shaf pertama) seolah-olah mereka berada di shaf pertama dengan
hati mereka, maknanya memang benar, namun keliru dari segi bahasa. Golongan ini
(kaum shufi) jauh lebih terkenal daripada upaya pendefinisian mereka dengan
qiyas maupun derivasi kata.Pendapat al-Qusyairi yang mengerucut pada tesis
bahwa kata sufi merupakan laqab
(julukan) bagi golongan ini.[4]
Demikian sikap para sejarawan tasawuf dalam masalah ini
yang bisa disimpulkan bahwa sebagian besar mereka cenderung merujukkan kata
tasawuf pada akar kata ash-shuf (bulu
domba) sehingga nisbat kata shufi
juga berasal dari sana. Pendapat mereka ini
benar dan sesuai dengan kaidah bahasa.
B.
Sejarah dan Faktor Lahirnya Tasawuf
1.
Sejarah Perkembangan Tasawuf
Ibn al-Jauzi dan Ibn Khaldun secara garis besar kehidupan kerohanian dalam
islam terbagi menjadi dua, yakni zuhud dan tasawuf. Hanya saja diakuibahwa keduanya merupakan istilah baru, sebab keduanya
belum ada pada masa Nabi Muhammad saw. dan tidak terdapat dalam al Quran,
kecuali zuhud yang disebut sekali dalam surah Yusuf ayat 20.[5]
Pada masa Nabi saw dan khulafaur rasyidin ra,
sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah dikenal. Para pengikut Nabi saw
diberi panggilan shahabat, dan pada masa berikutnya yaitu pada masa shahabat,
orang-orang muslim yang tidak berjumpa dengan beliau, disebut tabi’in,
dan seterusnya disebut tabi’it tabi’in. Istilah tasawuf baru dipakai
pada pertengahan abad 2 H, dan pertama kali oleh Abu Hasyim al-Kufy (W 250 H)
dengan meletakkan ash-shufi di belakang namanya meskipun sebelum itu
telah ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, wara, tawakkal,
dan dalam mahabbah.[6]
Ketika Islam berkembang dan banyak orang yang memeluk islam, dan terjadi
perkembangan strata sosial, maka munculah istilah baru di kalangan sahabat,
yakni, Qurra’ (ahli membaca al-Quran), Ahl al-Shuffah serta Fuqara’.
Pada masa Khulafaur Rasyidin ketiga yang pertama, istilah qurra’
sebagai panggilan bagi pengkaji al-Quran. Kemudian masa khalifah keempat,
muncul istilah Mu’tazilah sebagai pertanda bagi orang yang menghindarkan
diri dari pertikaian antara Ali dan lawan-lawannya. Mereka berada di rumahnya
masing-masing untuk konsentrasi menjalankan ibadah dan diantara mereka ada yang
mengasingkan diri ke gua-gua. Ketika itu muncul istilah ‘Ubbad (ahli
ibadah) dan bersamaan dengan itu muncul istilah Khawarij bagi orang yang
keluar dari barisan Ali ra, mereka itu semua kelompok zuhud yang umumnya
disebut Qurra’.[7]
Setelah kematian Ali dan Husein, muncul orang-orang yang merasa dirinya
banyak dosa sehingga selalu bertaubat kepada Allah SWT, mereka ini disebut Tawwabin.
Ada pula kelompok yang selalu meratapi kesusahan dan kepedihannya, mereka ini
disebut Qashshash (pendongeng), Nussak (ahli ibadah), Rabbaniyah
(ahli ketuhanan) dan sebagainya.[8]
Akibat peristiwa pembunuhan terhadap khalifah ketiga, Utsman bin Affan
secara berantai adalah terjadi kekacauan dan kerusakan akhlaq. Hal ini
menyebabkan sahabat-sahabat yang masih ada dan pemuka-pemuka Islam yang mau
berfikir, berikhtiar membangkitkan kembali ajaran Islam, kembali ke masjid (i’tikaf),
hidup zuhud dan sebagainya. Inilah benih tasawuf yang paling awal.[9]
a.
Masa Pembentukan
Dalam abad
1 hijriyah bagian kedua muncul Hasan Basri (W. 110 H) dengan ajaran Khauf, mempertebal takut kepada Tuhan.
Kemudian pada akhir abad 1 hijriyah, Hasan Basri diikuti oleh Rabi’ah Adawiyah
(W 185 H), seorang shufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hub al-ilah).[10]
Selanjutnya
pada abad ke 2 Hijriyah, tasawuf masih sama dalam corak kezuhudan, meskipun
penyebabnya berbeda.penyebab perbedaan pada abad ini adalah adanya kenyataan
pendangkalan ajaran agama dan formalism dalam melaksanakan syari’at agama
(lebih bercorak fiqh). Sehingga menyebabkan sebagian orang tidak puas dengan
kehidupan seperti itu.
Abu
al-Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud Islam pada abad 1 dan 2 Hijriyah mempunyai
karakter sebagai berikut:
1)
Menjauhkan diri dari dunia menuju
akhirat yang berakar pada nash agama, yang dilatarbelakangi oleh sosio-politik.
2)
Masih bersifat praktis, dan para
pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas
kezuhudannya itu.
3)
Motif zuhudnya ialah rasa takut
yang muncul dari landasan keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada
akhir abad II Hijriyah, di tangan Rabi’ah Adawiyah muncul motif rasa cinta,
yang bebas rasa takut terhadap adzab-Nya maupun harap terhadap pahala-Nya.
4)
Menjelang akhir abad II Hijriah,
sebagian zahid, khususnya di Khurasan, dan Rabi’ah Adawiyah menandai ke dalaman
analisis yang dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf, atau cikal bakal para
pendiri tasawuf falsafi abad III dan IV hijriah. Abu al-Wafa lebih sependapat,
kalau mereka dinamakan Zahid, Qari’ dan Nasik (bukan sufi).
b.
Masa Pengembangan
Tasawuf
pada abad III dan IV sudah bersorak ke-fana’-an
(ekstase) yang menjurus ke persatuan
hamba dengan khalik.Fana’ merupakan persyaratan bagi
seseorang untuk dapat mencapai hakikat ma’rifah.
Pada abad
ini tasawuf sudah sedemikian berkembang, sehingga sudah merupakan madzhab,
bahkan seolah-olah agama yang berdiri sendiri.Muncul dua aliran. Pertama,
aliran tasawuf sunni yang merupakan
bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan al-Qur’an dan al-Hadits secara
ketat, serta mengaitkan ahwal
(keadaan) dan maqamat (tingkatan
rohaniah) mereka kepada kedua sumber tersebut. Kedua, aliran tasawuf “semi falsafah”, dimana para pengikutnya
cenderung pada ungkapan- ungkapan ganjil (syathahiyat)
sertabertolak dari keadaan fana’
menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan (ittihad atau hulul). [11]
c.
Masa Konsolidasi
Tasawuf pada abad V hijriyah mengadakan konsolidasi.
Pada masa ini ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf “semi
falsafi” dengan tasawuf “sunni”. Tasawuf sunni memenangkan pertarungan,
dan berkembang sedemikian rupa. Sedangkan tasawuf
semi falsafi tenggelam dan akan kembali muncul pada abad ke VI hijriah
dalam bentuknya yang lain. Kemenangan tasawuf
sunni ini dikarenankan menangnya teologi Ahl Sunnah Waljamaah yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asyari (W.
324 H), yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid al-Bustamy dan
al-Hajjaj, sebagaimana tertuang dalam Syathahiyat-nya
yang dianggap menyimpang dengan kaidah dan akidah Islam. Oleh karena tasawuf
pada abad tersebut cenderung mengadakan pembaharuan, atau menurut Annemarie
Schimmel merupakan periode konsolidasi.Yakni periode yang di tandai pemantapan
dan pengembalian tasawuf ke landasannya, al-Quran dan hadits.Tokohnya meliputi
al-Qusyairi, al-Harawi, dan al-Ghazali.[12]
Hal-hal yang dikritik mengenai syathaniyat yaitu, menurut
Qusyairi cara berpakaian mereka menyerupai orang miskin, sementara tindakan
mereka pada saat yang sama bertentangan dengan metode pakaiannya.Dia menerangkan bahwa
kesehatan batin, dengan berpegang teguh kepada al-Quran dan sunnah, lebih
penting daripada pakaian lahiriyah.[13]
Al-Harawi menganggap bahwa orang yang suka
mengeluarkan syathahat, hatinya tidak tentram. Dengan kata lain
syathahat itu muncul dari ketidaktenangan. Al Ghazali menilai negatifsyathahat,
karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan.Pertama karena kurang memperhatikan
amal lahiriyah dan mengemukakan kesatuan dengan Tuhan dan hal ini membawa
dampak negative bagi masyarakat awwam. Kedua, keganjilan ungkapan yang sukar,
diucapkan dari hasil pikiran kacau , hasil imaginasi sendiri.[14]
d.
Masa Falsafi
Pada abad ke VI hijriah muncul tamoilan tasawuf
falsafi yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat. Oleh karena itu
tasawuf ini tidak bisa sepenuhnya dikatakan tasawuf, dan juga dikatakan
filsafat, sebut saja tasawuf falsafi, karena di satu pihak memakai
istilah-istilah filsafat , namun di lain pihak pendekatan terhadap Tuhanmemakai
metode dzauq/intuisi/wujudan (rasa).
Tokohnya ialah Suhrawardi al-Maqtul dengan teori Isyraqiyah-nya, Ibnu Arabi dengan teori Wahdatul Wujud-nya, ibnu Faridl dengan teori mahabbah, Fana’ dan Wahdatusyuhud-nya.
Pada abad ke VII, muncul
cikal-bakal tarekat sufi kenamaan. Tarekat yang terkenal dan berkembang sampai
sekarang antara lain, Tarekat Qadriyah yang
dikaitkan kepada as-Syaikh Abdul Qadir al-jailani, Tarekat Suhrawardiyah yang dicetuskan Syihabuddin Umar bin Abdillah
al-Suhrawardy, Tarekat Rifa’iyah yang
dikaitkan kepada Ahmad Rifa’i. Tarekat Syadziliyah
yang dikaitkan kepada Abu Hasan al-Syadziliy, Tarekat Badawiyah yang dikaitkan kepada Ahmad al-Badawi, Tarekat Naqsabandiyah dikaitkan kepada Muhammad
bin Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhary, dsb.
e.
Masa Pemurnian
Pada masa ibnu arabi ibnu Faridl dan al-Rumy adalah
masa keemasan gerakan tasawuf, secara teoritis maupun praktis.Pengaruh dan
praktek tasawuf kian meluas melalui tarekat-tarekat. Tak terhelak lagi legenda
tentang keajaiban dikaitkan dengan tokoh-tokoh sufi, masa awwam segera
menyambut tipu muslihat itu. Menyuburkan khufarat
dan tahayul, hidup memalukan, berlaku
tidak senonoh, bicara tidak karuan, merupakan jalan mulus menuju ketenaran,
harta dan tahta.Kemudian tasawuf pada waktu itu ditandai bid’ah, khufarat, mengabaikan syari’atdan hukum-hukum moral dan
penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, azimat
dan ramalan serta kekuatan ghaib ditonjolkan. Ibnu Taimiyah dengan lantang menyerang
penyelewengan para sufi tersebut.
Ibnu Taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran ittihad, Hulul, Wahdatul Wujud sebagai
ajaran yang menuju kepada kekafiran, meskipun keluar dari orang-orang yang
mencapai tingkat ma’rifat, ahli
hakikat, dan ahli tauhid, menurutnya
pendapat semacam itu hanya layak keluar dari mulut orang Yahudi dan Nasrani.
Ibnu Taimiyah lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang telah diajarkan
Rasulullah saw, yakni menjelaskan dan menghayati ajaran Islam, tanpa
embel-embel lain, tanpa mengikuti aliran tarekat tertentu, dan tetap melibatkan
diri dalam kegiatan social, sebagaimana manusia pada umumnya. Tasawuf model ini
cocok untuk dikembangkan di masa modern seperti sekarang.
2.
Faktor Lahirnya Tasawuf
Para sarjana, baik dari kalangan Islam sendiri saling
berbeda pendapat tentang faktor yang memengaruhi munculnya tasawuf maupun
gerakan tasawuf dalam Islam. Nicholson mengatakan bahwa pembentukan tasawuf
dipengaruhi oleh agama Masehi atau Nasrani. Meskipun
tasawuf berkembang secara Islami, tetapi tidak tertutup kemungkinan ada sedikit
pengaruh luar, terutama Nasrani.[15]
Sesungguhnya agama Masehi mempunyai pengaruh dalam
pembentukan tasawuf dalam masa awalnya meskipun hal ini tidak dijumpai dalam
ucapan para sufi seperti Ibrahim Ibn Adham (161 H), Dawud al-Tha’i (165 H),
Fudlail ibn ‘Iyadi (187 H) dan Syaqiq al-Balkhi (194 H), yang menunjukkan
adanya pengaruh Masehi, atau dari pengaruh luar lainnya kecuali sedikit. Dengan
kata lain, tampaklah bahwa sesungguhnya tasawuf merupakan buah dari gerakan
Islam itu sendiri, sebagai konsekuensi logis dari pemikiran Islam terhadap
Allah SWT.[16]
Dengan demikian tasawuf dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Menurut Affifi masing-masing faktor
tersebut dapat dipecah menjadi dua, sehingga menjadi empat, yaitu:
1. Faktor ajaran Islam sebagaimana
terkandung dalam kedua sumbernya, Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua sumber ini
mendorong untuk hidup wara’, taqwa dan tasawuf.
2. Reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap
sistem sosial, politik dan ekonomi dikalangan umat Islam sendiri, yaitu ketika
Islam telah tersebar ke berbagai negara yang sudah barang tertentu membawa
konsekuensi-konsekuensi tertentu, seperti terbuka kemungkinan diperolehnya
kemakmuran disatu pihak.
3. Kependetaan (Rabbaniyah) agama
Nasrani sebagai konsekuensi agama yang lahir sebelum Islam, pemeluknya tersebar
diseluruh negara, dan sikap-sikapnya memengaruhi masyarakat agama lain,
termasuk pemeluk Islam.
4. Reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam.
Keduanya tidak bisa memuaskan batin seorang muslim. Pertama, mereka
mementingkan formalisme dan legalisme dalam menjalankan syari’at Islam, dan
yang kedua mementingkan pemikiran-pemikiran rasional, dalam pemahaman agama
Islam.[17]
Menurut Taftazani, tasawuf lebih banyak dimotivasi
oleh ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits Rasulullah saw. yang bernada merendahkan
nilai dunia, dan sebaliknya banyak dijumpai nash agama yang memberi motif
beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka.
Ayat-ayat yang menunjukkan nilai akhirat lebih baik daripada kehidupan dunia,
antara lain:
“Dan
sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu daripada dunia.”[18]
“Dan
sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan , kalau mereka
mengetahui.”[19]
Nabi Muhammad saw. mengibaratkan dunia ini bagaikan
penjara bagi orang yang beriman, artinya kehidupan mereka selalu dibatasi dan
tidak bisa hidup semena-mena, bagaikan orang yang hidup dalam penjara. Sebaliknya,
bagaikan surga bagi orang kafir, bagaikan tempat menyenangkan, bisa hidup
seenaknya tanpa ada batasan yang mengikatnya.Selanjutnya gambaran beliau
tentang dunia adalah kehidupan sementara, sebentar dan rusak. Hanya harta yang
diinfakkan dijalan-Nya yang akan kekal selama-lamanya.
C.
Manfaat Tasawuf
dalam Islam
Tasawuf merupakan perilaku yang sangat mulia. Orang yang
mempunyai sifat tasawuf akan mendapatkan tempat terindah disisi Allah. Jadi
perilaku tasawuf mempunyai banyak manfaat, diantara manfaatnya adalah:
1.
Menjadikan seorang hamba yang mulia dihadapan Allah SWT. Seorang sufi
memiliki kesucian hati dan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah. Jadi,
dihadapan Allah mereka ditempatkan dalam golongan yang mulia.
2.
Memiliki ketentraman hati dalam kehidupannya. Barang siapa yang selalu
mengingat Allah maka dia akan mendapatkan ketentraman hati dan jiwa. Hal
tersebut sama dengan perillaku tasawuf yang selalu menjadikan Allah kekasih
sejati dalam hati mereka.
3.
Berperilaku hidup sederhana. Tasawuf lebih mencintai kehidupan akhirat yang
kekal daripada kehidupan dunia yang fana. Perilaku tasawuf akan menjadikan
dunia sebagai jalan menuju akhirat yang mulia. Kehidupan di dunia tidak
dijadikan sebagai tujuan utama, karena dunia ini suatu saat pasti akan hilang.
4.
Qona’ah dalam menerima segala pemberian Allah. Ikhlas dan sabar dalam
menerima semua cobaan dari Allah adalah suatu yang sulit bagi orang pada
umunya. Akan tetapi, tasawuf mengajarkan seseorang untuk tunduk, patuh dan
menerima segala pemberian Allah.
5.
Memperkuat agama Islam dengan tokoh-tokoh sufi. Peran seorang sufi dalam
agama Islam sangat besar karena mereka dijadikan pelajaran bagi umat Islam
untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Secara
etimologis, para ahli berselisih tentang asal kata tasawuf. Sebagian menyatakan
berasal dari “shuffah” artinya serambi masjid Nabawi yang didiami oleh
sebagian sahabat Anshar. Ada pula yang mengatakan berasal dari “Shaff”, artinya
barisan. Seterusnya ada yang mengatakan berasal dari “Shafa”, artinya
bersih atau jernih, dan masih ada lagi yang mengatakan berasal dari kata “Shufanah”,
sebutan nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir, terakhir ada yang
mengatakan berasal dari bahasa Yunani “Theosofi”,artinya ilmu ketuhanan.
Namun yang terakhir ini tidak disetujui
oleh H.A.R.Gibb. Dia cenderung pada kata tasawuf berasal dari Shuf (bulu
domba), dan orang yang berpakaian bulu domba disebut “Mutashawwif”,
perilakunya disebut tasawuf.
Sejarah
lahirnya tasawuf tidak terlepas dari berbagai faktor, diantara beberapa faktor
tersebut adalah:
1.
Faktor
ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
2.
Reaksi
rohaniah kaum muslimin terhadap sistem sosial, politik dan ekonomi dikalangan
umat.
3.
Kependetaan
(Rabbaniyah) agama Nasrani sebagai konsekuensi agama yang lahir sebelum
Islam.
4.
Reaksi
terhadap fiqh dan ilmu kalam.
Berperilaku tasawuf banyak manfaatnya. Diantara manfaat
yang diperoleh adalah :
1.
Menjadikan seorang hamba yang mulia dihadapan Allah SWT.
2.
Memiliki ketentraman hati dalam kehidupannya.
3.
Berperilaku hidup sederhana. Tasawuf lebih mencintai kehidupan akhirat yang
kekal daripada kehidupan dunia yang fana.
4.
Qona’ah dalam menerima segala pemberian Allah.
5.
Memperkuat agama Islam dengan tokoh-tokoh sufi.
B. Saran
Tingkatkanlah
selalu iman dan taqwa untuk beribadah secara ikhlas kepada Allah. Jadilah hamba
yang selalu dimuliakan dalam kehidupan. Ikutilah kesucian hati seorang sufi
agar dalam beribadah bisa ikhlas karena Allah. Terakhir, Jadikanlah makalah ini
sebagai media untuk memahami tentang “Sejarah Lahirnya Tasawuf”. Penulis mengharapkan kritik dan
saran yang kontruktif dari pembaca demi kesempurnaan penulisan makalah berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Harawy. 1328 H. Manazilu as-Sa’irin, vol. 3.
Kairo: Mushthafa Bab al-Halabi.
Al-Quraisyi. 1940. ar-Risalah al-Qusyairiyah.
Mesir: Bab al-Halabi.
al-Taftazani Abu al-Wafa al-Ghanimi.1979. Madkhal Ilat Tashawwuf
al-Islami. Kairo: Daruts Tsaqofah.
Gibb. H.A.R.. 1964. Islam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta:
Bharata.
Nicholson. R.A.. 1969. Fi al-Tasawuf al-Islam wa
Tarikhu, terjemahan Abu al-‘Ala Affifi. Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa
al-Tarjamah wa al-Nasyr.
Syukur Amin dan Masharudin. 2002. Intelektualisme
Tasawuf. Semarang: Lembkota.
[1]H.A.R. Gibb, Islam dalam Lintasan Sejarah,
(Jakarta: Bharata, 1964), hlm. 110.
[2]Al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Madzhab Ahl at-Tashawwuf,
hlm. 24.
[3]Biruni, Tahqiq li al-Hind min Maqulah, hlm
24.
[4]Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, hlm.550.
[5]Amin Syukur dan Masharudin, Intelektualisme
Tasawuf, (Semarang: Lembkota, 2002), hlm.17.
[6]R.A. Nicholson, Fi al-Tasawuf al-Islam wa
Tarikhuh, terjemahan Abu al-‘Ala Affifi, (Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa
al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1969), hlm. 112.
[7]Amin Syukur dan Masharudin, Op.Cit., hlm.
17-18.
[8]Ibid., hlm.18.
[9]Ibid.
[10]Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal
Ilat Tashawwuf al-Islami, (Kairo: Daruts
Tsaqofah, 1979), hlm.
72.
[13]Al-Quraisyi, ar-Risalah al-Qusyairiyah,
(Mesir: Bab al-Halabi, 1940), hlm. 61.
[14]Al-Harawy, Manazilu as-Sa’irin, vol. 3,
(Kairo: Mushthafa Bab al-Halabi, 1328 H), hlm. 512.
[15]Nicholson, Op.Cit., hlm. 3.
[16]Amin Syukur dan Masharudin, Op.Cit.,
hlm.33-34.
[18]QS. Adh-Dhuha: 4.
[19]QS. Al-Ankabut: 64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar